11 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Densus 88 & Teroris Fobia

Densus 88 & Teroris Fobia

Oleh Muradi

SEUSAI proses politik kasus Bank Century di parlemen, jajaran Polri, khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 AT) mendulang prestasi dengan menangkap teroris di Aceh dan menewaskan teroris yang paling diburu setelah tewasnya Noordin M. Top di Pamulang. Terlepas dari kasus gembong teroris di Aceh, masih simpang siur, apakah merupakan jaringan Jemaah Islamiyah (JI) atau pecahan dari eks GAM, prestasi Densus 88 AT harus tetap diapresiasi sebagai bagian dari komitmen  memberantas terorisme di Indonesia hingga ke akarnya.


Akan tetapi, keberhasilan Densus 88 AT tersebut tetap mengundang nada sumir dari publik, mengingat terbongkarnya jaringan tersebut seolah-olah mengalihkan isu kasus Bank Century, kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia dan rencana kedatangan Presiden Obama  bulan ini. Publik melihat, proses pengepungan gerombolan teroris di Aceh dan kemudian di Pamulang menjadi antiklimaks dari kemenangan suara rakyat di DPR yang menegaskan ada pelanggaran dalam kasus Bank Century.

Bisa jadi keberhasilan Densus 88 AT di tengah keterpojokan pemerintah dalam kasus Bank Century ini bagian dari proses yang normal. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan Densus 88 AT menembak mati Noordin M. Top saat dugaan adanya kriminalisasi KPK yang menjadi ikon perseteruan Polri dengan KPK. 

Setidaknya ada tiga alasan penguat keberhasilan Densus 88 AT tersebut sebagai prestasi yang momentum waktunya disesuaikan dengan kebutuhan. Pertama, proses pengejaran dan penangkapan dari Aceh hingga Pamulang berjalan simultan dan berjarak kurang dari satu minggu. Dalam pendekatan intelijen, proses tersebut tidak disiapkan dalam hitungan hari, tetapi jauh-jauh hari. Artinya, apabila hasil Pansus Bank Century, kunjungan Yudhoyono ke Australia, serta rencana kedatangan Obama pada bulan yang sama, besar kemungkinan, proses identifikasi, pengejaran hingga pemetaan aktivitas para gembong terorisme tersebut dilakukan setidaknya tiga bulan lalu. Dengan harapan, pada bulan ketiga agenda politik tersebut menjadi berita, keberhasilan Densus 88 AT menjadi semacam bukti pemerintah terus bekerja. Dengan demikian, secara bertahap berita negatif tentang pemerintah, perlahan hilang.

Kedua, setelah tewasnya Noordin M. Top, praktis kelompok teroris di Indonesia hampir semua tiarap, bahkan beberapa  menyerah dan menjadi informan Polri. Hal ini secara logika memudahkan Densus 88 AT dalam memetakan dan memburu sisa-sisa anggota JI. Namun, hal tersebut tidak dilakukan secara mendadak, apalagi Kepala Densus 88 AT, Tito Karnavian menyadari, pemberantasan terorisme di Indonesia memiliki karakteristik yang khas sehingga membutuhkan proses pendekatan yang juga berbeda. Kasus pengepungan teroris di Aceh dan Pamulang adalah bagian dari strategi tersebut untuk meng-counter pemberitaan negatif sekaligus menjaga pencitraan Polri dan juga pemerintah tetap baik.

Ketiga, secara kelembagaan baik Polri maupun pemerintah masih kesulitan dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini disadari benar sehingga tetap dibutuhkan program unggulan agar Polri khususnya dan pemerintah umumnya memiliki berbagai keberhasilan, di tengah keterpurukan dalam pemberantasan korupsi. Densus 88 AT sebagai unit yang memiliki kekhususan dalam pemberantasan terorisme memiliki beban tidak ringan. Bila kebuntuan terkait dalam pemberantasan korupsi, serta-merta pemberantasan terorisme dikedepankan.

Ketiga alasan tersebut memiliki korelasi kuat dengan pencitraan Indonesia di mata dunia  dan teroris fobia yang terus menguat menjelang keberangkatan Yudhoyono ke Australia dan rencana Obama ke Indonesia. Komitmen memberantas terorisme dibuktikan dengan pengepungan dan penangkapan sejumlah teroris di Aceh dan Pamulang, bahkan salah satu yang tewas adalah Dulmatin, otak utama Bom Bali I.

Situasi tersebut secara politis justru sedikit banyak memberikan dilema bagi SBY. Di satu sisi, pencitraan positif dari komunitas internasional terkait keberhasilannya dalam mengurangi ruang gerak kelompok terorisme di Indonesia. Namun di sisi lain, pernyataan bernada sumir di dalam negeri terkait dengan berbagai keberhasilan Densus 88 AT tersebut merupakan cara-cara yang kurang patut dikedepankan, mengingat langkah-langkah Yudhoyono mengedepankan teroris fobia sebagai langkah untuk mengambil hati Australia dan AS di kemudian hari akan menjadi bumerang.

Akan lebih bijak misalnya upaya pemberantasan terorisme di Indonesia yang ditenggarai dengan sejumlah keberhasilan dan prestasi juga ditopang langkah-langkah efektif dan strategis dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, label pencitraan Indonesia tidak melulu tentang keamanan semata, tetapi juga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan begitu, keterkaitan antara Densus 88 AT dan teroris fobia dapat diikuti oleh KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dengan korupsi fobia.***

Penulis, staf pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 12 Maret 2010