11 Maret 2010

» Home » Kompas » Perlukah Tembak Mati Teroris?

Perlukah Tembak Mati Teroris?

Apresiasi layak diberikan kepada pihak kepolisian terhadap kesigapan mereka dalam meredam kemungkinan adanya serangan terorisme di Indonesia dengan menangkap dan bahkan menembak mati tersangka tindak pidana teroris kelas dunia, seperti Dulmatin.
Meski demikian, masyarakat percaya tim Densus 88 Antiteror sebenarnya bisa menyergap Dulmatin secara hidup-hidup sebab sebelum penyergapan, polisi telah mengintai target cukup lama dan membuat kalkulasi, serta pemburuan dan penyergapan seperti ini bukan kali pertama sejak Bom Bali I. Dua orang (kaki tangan Dulmatin) yang tewas saat hendak kabur dengan sepeda motor, polisi sebenarnya hanya perlu melumpuhkan saja, tidak harus menewaskan mereka.


Status hukum Dulmatin sendiri masih tersangka. Dan, hukum yang berlaku di negeri ini menggunakan asas hukum praduga tak bersalah. Seseorang (tersangka) tidak seharusnya dieksekusi, apalagi ditembak mati (judicial killing) tanpa melalui proses peradilan. Dalam kasus penyergapan Dulmatin, saya sulit membayangkan adanya perlawanan berarti yang dilakukan Dulmatin, yang waktu itu tengah berada di bilik warnet yang sempit, walaupun polisi beralasan bahwa Dulmatin bersenjata dan hendak menembakkan pistol ke arah polisi. Kasus ini juga terjadi pada penembakan Saefudin Juhri.
Sel terputus
Terlepas dari alasan di atas, ada faktor pragmatis yang penting bahwa Dulmatin seharusnya tetap hidup. Dulmatin adalah orang penting dalam dunia pergerakan aksi jihad bom di wilayah Indonesia. Kepandaiannya dalam merekrut orang untuk terlibat jihad konon melebihi kemampuan Noordin M Top dan kemampuannya merakit bom juga tak kalah dari Dr Azahari. Jika Dulmatin mati, banyak informasi yang akan hilang selama masa buronnya sejak 2002. Bayangkan, berapa banyak orang yang sudah tersentuh pemikiran Dulmatin ketika berada di Indonesia, tetapi tidak terdeteksi sebab jaringan ini bekerja dengan cara sel terputus. Sangat mustahil kita bisa menggali perkembangan gerakan dari orang yang mungkin berpangkat ”kopral”.
Kasus bom di dua hotel, yakni JW Marriot dan Rizt Carlton, pada 17 Juli 2009 harus menjadi catatan. Polisi memang telah mengungkap siapa pelaku di balik pengeboman itu. Ada Noordin M Top dan Saefudin Juhri bin Jaleni yang menjadi otak dalam aksi tersebut. Namun, penangkapan itu sebenarnya tidak mengungkap secara tuntas persoalan teroris di Indonesia. Dua orang yang seharusnya menjadi kunci untuk menjelaskan aksinya itu malah tewas dalam penyergapan polisi. Sementara orang-orang yang ditangkap hanyalah orang bawahan yang tidak saling kenal karena sel terputus tersebut. Mereka yang sudah ditangkap dan sedang diadili di pengadilan negeri Jakarta Selatan, seperti Amir Abdillah, Aris Susanto, Muhammad Jibriel, dan Ali (warga negara Arab Saudi), tidak saling kenal. Baru saling kenal setelah ditahanan dalam kasus yang sama. Akhirnya, pemaparan mengenai siapa orang yang membiayai untuk operasi bom tersebut menjadi misterius.
Dalam kasus kelompok Palembang, para terhukum kasus teroris mengatakan, pasokan senjata dan bahan bom yang dirakit diberikan oleh Noordin M Top. Namun, apakah hakim bisa mengonfrontir ungkapan mereka bahwa apakah senjata dan bahan itu benar-benar dari Noordin M Top? Saya melihat, untuk kasus persidangan bom Kuningan, para terdakwa bisa saja mengarahkan semua tuduhan tersebut ke Juhri dan Noordin. Jika sudah begitu, bagaimana mengonfrontirnya?
Isu konspirasi
Saya membayangkan jika Dulmatin dan Juhri ini akan membantu masyarakat untuk meyakinkan bahwa aksi terorisme oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam adalah nyata, bukan konspirasi. Polisi sebenarnya sudah bisa melakukan langkah itu ketika menangkap aktor-aktor di balik bom Bali 1, antara lain Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi. Inilah fakta riil. Akan tetapi, itu saja tidak cukup untuk meyakinkan masyarakat untuk menjawab isu konspirasi.
Dengan demikian, jika polisi mampu menangkap hidup tokoh-tokoh penting dalam jaringan teroris, hal itu akan melegitimasi operasi polisi sendiri. Publik dapat menyaksikan sendiri bahwa ancaman terorisme yang ”dinarasikan” polisi atau pemerintah adalah nyata, bukan rekaan. Dulmatin dan para tokoh lainnya dapat menjadi contoh hidup dan konkret narasi terorisme itu. Ketika tokoh-tokoh itu ditangkap mati polisi, narasi terorisme seolah terkubur bersama jasad mereka.
Penyergapan dengan cara menembak mati memang memiliki dampak shock therapy kepada masyarakat bahwa inilah akibat bila terlibat dalam jaringan teroris. Ditembak mati tanpa proses peradilan. Dalam jangka pendek, strategi ini memang cukup berhasil. Namun, perlu diingat, kelompok atau orang yang sudah dibangun pemahamannya dengan jihad kekerasan adalah orang-orang yang siap mati. Mereka selalu mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu untuk menghadap surga Tuhan dan penjara adalah hanyalah tamasya untuk bisa beribadah secara vertikal kepada Tuhan. Bagi para ”jihadis”, shock therapy seperti itu tak berpengaruh. Kelompok teroris akan terus berkembang biak dengan caranya.
Ada hal yang memang dilematis ketika Dulmatin ditangkap hidup-hidup oleh polisi. Meski sudah dipenjara, ia masih bisa merekrut orang dan tetap bisa menyebarkan ideologi kekerasannya. Imam Samudra, contohnya, ketika di penjara masih bisa memberikan spirit untuk membom Bali lagi. Bahkan, dia bisa merekrut tahanan-tahanan yang ada di penjara, termasuk para sipir.
Namun, alasan ini tidak sebanding jika harus dijadikan alasan untuk memilih opsi mati orang-orang penting dalam kasus pemboman di Indonesia sebab yang justru harus dilakukan adalah memperbaiki sistem lembaga permasyarakatan di Indonesia dengan membenahi perspektif jihad kelompok ini. Penting juga bagi para jaksa yang tergabung dengan satuan tugas anti- teroris memahami pola-pola ideologi mereka, bukan hanya sekadar mengungkap fakta hukum secara materiil.
Noor Huda Ismail Alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki; Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian yang Merehabilitasi Mantan-mantan Kombatan 


OPini Kompas 12 Maret 2010