11 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Terorisme dan multikulturalisme modern

Terorisme dan multikulturalisme modern

Headline berbagai media massa memuat keberingasan terorisme yang mengancam keamanan Nangroe Aceh Darussalam dan Pamulang, Tangerang. Dukanya, korban pun tak terhindari, anggota Polri tewas di medan perjuangan.

Selaras dengan pisau analisis psikologis Sigmund Freud, terorisme memiliki “super ego” paling tinggi (Theory of Personality: 2008). Tampaknya terorisme yang menjamur memuncakkan ekstremismenya dalam sebuah aksi membunuh dan membantai tanpa pandang bulu.


Dalam buku Origins of Terrorism (Martha Crenshaw; Jerrold M Past: 2003), ada dua faktor yang menjadi asbabul furudh terorisme melakukan aksinya. Pertama, penyebab perilaku terorisme sebagai hasil pilihan strategis. Dalam analisis ini, terorisme menunjukkan rasionalitas kolektif. Jadi, suatu organisasi politik radikal dipandang sebagai pemeran utama dalam drama terorisme.

Faktor ini memunculkan kelompok yang memiliki pilihan-pilihan aksi utama dan mengabaikan serangkaian alternatif lainnya. Efisiensi dan efektivitas merupakan standar utama dalam perbandingan terhadap cara-cara lain dalam mencapai tujuan politik para teroris. Entah ada kelompok lain yang bukan terorisme, tetapi secara psikologis dia memperoleh keuntungan dari kesuksesan teroris. Nah, sifat inilah yang perlu dihindari oleh masyarakat Indonesia. Ikut-ikutan tanpa panutan.

Analisis kedua, terorisme melakukan aksinya berangkat dari psiko-logika teroris, bahwa perilaku teroris sebagai hasil tekanan psikologis. Jerrold Post (2003) menyatakan terorisme melakukan kekerasan sebagai sebuah aksi akibat dorongan psikologis. Psiko-logika khusus mereka membangun rasionalitas tindakan-tindakan yang secara psikologis dilakukan secara terpaksa. Dalam artian individu masuk ke jalur terorisme guna melakukan aksi kekerasan.

Kedua analisis ini secara jelas dekat dengan gemparnya terorisme di Aceh dan Indonesia secara umum. Secara logis, keberagaman terorisme sekaligus motif-motif ideologi dan motivasi keagamaan ada di sana. Bukan hanya di Asia, terorisme Jerman Barat juga lahir dari logika ingin menggoyang pemerintahan melalui ketakutan-ketakutan. Hal itu dapat kita lihat dari pembunuhan industrialis Jerman Erns Zimmermenn (1985), Kurr Beckruts (1986) dan pegawai luar negeri Gerold von Braumuehl (1986).

Hegel dengan teori nihilismenya telah diadopsi dan direalisasikan oleh terorisme Italia. Bagaimana tujuan awal adalah kecenderungan dalam kemenangan yang “pasti”. Mengamini pernyataan Franco Ferracuti dalam Origins of Terrorism (2003) bahwa teroris mempunyai tekad yang bulat pada sebuah ideologi dan berfokus pada tujuan tunggal. Ini yang merupakan ciri khas teroris yang mendapatkan inspirasi ideologi.

Pengaruh ideologi ini mengingatkan kita pada revolusioner yang diambil oleh Nechayer lebih dari seabad yang lalu. Bagaimana revolusioner merupakan orang yang memiliki komitmen, tidak terikat kekayaan, kepribadian dan sentimen, tetapi lebih mengarah pada tujuan tunggal yang eksklusif. Nah, teroris ini yang dapat kita lihat dalam serangan bom bunuh diri oleh Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton bulan Juli tahun lalu.

Franco Ferracuti menyebutnya sebagai teroris kiri, sebab dalam teroris kiri, semua kasih sayang yang lembut dan menyentuh dari kekeluargaan, persahabatan, cinta dan rasa terima kasih harus dihapus di dalam diri dengan semangat pikiran tunggal yang kuat. Pada siang dan malam, mereka harus memiliki pikiran tunggal dan tujuan tunggal yakni perusakan yang dahsyat. Untuk mengejar tujuan ini, sifat dingin dan brutal menghancurkan dengan tangannya sendiri adalah proses menempuh tujuan.

Ironisnya, teroris-teroris yang berkeliaran di Indonesia menunjukkan label teroris kiri. Dapat kita lihat dari peristiwa-peristiwa dan aksi yang dilakukan dalam dua tahun ini. Serangan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton sembilan bulan lalu, Noor Din M Top cs yang merekrut orang-orang untuk menjadi anak buahnya dan sasaran mereka yang tidak pilih-pilih. Bukankah hal demikian yang mencirikan teroris kiri?

Multikulturalisme modern

Indonesia merupakan negara bagian Asia yang multikultur. Kulturalisme, pluralisme dan berbagai kebudayaan ada di dalamnya. Tak salah jika berbagai pemikiran dan gagasan juga beragam. Dalam buku Rethinking Multiculturalism, Bhiku Parekh (2003) menyatakan adanya minoritas dan mayoritas yang menunjukkan perbedaan sehingga mereka melakukan hal yang berbeda. Nah, perkembangan itulah yang kemudian dinamakan multikulturalisme.

Namun, multikultur itulah yang seharusnya dimengerti oleh masyarakat Indonesia. Adanya terorisme juga akibat dari keberagaman pemahaman di Indonesia. Hal ini tidak menjadi masalah yang serius. Tetapi, jika keberagaman ini tidak dipahami sebagai suatu hal yang dapat menyatu, maka sesuatu yang negatif pun muncul dari keberagaman dan perbedaan itu. Terorisme yang berlandaskan ideologi merupakan contoh riilnya.

Dari ketidakmampuan memahami perbedaan yang beragam ini, terorisme memaksakan kehendak dalam satu tujuan tunggal. Sungguh sangat disayangkan jika pemberontakan di Aceh maupun terorisme di Indonesia berlatar belakang dari salah memahami multikulturalisme yang berkembang. Berawal dari salah paham atas kebijakan, baik penolakan individu maupun kelompok kemudian intrik provokasi muncul, kemudian mengakibatkan pemberontakan beratasnamakan teroris. Apalagi berlabel “teroris kiri” yang lahir dari motivasi-motivasi eksternal. Jangan sampai…! - Oleh : Suyadi Muhammad, Dewan Penasihat Centrel of Studies for Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta


 Opini Solopos 12 Maret 2010