11 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Berdemokrasi dengan Budaya Kita

Berdemokrasi dengan Budaya Kita

Tidak sulit untuk menggambarkan situasi politik negeri selama dua bulan terakhir ini, yaitu kegaduhan politik. Kegaduhan politik dimaksud merupakan gambaran perilaku politik panggung yang dimainkan tiga kelompok.

Pertama, kubu legislatif yang dimainkan Panitia Khusus Hak Angket Bank Century di satu pihak, yang notabene di dalam proses investigasinya terjadi kegaduhan di antara mereka sendiri, dan di pihak lain kubu eksekutif yang dimainkan sejumlah staf khusus kepresidenan untuk mendudukkan posisi eksekutif berkenaan dengan bailout Bank Century; kedua, kubu yang dimainkan sejumlah pengurus partai politik pemenang Pemilu 2009 yang dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II merangkul pengurus partai lain sebagai mitra koalisi, yang terakhir juga sedang mengubu sendiri berbeda dengan pertama dalam hal sama.


Itu di satu pihak dan di pihak lain juga ada sejumlah pengurus partai yang berada di luar kekuasaan rajin mengorek-ngorek kebijakan pemerintah yang diduga keliru; ketiga, pengamat/simpatisan pro kontra pemerintah, satu menganggap program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak berhasil dan yang lain menganggap berhasil.

Gaduh politik setelah investigasi Pansus Hak Angket Bank Century terhadap penanggung jawab kebijakan bailout itu seolah mengubur dalam-dalam agenda penting legislatif pada rapat-rapat komisi lainnya dan agenda eksekutif per kementerian Kabinet Indonesia Bersatu II pun nyaris tak terdengar.

Diakui atau tidak, ketika perilaku politik mereka ditayangkan media televisi swasta dan stasiun radio, bahkan oleh surat khabar nasional dan lokal, energi positif mereka bertambah melebihi modal semangat awal yang dimiliki sehingga sebagian polah tingkahnya mengganggu yang lain, terutama kelompok eksekutif.

Faktanya, yang disebut terakhir pun tergerak untuk serangan balik lewat pintu dugaan-dugaan kesalahan hukum yang disandang pihak kontra eksekutif sebelumnya. Singkat kata, gaduhnya bukan main bak anak ayam kehilangan induk. Pertanyaannya, kalau perilaku mereka bak anak ayam kehilangan induk, lantas induknya 'siapa'?

Tentu, induknya bukan presiden sebagai kepala pemerintahan, bukan kepala negara, bukan pula ketua-ketua lembaga negara lainnya mengingat secara kelembagaan dan dalam struktur ketatanegaraan mereka disepakati sejajar. Artinya, sejak awal sudah bisa diduga ajakan dari Presiden Yudhoyono pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara Jakarta, Kamis (25/2) malam dianggap angin lalu saja.

Ajakan dimaksud agar bangsa Indonesia meneladani Rasulullah Muhammad SAW dengan kearifannya membangun tatanan masyarakat demokratis, rukun, dan harmonis di antara umat sekalipun berbeda pandangan dan keyakinan tidak menarik secara politik. Lebih-lebih ajakan Presiden mudah ditebak, yaitu dimuarakan ke anggota dewan terhormat khususnya anggota Panitia Hak Angket Bank Century yang sedang punya kepentingan membidik posisi strategis di seputar the rulling class.

Bung Hatta, salah seorang proklamator berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, sebenarnya juga pernah menyampaikan yang substansinya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan SBY. Bung Hatta pernah menyampaikan konsepsi demokrasi politik yang diangkat dari nilai-nilai kolektivisme dan kebersamaan yang lahir tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia asli mengandung nilai bahwa segala hal yang menyangkut kepentingan hidup bersama diputus dengan jalan mufakat, yang dilakukan dalam rapat desa.

Artinya, dalam perspektif demokrasi politik, pengambilan keputusan dilakukan secara mufakat dengan musyawarah. Dalam perspektif demokrasi ekonomi dilakukan dengan gotong-royong (yang satu mengangkat sementara yang lain nglawani membantu). Saat itu, Bung Hatta juga memperingatkan bahwa bangsa Indonesia selepas kemerdekaan terutama pada paruh pertama 1950-an sedang mengalami krisis demokrasi mengingat perilaku politik saat itu cenderung ultrademokratis dan pelaku politik juga tidak menghiraukan ajakan Bung Hatta.

Lantas, siapa yang ditakuti disegani? Jawabannya, bukan orang dan bukan manusia karena sekarang ini sedang tidak ada orang dan manusia yang ditakuti. Namun yakinlah, mereka itu kan lahir, tumbuh dewasa dan berkembang sebagai orang Indonesia sehingga akan lebih takut atau segan kalau dikatakan tidak berbudaya oleh masyarakat Nusantara ini (baca: konstituen), misalnya perilaku politiknya tak berbudaya, demokrasi tak berbudaya dan seterusnya.

Memang, mengkritik kebijakan bailout Bank Century dianggap sebagai momentum matang untuk memperlihatkan kinerja legislasinya kepada konstituen dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai pengawas eksekutif. Praktik penggunaan hak angket tersebut meski merupakan salah satu indikasi kemajuan berdemokrasi politik di Indonesia selama ini, tapi dalam proses pengambilan keputusan politik hendaknya berucap dengan pilihan kata-kata benar, pas, dan tepat yang disampaikan dengan gaya keindahan dan kesantunan.

Kemudian, dalam tataran bertindak, budaya bekerja kita mengajarkan demokrasi gotong-royong, tolong-menolong yang didorong spirit holobis kuntul baris, sebuah semangat yang jika bersatu kita teguh, kokoh, kuat, dan sebaliknya jika bercerai tentu kejatuhan kita di ambang pintu. Demikian pula dalam tataran hasil dari tindakan itu, budaya kita mengajarkan keadilan sosial, sebuah nilai budaya yang mengajarkan pemerataan dari kita, oleh kita, dan untuk kita, bukan mengumpul pada orang perseorangan atau sekelompok orang kuat.

Artinya, berdemokrasi yang tidak mengurangi atau meninggalkan etika, estetika, dan hati nurani berarti berdemokrasi dengan budaya kita, sebuah budaya yang menjauh dari demokrasi yang free fight, tuding-menuding, hantam-menghantam, saling menjatuhkan, saling membuka aib, dan segala varian free fight democracy lainnya. Laporan pandangan akhir Panitia Khusus Bank Century telah didengar di depan kurang lebih 421 anggota dewan terhormat pada 2 Maret lalu. DPR pun telah mengambil keputusan, meskipun lewat voting.

Akhirnya, sekadar wanti-wanti bahwa varian-varian free fight democracy yang mulai tumbuh satu persatu seperti sekarang ini jika tidak dibaca dan direm sejak awal jelas amat berpotensi menimbulkan pengeroposan dari dalam dan bukan tidak mungkin akan menghujung perpecahan nasional. Jika terjadi yang disebut terakhir, sia-sialah usaha mati-matian the founding fathers dan tentu usaha-usaha pembangunan menyeluruh untuk kepentingan rakyat kecil menjadi telantar dan terlunta-lunta lagi. Mudah-mudahan tidak demikian.

Oleh Ade Saptomo Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas
Opini Media Indonesia 12 Maret 2010