03 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » DPR bukan Pentas Selebriti

DPR bukan Pentas Selebriti

Oleh EDDY D. ISKANDAR 


SEBAGAI instruktur senam, pemain sinetron Vena Melida berkeinginan agar anggota DPR membiasakan senam pagi seminggu sekali, agar tubuh tetap sehat. Ia siap jadi pemandunya. Rieke Diah Pitaloka, yang sebelumnya aktif di partai politik – dari PKB ke PDIP, cukup rajin menyambangi masyarakat untuk menangkap aspirasi mereka. Nurul Arifin, aktivis Partai Golkar, terbiasa melontarkan komentar atau tanggapan terhadap berbagai peristiwa. Deddy (Miing Bagito) Gumelar, juga cekatan dalam menanggapi berbagai kasus. Ia juga tampak menyaksikan pertandingan Persib melawan Persebaya di Stadion Jalak Harupat, duduk di samping Wagub Jabar Dede Yusuf -- mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional. Tantowi Yahya dari Partai Golkar, kadang tampil di televisi dengan posisinya sebagai anggota DPR, tidak lagi sebagai penyanyi country atau sebagai pemandu acara. Eko Patrio, nyaris tak terdengar aksinya di DPR, mungkin lebih asyik tampil sebagai pemandu acara di beberapa stasiun televisi. Adjie Massaid memang sering tampil di televisi, terutama di infotainment, tetapi sehubungan dengan istrinya-- juga anggota DPR juga, Angelina Sondakh, yang melahirkan. Keduanya sudah dua periode jadi anggota DPR.


Tentu masih ada sejumlah selebriti lainnya yang kini dipercaya rakyat untuk menjadi anggota DPR, tetapi kurang terdengar publikasi kiprahnya, seperti Komar, Ingrid Kansil (istri Menteri Koperasi dan KUKM Syarif Hasan), Rachel Maryam, Jamal Mirdad, dan lainnya.

Kehadiran sejumlah selebriti di Gedung DPR, memang masih belum terasa gaungnya. Mungkin juga karena mereka tidak duduk di komisi yang berkaitan dengan korupsi. Bahkan popularitas mereka terkalahkan oleh Pansus Angket Bank Century. Berkat siaran langsung melalui dua stasiun televisi, anggota Pansus Hak Angket Bank Century menjadi begitu dikenal khalayak. Konon acara siaran langsung itu, bisa mengalahkan beberapa acara hiburan.

Salah seorang bintang Pansus Angket Bank Century adalah pakar hukum yang juga pemain sinetron, Ruhut Sitompul. Dengan gayanya yang merendah tetapi meledak-ledak, Ruhut, pemeran Poltak dalam sinetron komedi supranatural ”Gerhana”, menjadi bahan sorotan, ada yang pro, ada yang kontra dengan sikapnya. Ketika berdebat dengan Wakil Ketua Pansus Gayus Lumbun dalam suatu ”perang mulut” yang seru, ia banyak dikritik karena melontarkan kata yang dianggap kasar. Bahkan kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia menyebutnya dengan ”Daeng”. Akan tetapi, Ruhut tak mau mengubah sikapnya, ia tetap seperti apa adanya. Mungkin juga, karena Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Anas Urbaningrum, tak menganggap sikap Ruhut sebagai suatu kesalahan. 

Siaran langsung tanya jawab Pansus Angket Bank Century dengan narasumber yang berkaitan dengan Bank Century, ibarat sebuah pentas teater. Kita menyaksikan beragam karakter yang tampil secara alami. Setidaknya, karakteristik anggota pansus dari PDIP misalnya berbeda dengan karakteristik anggota pansus dari Partai Demokrat. Kita melihat sosok muda Bambang Susatyo (Golkar) dan Maruarar Sirait (PDIP) yang sangat militan untuk mengungkap kasus Bank Century. Begitu juga para narasumber, apakah itu Marsilam Simanjuntak, Aulia Pohan, Burhanuddin Abdullah, Miranda Gultom, Susno Duadji, atau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono, memiliki sikap dan gaya tersendiri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anggota pansus.

Sayang memang, tak ada selebriti yang jadi anggota Pansus Bank Century, sehingga kita tak bisa menyaksikan kemampuannya mencecar narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas – tanpa terkesan mengadili. Atau mungkin saja ada anggapan jika selebriti jadi anggota Pansus Angket Bank Century dianggap kurang tepat.

Kebanyakan selebriti yang lolos jadi anggota DPR, memang bukan politikus murni. Bukan orang yang tergembleng dalam sebuah perjalanan partai politik. Sebagian besar dipilih parpol karena pertimbangan popularitas dengan tujuan untuk mendulang suara. Kehadiran mereka sebagai wakil rakyat, masih memerlukan adaptasi. Memang bukan hanya mereka, sebab yang bukan selebriti juga banyak yang baru mengenal parpol dan kebetulan terpilih jadi wakil rakyat.

Berbeda dengan sosok Sophan Sophiaan (almarhum). Sophan adalah putra dari politikus kawakan Manai Sophiaan. Ia cukup tergembleng dalam lingkungan politik. Kiprahnya ketika menjadi anggota PDI Perjuangan bukan hanya mengandalkan popularitasnya sebagai bintang film dan sutradara ternama, tetapi dengan wawasan pengetahuannya sebagai seorang politikus. Ketika jadi anggota DPR, ia begitu menonjol dan disegani bukan karena kegiatan selebritinya, tetapi sikapnya yang tegas bahkan keras dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Ia benar-benar menjelma menjadi seorang wakil rakyat yang membela kepentingan rakyat. Sewaktu aspirasinya berseberangan dengan partainya, ia memilih ke luar dari partai sekaligus berhenti menjadi anggota DPR.

Apakah ”kurang berbunyinya” selebriti anggota DPR itu karena kebanyakan baru mengenal ruang lingkup dunia politik, atau karena merasa cukup dengan sebutan anggota DPR saja, sementara fokus perhatiannya tetap ke dunia hiburan? Yang kita saksikan hingga sekarang, DPR memang bukan ”pentas” bagi para selebriti. Entahlah ke depan. Kita lihat saja perkembangannya.***

Penulis, Pemimpin Redaksi ”Galura”.
Opini Pikiran Rakyat 4 Februari 2010