03 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Distorsi Demokrasi dan Pendekatan Seolah-olah

Distorsi Demokrasi dan Pendekatan Seolah-olah

Dari hasil Pilpres 2009 kita melihat angka telak diperoleh SBY-Boediono dari Mega Prabowo dan JK Wiranto. Yang terakhir ini adalah pilihan intelektual yang hanya berhasil mendapatkan suara di atas 12%. Angka ini sebenarnya tidak selalu menggambarkan pilihan riil rakyat karena berbagai faktor yang ada dalam sistem demokrasi, ketatanegaraan, pemerintahan, sistem pemilu, sistem politik, realitas sosial, budaya, dan distorsi informasi dan media.


Protes dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah SBY-Boediono pada awal setelah bulan madunya selesai menunjukkan kebenaran anggapan ini. Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang terbaik ternyata tidak terjadi. Bahkan di USA juga banyak anggapan yang menyatakan bahwa pemilihan presiden dengan sistem yang begitu melelahkan juga tidak sampai pada pilihan the best president.

Di Indonesia dapat dikatakan kendatipun kita menamakan dirinya negara dengan sistem demokrasi tidaklah berarti bahwa pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, dan bisa disebut bahwa kita tidak benar negara demokratis jika dilihat realitas bukan pidato dan formalitas. Apalagi indikator kepentingan rakyat yang diutamakan dalam kebijakan, kebijakan 100 hari SBY justru sebaliknya, kebijakannya tidak untuk kepentingan sebagian besar rakyat seperti renovasi pagar istana, rumah DPR, pembelian kendaraan Menter, pesawat kepresidenan dan skandal Bank Century.

Menurut saya ada beberapa penyebab distorsi demokrasi di Indonesia sehingga kita sebenarnya hanya negara demokrasi pura-pura atau etzats democracy atau bisa juga disebut corporacracy atau democrazy. Pertama, distorsi sistem demokrasi global. Kendatipun sistem demokrasi yang konvensional sudah menjadi standar dunia, tentu berbagai negara menerapkannya dengan berbagai cara dan hasil yang berbeda beda. Seolah dunia sudah menganggap bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem terbaik yang taken for granted.

Padahal distorsi dalam demokrasi saat ini terjadi karena beberapa variabel kontekstual, adat, keyakinan, budaya, sifat elite yang bisa terjadi bukan saja di Indonesia bahkan juga seperti di Amerika Serikat tidak menjadi pertimbangan. Menurut Kevin Phillips, misalnya demokrasi yang ada di Amerika sesungguhnya adalah corporacracy pemerintahan yang dipimpin diatur untuk kepentingan perusahaan besar, kapitalis, bukan untuk kepentingan rakyat.

Kedua, distorsi akibat kemiskinan. Dalam negara yang masih miskin maka pola hidup dan perilaku hidup akan berbeda dibanding dengan masyarakat yang sudah mapan. Sesuai teori Maslow, jika mereka yang miskin seperti di Indonesia yang ditaksir bisa melebihi 60% (kalau asumsi standarnya dengan pendapatan US$2 per hari), yang diutamakan bukan ideologis, bukan masa depan, tetapi urusan kebutuhan fisik dan keamanan.

Sehingga tidak mengherankan jika money politic sangat subur dalam praktik politik, pemilu, pemilihan pejabat, hukum, pemerintahan di Indonesia. Jika demikian sebetulnya bisa dipastikan pilihan peserta pemilu 60% kalau terjadi money politic adalah karena uang bukan karena pilihan yang sesungguhnya.

Ketiga, distorsi pendidikan. Tingkat illiterate yang tinggi dan tingkat pendidikan rakyat Indonesia yang sekitar 67% tamat SD merupakan ladang luas untuk melakukan distorsi informasi. Sebagaimana diketahui, menurut Prof Ibnu Hamad, media tidak lagi mempresentasikan realitas maka sebenarnya informasi yang diterima masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan yang sesungguhnya.

Ini berarti bagi mereka yang tingkat pendidikannya rendah akan sukar melakukan pilihan yang tepat atas apa yang ditawarkan pemberi informasi dan pesan. Sehingga ada pilihan untuk mengurangi distorsi ini yaitu dengan memberikan hak vote sesuai dengan level pendidikannya, misalnya, setara SD atau tidak tamat 1 vote, setara SLTP 5 vote, setara SLTA 10 vote, setara S1 15 vote, setara S2 25 vote, setara S3 40 vote setara guru besar 50 vote.

Memang ini tidak menjamin tidak terjadi distorsi, tetapi minimal sesuai Bayesen theory, pilihan keputusan yang dilakukan individu yang memiliki discretionary atau subjective judgment akan dapat meningkatkan kualitas pilihan. Saya yakin pilihan dari mereka yang berpendidikan lebih baik akan lebih baik. Di luar itu, akan lebih ideal jika kita bisa mengukur emotional and spiritual quation atau ESQ. Bukan hanya tingkat pendidikan dengan ukuran IQ.

Keempat, distorsi informasi. Distorsi informasi akan semakin merebak dalam masyarakat yang relatif tingkat pendidikan rendah. Sehingga distorsi informasi ini senasib dengan distorsi pendidikan di atas. Mereka yang dinilai baik, benar, tepat adalah apa yang diperolehnya di media massa tanpa mampu melihat makna, nilai di balik informasi dan citra yang disajikan.

Dalam dunia di media rules, media justru yang merekonstruksi sosial, tidak heran jika penyuplai, pencipta informasilah yang diuntungkan. Ini yang terjadi dalam Pilpres 2009. Biaya kampanye, biaya promosi, biaya iklan sejajar dengan pengumpulan suara. Semakin banyak biaya iklan yang dikeluarkan, semakin banyak suara yang diperoleh.

Distorsi tanggung jawab sosial atau distorsi iman atau spiritual. Dalam masyarakat sekarang dengan norma-norma sosial, spiritual, moral yang rendah dan nilai-nilai material yang dijunjung tinggi, tidak heran jika sikap masyarakat sangat pragmatis dan tidak banyak memikirkan dimensi akhirat, Tuhan atau masa depan. Akibatnya pilihannya pun sangat pragmatis tidak memikirkan masa depan yang lebih panjang, kendatipun dasar negara yang harus dikukuhkan pemerintah adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Distorsi apa pun yang terjadi atau dipelihara akan lenyap dan alam atau aspirasi masyarakat akan melakukan koreksi baik secara evolutif maupun revolusioner dengan berbagai konsekuensinya. Fenomena di mana distorsi ini tidak akan berlangsung lama dapat juga dilihat dari pergeseran minat masyarakat di televisi di mana terjadi perubahan selera yang signifikan dari acara drama ke acara fakta seperti acara berita yang merupakan informasi real.

Pemerintah yang dijalankan dengan cara memanipulasi fakta dan realitas diri dan keadaan akan gagal. Kasus Bank Century, kasus Antasari, kasus Bibit dan Chandra yang dinilai sedikit banyaknya mengandung unsur rekayasa oleh pihak tertentu ternyata gagal mengelabui mata dan hati rakyat. Menempatkan kader Ruhut Sitompul selaku pemain sinetron, dramawan untuk menjadi wakil rakyat di DPR/Pansus dan mencitrakan Partai Demokrat ternyata ditolak mentah-mentah oleh aspirasi dan mata publik.

Kebiasaan pemerintah SBY melakukan komunikasi politik kepada rakyat dengan gaya seolah-olah, pencitraan seolah-olah baik, seolah-olah antikorupsi, seolah- olah keputusan matang, seolah-olah semua di bawah kontrol, dan sebagainya tidak akan berhasil kepada rakyat yang semakin kritis dan berkualitas. Semoga demonstrasi 28 Januari dapat membuka mata hati pemerintah untuk meninggalkan politik pencitraan seolah-olah yang mengandung distorsi ini.

Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
Opini Media Indonesia 4 Februari 2010