03 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Warna Budaya Tradisional di Paragon

Warna Budaya Tradisional di Paragon

TIDAK lama lagi warga Semarang akan mendapat sebuah kado berupa launching sebuah pusat perbelanjaan baru di kawasan jalan Pemuda, yaitu Paragon City di Jalan Pemuda.

Mal tersebut terdiri atas 4 lantai ,termasuk ground floor, satu lantai untuk sinepleks, satu lantai convention center berkapasitas 2.000 orang, serta enam lantai atas yang akan dijadikan pertokoan dan hotel berbintang 5 plus.
Mal yang sedianya akan menjadi sebuah pusat perbelanjaan dengan segmen pasar menengah ke atas, ini sebenarnya memiliki nilai historis yang sangat mendalam bagi sejarah perkembangan kota Semarang.


Mal ini didirikan di atas lahan Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS), yang dahulu merupakan gedung Societet di era kolonial Belanda pada tahun 1900-an. Gedung ini dibeli oleh masyarakat pribumi dan dijadikan sebuah pusat perhimpunan dan kebudayaan masyarakat Semarang sekitar tahun 1950-an.

Dalam perjalanannya, gedung ini menjadi sangat terkenal ketika Wayang Orang Ngesti Pandowo beber kelir di kompleks tersebut. Seorang dalang bernama Ki Narto Sabdho, bahkan menjadi dalang dan pengendang kaliber di perkumpulan wayang orang ini dan bahkan kemudian diakui sebagai dalang legendaris dan memupus dominasi Surakarta dan Yogyakarta yang menjadi basis pakem pertunjukan wayang (dia juga merupakan dalang wayang kulit yang sangat terkenal).

Bersinarnya Ngesti Pandowo membuat GRIS menjadi sangat identik dengan kelompok kesenian wayang orang tersebut. Pada masa-masa keemasannya, masyarakat selalu memenuhi gedung pertunjukan tersebut untuk menyaksikan pertunjukan wayang.

Saat ini, modernisasi tentu tak dapat ditolak. Pertunjukan wayang telah digantikan oleh film dan TV. Gedung Kesenian pun telah digantikan kedudukannya oleh mal. Untuk itu, daripada menyesali pembongkaran kompleks GRIS belasan tahun yang lalu, lebih baik kita menerima kenyataan bahwa di tempat tersebut telah berdiri sebuah pusat perbelanjaan megah yang dilengkapi convention center serta hotel berbintang lima.

Pembangunan mal dengan fasilitas yang sangat super tersebut menurut saya justru memberi peluang pada Paragon City untuk meneruskan cita-cita GRIS menjadi pusat kegiatan dan aktivitas masyarakat Semarang dalam kondisi yang jauh lebih baik dan modern.

Atau dengan kata lain Paragon seharusnya mampu menjelma menjadi sebuah Societet modern bagi masyarakat Semarang, dengan memberikan kelas dan kualitas yang seutuhnya. Untuk itu, gedung yang megah itu perlu memberikan ruang khas cita rasa Semarang dalam suasana mal, dan menghindarkan mal sebagai ruang ahistoris bagi pengunjungnya yang ujung-ujungnya hanya menghasilkan alienasi alias keterasingan antara pengunjung dan malnya.

Salah satu tawaran yang mungkin bisa menjembatani ikatan historis antara mal dan masyarakat Semarang adalah dengan mengembalikan pertunjukan-pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandowo dalam kompleks mal tersebut melalui program corporate social responsibility (CSR).

Secara sederhana pengagendaan pementasan wayang orang di dalam kawasan mal dan hotel sendiri akan menjadi atraksi yang menarik bagi tamu hotel dan pengunjung. Namun hal ini menurut saya memiliki nilai yang sangat strategis bagi pengelola mal. Brand image perusahaan akan terbangun dengan nilai plus sebagai mal yang memiliki kepedulian terhadap tumbuh kembangnya seni budaya rakyat di tengah serbuan kebudayaan pop global.

Lebih jauh dari itu, pertunjukan wayang orang dalam lingkungan Paragon dengan begitu akan menjadi ciri khas penting bagi gedung itu sebagai mal yang tidak sekadar menjadi pintu modernitas global, namun juga memberikan nilai-nilai postmodernitas bagi warga Semarang.

Menurut saya ini sangat penting bagi pencitraan karena dapat menunjukkan visi bangunan megah tersebut yang sangat jauh ke depan, menjalin dialog harmonis antara masa depan sekaligus masa lalu, dan ini akan membawa nilai-nilai kesadaran kultural yang jauh lebih luas bagi warga.

Ini adalah terobosan yang luar biasa tentunya, dan tren saat ini juga sangat mendukung. Kesadaran mencintai seni budaya tradisi sebagai gaya hidup saat ini sedang tumbuh sangat subur.

Banyak ikon budaya dibangun menjadi simbol-simbol populer seperti batik yang kembali digemari masyarakat, pameran Bienale Jogja X yang menggunakan ikon tradisi di ruang publik, revitalisasi kawasan Ngarsopuran di Solo yang sangat kaya dengan sentuhan etnik, hingga keberadaan Alun-alun Indonesia di Mal Grand Indonesia Jakarta. Contoh tersebut barulah sebagian bukti yang menunjukkan tren tersebut.

Suatu saat jika melewati taman di persimpangan Depok di Jalan Pemuda Semarang, saya juga berharap dapat melihat patung dari adegan pertunjukan wayang orang atau patung sosok Ki Narto Sabdho sedang mendalang, sebagai sebuah ikon yang dipersembahkan Paragon untuk mengingatkan kembali GRIS dan Ngesti Pandowo pada historia warga Semarang. (10)

— Titus Soepono Adji, dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Wacana Suara Merdeka 4 Februari 2010