03 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Mengalkulasi 'Bocah-Bocah Nakal'

Mengalkulasi 'Bocah-Bocah Nakal'

Arif Sugiono
Staf Pengajar Political Marketing Jurusan Administrasi Bisnis FISIP Universitas Lampung.
Realitas politik nasional akhir-akhir ini menjadi sangat bingar. Bingarnya suasana perpolitikan nasional tersebut, disebakan lahirnya "bocah-bocah nakal", baik yang berada dalam Pansus Century maupun para peserta demo yang menilai kegagalan program kerja 100 hari pertama SBY pada periode kedua dia sebagai presiden.


Istilah "bocah-bocah nakal" tersebut saya pinjam dari istilah yang dipopulerkan pengamat politik Sunardi Rinakit. Istilah "bocah-bocah nakal" sebetulnya lebih ditujukan kepada para anggota pansus dari partai politik pendukung SBY yang berprilaku tidak sebagaimana mestinya. Salah satunya sikap kritis terhadap pemerintah dan para aktivis yang semakin kuat menyuarakan impeachment dalam berbagai aksi.
Untuk mempermudah pemahaman kita terhadap dinamika politik yang terjadi sekarang, kita dapat menggolongkan menjadi dua kategori. Pertama, dinamika politik dalam artian formal (sebagaimana terlihat dalam pergulatan di Pansus Century di DPR, Mahkamah Konstitusi/MK, MPR, MA, dan lembaga negara formal lainnya). Kedua, dinamika dalam artian informal (pergulatan para aktivis dalam parlemen jalanan, pers dan kekuatan civil society lainnya yang hadir dalam beragam wujud aksi).
Yang menarik, dalam dinamika yang terjadi di atas, wacana tentang mungkin-tidaknya impeachment terhadap presiden/wakil presiden semakin mengemuka. Hal itu tidak lepas dari keinginan para "bocah-bocah nakal" di atas untuk mengganti rezim yang dianggap gagal. Tulisan ini mencoba mengalkulasi imajinasi "bocah-bocah nakal" terkait peluang mungkin tidaknya impeachment dari sisi mekanisme konstitusi dan dinamika formal kelembagaan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, setelah mengalami beberapa kali proses amandemen, kita telah sepakat menganut sistem presidensiil/ presidensial. Tujuan utama dari presidensiil demi terciptanya stabilitas politik. Di mana peggantian kekuasaan dapat berjalan secara teratur/fixed time. Hal ini membawa konsekuensi terhadap proses/mekanisme impeachment yang begitu rumit/sulit bahkan imposible dalam konstitusi kita. Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem parlementer yang lebih bermuara pada terciptanya instabilitas politik. Di mana, pemerintahan dibuat jatuh bangun, yang sangat tergantung dari ada tidaknya mosi tidak percaya dari parlemen. Sehingga usia pemerintahan relatif singkat. Ada yang berusia 1 bulan, 1 tahun, bahkan 2 minggu.
Implikasi lainnya dari sistem presidensial, adalah sistem ini memberikan kekuasaan yang sangat powerful bagi presiden (dalam realitas politik, hal ini menyebabkan banyak pihak yang memilih berada di dekat presiden, bahkan tanpa sungkan beberapa parpol dan beberapa elemen masyarakat mengatakan I Love U Full SBY). Powerfull-nya seorang presiden, salah satunya dapat dilihat dalam proses pengangkatan seorang hakim konstitusi. Seseorang walaupun sudah dipilih oleh DPR/ disetujui oleh MA untuk menjadi hakim konstitusi, seseorang tersebut belum bisa menjalankan tugas kesehariannya sebagai hakim MK sebelum mendapatkan surat keputusan presiden yang telah ditandatangani presiden. Karena sistem presidential, selain menjadikan presiden sebagai kepala negara, juga sebagai kepala pemerintahan.
Berkaitan dengan dinamika formal yang terkait dengan mimpi para "bocah nakal" tersebut, sukses tidaknya proses impeachment presiden/wakilnya, sebenarnya terletak pada 3 lembaga negara yang terlibat secara langsung dalam proses impeachment. Ketiga lembaga tersebut, di antaranya DPR, MK, dan MPR.
Berkaitan dengan DPR, pertanyaannya, apakah "bocah-bocah nakal" yang ada di pansus bisa memastikan 2/3 anggota DPR setuju untuk menggunakan hak berpendapat bahwa kasus Bank Century telah memenuhi unsur melawan hukum?. Berkaitan dengan peran MK dalam proses impeachment, dengan sembilan hakim konstitusi yang dimiliki, kembali memunculkan sebuah pertanyaan. Apakah "bocah-bocah nakal" di atas, mampu memastikan mayoritas hakim konstitusi (5 dari 9 hakim konstitusi) menyatakan bahwa presiden/wakil presiden bersalah? Selanjutnya berkaitan dengan MPR, apakah "bocah-bocah nakal" di atas mampu memastikan MPR berani menggelar sidang istimewa?
Melihat realitas yang ada, dari sudut pandang peran, fungsi, dan hubungan antarlembaga negara, tampaknya sangat sulit. Bahkan impeachment presiden merupakan sebuah mission imposible. Untuk mewujudkan mimpi "bocah-bocah nakal" tersebut, mereka harus melewati minimal 3 titik kritis. Titik kritis Pertama, "bocah-bocah nakal" yang ada di Pansus Century harus berhasil memastikan 2/3 anggota DPR menyatakan pendapat kasus bailout Century telah memenuhi unsur pelanggaran hukum. Namun, bukankah SBY memiliki kontrak koalisi yang bisa dijadikan kartu truf untuk mempertegas sikap partai pendukung koalisi.
Seandainya titik kritis pertama berhasil, "bocah-bocah nakal" harus menghadapi titik kritis kedua, yaitu bagaimana membuat mayoritas hakim konstitusi harus berpendapat presiden/wakil presiden bersalah. Harus kita sadari, sembilan hakim dari MK, terdiri dari 3 hakim dari usulan presiden, 3 hakim dari usulan DPR, dan 3 hakim dari usulan MA. Seandainya proses impeachment sudah berada pada MK, presiden tidak akan tinggal diam, bagi seorang SBY, tidak susah mencari 2 hakim lainnya selain 3 hakim yang diusulkannya untuk tetap mendukung SBY sampai 2014, dengan berpendapat bailout Bank Century tidak memenuhi unsur melawan hukum. Apabila ini terjadi, game over, finish. Wacana impeachment presiden dan wakil presiden sudah tidak berarti lagi.
Seandainyapun aksi "bocah-bocah nakal" tersebut melaui pengacara yang ditunjuk mampu meyakinkan mayoritas hakim MK, titik kritisnya berpindah di tangan MPR. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah "bocah-bocah nakal" tersebut berhasil mendapatkan simpati 2/3 dari anggota MPR untuk menolak pembelaan yang dilakukan SBY/Boediono dalam sidang Istimewa? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dicarikan jawabannya. Karena dunia politik penuh dengan ketidakpastian. Tapi yang membuat kita agak tersenyum, dalam dunia politik pun berlaku sebuah pepatah, "Jika kamu memiliki kuncinya, bunuhlah dia, sebelum dia membunuh kamu." Selamat berjuang "bocah-bocah nakal".

Opini Lampung Post 4 Februari 2010