03 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Peran Perbankan Dorong Pertumbuhan

Peran Perbankan Dorong Pertumbuhan

Sudah saatnya BI berani melaksanakan rencana menentukan selisih maksimal antara bunga deposito dan kredit, untuk mencegah bank menarik laba besar

PEMERINTAH dan Bank Indonesia (BI) pada tahun 2010 sepakat memprediksi dan menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi itu dibutuhkan pembiayaan Rp 2.000 triliun. Dana  tersebut akan diperoleh dari APBN Rp 200 triliun, pasar modal Rp 400 triliun, investasi domestik Rp 450 triliun, investasi asing Rp 500 triliun, dan kredit perbankan Rp 450 triliun.


Dari beberapa sumber pembiayaan untuk memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada tahun 2010 , salah satu yang agak sulit diwujudkan adalah kredit perbankan. Mengapa? Pasalnya dalam tahun 2009 saja dari sekitar Rp 1.700 triliun dana yang dipakai untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 4,3 persen (perkiraan), kredit perbankan hanya berkontribusi Rp 78 triliun atau hanya 4,6 persen.

Maka sangat tidak mungkin untuk memacu pertumbuhan kredit perbankan secara luar biasa pada tahun 2010. Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad memperkirakan kredit perbankan tahun ini hanya bisa mencapai maksimal Rp 210 triliun. Sementara Ketua Himbara Agus Martowardoyo memperkirakan jumlah kredit perbankan tahun ini lebih rendah lagi yaitu hanya Rp 190 triliun.

Salah satu hambatan utama penyaluran kredit perbankan  adalah tingginya suku bunga kredit perbankan. Sampai saat ini suku bunga kredit di Indonesia masih berkisar antara 13 dan 15 persen. Padahal BI Rate sudah dipangkas hingga sekarang mencapai 6,5 persen.  Maka agar kredit perbankan yang tersalur lebih besar maka suku bunga kredit harus didorong untuk turun.

Ada beberapa sebab mengapa suku bunga kredit di Indonesia relatif tinggi. Pertama, perbankan sampai saat ini masih menawarkan suku bunga deposito yang relatif cukup tinggi yaitu 6-7 persen. Tingginya suku bunga deposito ini mencerminkan sebenarnya kelangkaan dana atau likuiditas yang dialami oleh perbankan.

Langkanya likuiditas ini banyak yang menyatakan sebagai akibat ‘’mudiknya’’ dolar AS ke negaranya untuk kebijakan stimulus dan penjaminan di lembaga-lembaga keuangan AS akibat krisis keuangan di sana. Maka kalau bunga deposito masih tinggi, wajar jika suku bunga kredit juga tinggi.
Kedua, pihak perbankan masih mempersepsikan bahwa menyalurkan kredit kepada dunia usaha sampai saat ini masih menghadapi risiko yang tinggi.

Akibatnya perbankan menambahkan risiko kredit ini atau yang disebut premi risiko (risk premium) ke dalam suku bunga kredit. Akibatnya suku bunga kredit tinggi.Ketiga, perbankan masih tetap menginginkan keuntungan atau laba yang tinggi dengan berbagai alasan.

Keempat, perbankan sekarang lebih senang menyalurkan dana yang diperoleh dari para deposan ke Surat Utang Negara (SUN). Sebagaimana diketahui suku bunga  SUN saat ini masih cukup tinggi yaitu 10-15 persen. Sehingga bisa dikatakan bahwa SUN sekarang merupakan alternatif bank untuk menempatkan dananya setelah SBI bunganya terus diturunkan. Hal ini sekaligus mencerminkan ketidakserasian antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal.

Di satu sisi kebijakan moneter ingin melonggarkan likuiditas dan mendorong penurunan suku bunga kredit dengan menurunkan BI rate yang akan diikuti dengan penurunan bunga SBI, tetapi di sisi lain kebijakan fiskal malah bergerak ke arah sebaliknya yaitu dengan menerbitkan SUN dengan bunga tinggi.

Kelima, belum efisennya perbankan di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan masih tingginya biaya overhead perbankan seperti biaya untuk ATM, gedung, dan biaya lain-lain. Biaya overhead yang tinggi tersebut akan ditambahkan pada suku bunga kredit sehingga suku bunga kredit tinggi.

Setelah diketahui berbagai sebab mengapa suku bunga kredit di Indonesia masih tetap tinggi sampai saat ini maka bisa dikemukakan beberapa Kebijakan agar suku bunga kredit turun. Kebijakan tersebut harus diambil baik oleh pihak perbankan sendiri, BI ataupun pemerintah. 

Bagi pihak perbankan, pertama, untuk menghilangkan persepsi bahwa risiko menyalurkan kredit masih tinggi maka perbankan mestinya tidak menggeneralisasikan bahwa semua debitur pasti buruk atau nantinya tidak akan mengembalikan kreditnya.

Memilah

Bank harus memilah dengan teliti mana debitur yang baik dan mana yang tidak baik. Dalam hal demikian, bank bisa belajar dari lembaga-lembaga keuangan mikro dimana mereka tahu betul karakter nasabahnya sehingga kredit macet di lembaga-lembaga tersebut kecil.

Kebijakan kedua yang harus diambil oleh pihak perbankan adalah menghilangkan inefisiensi dengan memangkas biaya overhead yang tidak perlu.

Biaya overhead yang tidak perlu tersebut misalnya untuk pembangunan gedung yang megah. Pembangunan gedung yang megah tersebut mungkin sebagai bagian untuk membangun citra agar bank tampak bonafid. Tetapi kalau kita bandingkan dengan di luar negeri maka bank-bank di sana sangatlah sederhana dan tidak megah.

Bagi pemerintah, kebijakan yang harus diambil, pertama, membatasi suku bunga atas dana dari BUMN, BUMD, maupun pemkab/pemkot yang ditempatkan di SUN. Penempatan dana-dana tersebut di SUN dengan bunga biasa akan mendorong suku bunga SUN sebagai benchmark bagi penentuan bunga pada umumnya. Maklum dana-dana tersebut jumlahnya tidaklah kecil.

Kebijakan kedua yang harus diambil pemerintah adalah bekerja sama dengan BI, menyelenggarakan semacam forum bisnis antara bank dan calon debitur. Bank bisa menyediakan informasi tentang bisnis apa yang prospektif dimana pihak bank sanggup untuk nantinya membiayai. Dengan forum ini risiko kredit bisa ditekan.

Kebijakan ketiga yang harus diambil pemerintah adalah menjaga stabiitas ekonomi makro. Jika stabilitas ekonomi makro terjaga maka risiko usaha akibat ketidakstabilan ekonomi makro bisa ditekan dan dengan demikian risiko kredit turun, yang pada akhirnya bunga kredit akan turun.

Kebijakan keempat yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah meninjau kembali tingginya suku bunga SUN. Suku bunga SUN mestinya tidak perlu setinggi sekarang karena akan menahan penurunan suku bunga kredit.  Bagi BI, sudah saatnya berani melaksanakan rencana untuk menentukan selisih maksimal antara bunga deposito dan bunga kredit.(10)

— Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip
Wacana Suara Merdeka 4 Februari 2010