18 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pencegahan Bunuh Diri

Pencegahan Bunuh Diri

Oleh Teddy Hidayat

Pada Jumat 15 Januari 2010  seorang pria diduga bunuh diri dengan terjun dari lantai lima Pasar Baru. Sebelumnya, di tempat  yang sama, seseorang juga bunuh diri, sekitar Oktober  2009. Mengapa orang bunuh diri dan dilakukan di pasar?      

Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks dengan fakta terjadi peningkatan angka bunuh diri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. WHO memperkirakan setiap tahunnya lebih dari satu juta orang meninggal akibat bunuh diri dan 65 persen terjadi di Asia. Itu hanya kejadian yang terlaporkan, padahal masalah ini seperti gunung es. Bunuh diri yang tidak sampai berakibat fatal, pelaporannya lebih tidak jelas lagi. Bunuh diri diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun ke depan, seiring dengan meningkatnya kasus depresi  di seluruh dunia.   

Kerja keras membangun kesadaran akan pentingnya pencegahan bunuh diri (suicide prevention) dirasakan semakin terasa, ketika faktor pencetus yang membuat tertekannya kehidupan masyarakat semakin nyata. Indonesia juga termasuk berada dalam risiko tinggi.             

Bunuh diri lebih banyak dilakukan individu dalam keadaan tingkat integrasi serta regulasi sosial yang buruk. Profil individu yang berisiko melakukan bunuh diri, pertama, pria lebih banyak dari wanita. Laki-laki lebih berhasil dalam melakukan bunuh diri karena umumnya memilih cara bunuh diri yang lebih keras dengan angka fatalitas tinggi, seperti gantung diri, terjun dari ketinggian, atau menggunakan senjata. Sementara perempuan cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi sehingga memilih cara minum obat atau racun serangga. 

Kedua, usia terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-35 tahun atau usia di atas 65 tahun. Pada usia dewasa  umumnya yang menjadi pencetus masalah ekonomi atau utang, kehilangan pekerjaan dan pengangguran, atau hubungan suami istri yang buruk. Semakin banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi, pengangguran, akan semakin banyak orang menderita gangguan mental emosional dan masalah psikososial yang menjadi predisposisi bunuh diri.

Ketiga, mempunyai riwayat keluarga yang bunuh diri. Ini menunjukkan adanya peran faktor keturunan pada gangguan mental emosional yang menjadi predisposisi bunuh diri, misal gangguan depresi atau bipolar.

Keempat, sedang menderita penyakit kronis seperti kanker, jantung,  HIV-AIDS, pengguna narkoba, dan lain-lain.

Kelima, menderita gangguan mental-emosional, terutama  depresi dan psikotik yang menunjukkan gejala impulsif atau halusinasi perintah. 

Keenam, terisolasi dan kurangnya dukungan sosial atau pada kelompok minoritas.

Ketujuh, mempunyai riwayat kekerasan dalam rumah tangga atau domestic violence (physical/sexual abuse).

Meskipun sebenarnya bunuh diri jauh lebih rumit dari sekadar paparan tersebut. Teori yang sampai saat ini masih dapat diterima adalah interaksi antara faktor biologik, psikologik, sosio-kultural, dan faktor-faktor kontekstual yang bisa memengaruhi risiko perilaku bunuh diri.  Pria lebih sering melakukan bunuh diri dengan cara yang lebih fatal (completed suicide) sedangkan perempuan sering melakukan percobaan bunuh diri (attempted suicide).

Orang yang bunuh diri tanpa membawa identitas atau pesan, kemungkinan yang bersangkutan tidak ingin dikenal oleh orang lain (tidak membuat malu keluarga) atau peristiwa itu bukan bunuh diri  tetapi pembunuhan. Cara bunuh diri melompat dari ketinggian merupakan cara paling mudah. Tempat-tempat tertentu dapat menjadi favorit untuk bunuh diri. Semakin sering tempat itu digunakan bunuh diri, semakin banyak yang akan mencontoh. 

Bunuh diri di tempat keramaian seperti di mal atau pasar artinya pelaku bermaksud menunjukkan pada ”dunia”, dirinya punya masalah besar. Sejatinya tidak ada orang yang menginginkan kematian, yang ada adalah orang yang terperangkap dalam situasi dan ia tidak dapat melihat  jalan keluarnya selain kematian. Pelaku ingin menjerit dan mengeluhkan  penderitaannya  pada dunia,  tetapi tidak dengan mulutnya.               

Peran serta media dalam cara pemberitaan kejadian bunuh diri dapat menjadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa menjadi alat pencegahan, tetapi di sisi lain sebaliknya malah mendorong perilaku tersebut dengan terjadinya proses imitasi atau meniru. Untuk itulah perlu digalang peran serta media massa dan seluruh komponen masyarakat untuk ikut meningkatkan kesadaran tentang usaha pencegahan  bunuh diri yang sebenarnya memang bisa dicegah bila mendapatkan cara penanganan yang adekuat, termasuk mengenali orang-orang yang berada dalam faktor risiko, cara menghadapi orang-orang yang mempunyai niat atau pikiran untuk mati, kepada siapa mereka dapat meminta pertolongan pertama, bagaimana memobilisasi peran serta keluarga. Ini adalah masalah kondisi medik yang dipicu stresor psikososial lain. 

Penanganan penderita harus komprehensif, memerlukan keterampilan dan pemahaman yang baik, serta kerja sama berbagai pihak dan disiplin ilmu. Ada beberapa kondisi individu yang dapat memperkuat usaha pencegahan bunuh diri, yaitu meningkatkan coping skill, kohesi sosial yang baik, pemahaman yang intens tentang spiritualitas dan lingkungan yang suportif. Profesi kedokteran jiwa dapat bekerja sama dengan media, industri periklanan, swasta dan masyarakat luas untuk terlibat dalam pencegahan bunuh diri di tengah masyarakat.***

Penulis, psikiater, Kabag Psikiatri Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Opini Pikiran Rakyat 19 Januari 2010