18 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Kasus Bank Century dan Uang Negara

Kasus Bank Century dan Uang Negara

Ketika saya mendengar perdebatan kasus Bank Century, ternyata masih ada yang mengatakan uang yang digunakan itu bukanlah uang negara. Alasannya, uang itu adalah uang yang dikumpulkan dari berbagai bank melalui Lembaga Penjamin Simpanan alias LPS. Karena itu berasal dari bank-bank, uang itu bukanlah uang negara, dalam arti uang yang dikelola negara. Mereka beranggapan uang negara itu hanya sebatas APBN.


Argumentasi semacam itu bagi saya bukanlah hal baru. Dulu, ketika kasus aliran dana BI berkembang, ada juga yang mengatakan dana itu bukanlah uang negara, melainkan uang YPPI. Sama saja dengan kasus biaya perkara yang pernah merebak dan menjadi perdebatan yang berkepanjangan antara BPK dan Mahkamah Agung. Demikian juga banyak contoh lainnya. Kini, ketika kasus Bank Century merebak, rupanya ada juga yang melarikan persoalan ke sana. Jadi, saya juga tidak kaget. Namanya juga coba-coba, siapa tahu ada yang terpengaruh.

Padahal sesungguhnya untuk menetapkannya tidaklah perlu bertele-tele. Lihat saja aturan resmi tentang hal itu. Pasal 1 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Karena itu baru pengertian alias definisi, pada pasal berikutnya lebih dirinci lagi. Di Pasal 2 undang-undang ini ada sembilan poin yang ditegaskan sebagai uang negara. Secara lengkap saya muat berikut ini:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Bisa jadi dalam menguraikan pokok bahasan tidak hanya melihatnya pada salah satu poin di atas, tetapi mengaitkannya dengan poin lainnya. Misalnya poin c dikaitkan dengan poin b sehingga memberi pengertian sebagai penerimaan negara yang digunakan dalam memenuhi kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan atau membayar tagihan pihak ketiga. Dan seterusnya.

Pemerintah atau institusi negara

Tak mengherankan bila pemahaman tentang keuangan negara ini lebih memudahkan lagi manakala dihubungkan dengan berbagai contoh. Ketika saya memimpin pemeriksaan keuangan negara pada tanggap darurat bencana yang disebabkan tsunami di Banda Aceh akhir 2004 dan awal 2005 dulu, kami merumuskannya secara sederhana. Bahwa yang diaudit BPK itu adalah uang negara yang mencakup APBN/APBD serta dana-dana yang dikelola oleh institusi negara lainnya. Misalnya dana masyarakat (katakanlah sumbangan rakyat) yang dihimpun oleh pemda maka itu adalah uang negara yang akan diaudit BPK. Demikian juga halnya dengan dana milik negara (katakanlah misalnya sumbangan dari BUMN), walaupun diserahkan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau yang disumbangkan ke koran atau televisi yang dikelola oleh pihak swasta, tetap termasuk uang negara yang dicek penyalurannya.

Sebaliknya dengan dana masyarakat yang dikelola oleh unsur masyarakat (katakanlah perusahaan swasta), tentulah bukan uang negara dan bukan objek pemeriksaan BPK. Itulah sebabnya ketika ada yang mempertanyakan dana masyarakat yang dihimpun oleh sebuah koran nasional, saya jelaskan dana itu bukanlah uang negara yang diperiksa oleh BPK. "Silakan kantor akuntan publik (KAP) mengauditnya, untuk selanjutnya diumumkan ke publik!" ucap saya ketika itu. Tentu kalau lembaga-lembaga nonnegara itu ingin menunjukkan transparansi dan akuntabilitas agar dipercaya oleh masyarakat. Yang jelas, semua itu tidak ada kaitannya dengan BPK karena BPK memang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana yang ditegaskan di UUD 45 dan kemudian diuraikan lebih lanjut melalui UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Jelasnya, UU inilah yang menegaskan uang negara itu diperiksa oleh BPK.

Kemudian yang berkembang dengan kasus biaya perkara yang dihimpun pengadilan. Semula ada pihak yang tidak bersedia diperiksa (diaudit) oleh BPK dengan alasan bahwa uang perkara itu bukanlah uang negara, melainkan dana pihak ketiga yang dititipkan kepada pengadilan. Pemahaman selama ini memang demikian, apalagi landasannya adalah HIR (het Herziene Indonesisch Reglement) yang bertarikh 1941. Artinya kebiasaan yang berlangsung selama puluhan tahun, kemudian menjadi masalah ketika harus diperiksa oleh BPK (sesuai dengan UU No 15 Tahun 2004 di atas), terutama setelah rumusan uang negara ditegaskan melalui UU No 17 Tahun 2003 tadi. Bahwa uang yang dikelola oleh institusi negara (dalam hal ini pengadilan) adalah uang negara, betapa pun sumbernya dari pihak beperkara (pihak ketiga) dan statusnya uang titipan. Melalui pendekatan dan penjelasan seperti ini, akhirnya semua pihak bersepakat untuk memandangnya sebagai uang negara yang akan diperiksa oleh BPK.

Uang negara

Dengan kerangka berpikir seperti itulah agaknya kita bisa mengulas dana yang digunakan dalam 'penyelamatan' Bank Century yang kini menjadi perdebatan. Yang pertama, modal awal Lembaga Penjamin Simpanan ini berasal dari uang negara (APBN). Adapun LPS ini dibentuk oleh pemerintah (Kementerian Keuangan) dan mekanisme kerjanya bersama-sama dengan Bank Indonesia maka tak perlu kita ragukan lagi bila LPS ini adalah institusi negara atau institusi yang dibentuk oleh pemerintah (negara). Kalau mau lebih jelas lagi, lihatlah UU No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Di Bab VII tentang Organisasi dijelaskan, Dewan Komisioner LPS ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan.

Kalaupun selanjutnya dana yang dihimpun kemudian berasal dari bank-bank peserta, tapi karena yang mengelolanya adalah institusi negara, kemudian digunakan sebagai kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan (sebagaimana bunyi poin c pada Pasal 2 UU No 17 Tahun 2003 di atas), tak ada keraguan lagi bila dana-dana itu adalah uang negara. Lantas UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara maupun UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan uang negara itu diperiksa oleh BPK. Artinya, yang memeriksanya adalah BPK juga tak perlu dipersoalkan lagi.

Bagi saya, yang menarik untuk dirumuskan yakni adakah terjadi kerugian negara atau tidak. Selanjutnya adakah kerugian negara yang terjadi itu memenuhi unsur korupsi atau tidak. Karena itu, penting untuk dilanjutkan menelusuri ke mana larinya dana-dana itu agar tidak terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan atau tidak menyebabkan fitnah. Lantas, bila memang terjadi korupsi, siapa yang diuntungkan dari keadaan seperti itu. Ini semua adalah urusan lain lagi. Tapi jika pertanyaannya adakah uang yang digunakan itu uang negara atau tidak, bagi saya bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Jelas-jelas dana itu adalah uang negara. ***

Oleh Baharuddin Aritonang Anggota BPK 2004-2009
Opini Media Indonesia 19 Januari 2010