18 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Kearifan Menyikapi Kasus Lanjar

Kearifan Menyikapi Kasus Lanjar

BERITA ditahannya Lanjar Sriyanto (35) alias Gandung, warga Kota Solo yang didakwa akibat kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa Saptaningsih, istrinya, pada 21 September 2009, cukup menarik dicermati.

Di balik ditahannya Lanjar, bukan saja muncul isu ada pihak lain yang lebih pantas menjadi terdakwa, dan ada dugaan berita acara pemeriksaan (BAP) dimanipulasi, tetapi juga nasib anak Lanjar.

Banyak orang merasa terenyuh ketika Warih Waluyo (10), anak Lanjar, waktu itu tidak mau sekolah karena malu ayahnya masuk penjara, dan tidak punya biaya.


Murid kelas 5 SD Karangasem 3 Solo itu mengatakan bahwa dia tidak mau sekolah karena ayahnyalah yang merawat dan mengantar dia sekolah setelah ibunya tiada.

Kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Lanjar memang dilematis. Istrinya meninggal dalam kecelakaan di Jalan Adisucipto, Gajahan, Colomadu, Karanganyar itu, tetapi Lanjar-lah yang harus menjadi terdakwanya dan ditahan.

Pria itu dijerat dengan Pasal 359 KUHPidana karena didakwa akibat kealpaannya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.

Dalam BAP diterangkan Lanjar sebagai pengemudi mengendarai motor bertiga, melanggar marka jalan, dan kemudian jatuh, atau istilahnya kecelakaan tunggal.

Bila itu benar adanya, sekalipun ada pihak lain yang diduga menabrak motor yang dikendarai Lanjar, secara hukum mengendarai motor bertiga dan melanggar marka memang tidak dapat dibenarkan dari segi hukum.

Lanjar dapat dianggap alpa atau lalai karena tindakannya bukan sekadar melawan hukum, melainkan sangat berbahaya bagi dirinya, istri, dan anak yang diboncengkannya serta  pengguna jalan lainnya. Lanjar berada di jalan raya, jalanan yang sedang ramai dan membuka risiko terjadinya kecelakaan.

Suasana waktu kejadian tentu sangat ramai karena banyak warga menggunakan jalan raya untuk bepergian dalam rangka lebaran.
Soal dugaan ada pihak lain yang dianggap pantas dijadikan tersangka dan selanjutnya terdakwa selain Lanjar, itu patut dipertanyakan titik terang kejadian yang sebenarnya.

Adanya pihak lain yang datang dan ingin berdamai dengan keluarga Lanjar belum tentu merupakan pihak yang patut dijadikan tersangka lalu terdakwa.

Lain halnya bila hasil pemeriksaan di persidangan menerangkan lain dan terkuak fakta adanya dakwaan yang tidak sempurna mengingat ada fakta kejadian lain yang tidak diungkap dan tidak dituangkan dalam dakwaan.

Potensi demikian besar kemungkinan terjadi dan hal itu yang harus dikejar oleh pengacara terdakwa agar dibuktikan ketidaksempurnaannya dakwaan.

Termasuk soal benar adanya pihak lain yang seharusnya dijadikan terdakwa, bukan hanya Lanjar. Itu harus dikejar dan bila perlu diadakan pemeriksaan di lapangan untuk mendapatkan kebenaran materiil dalam kasus tersebut.

Dakwaan yang tidak sempurna membawa konsekuensi tidak dapat diterima oleh hakim dan terdakwa harus dilepaskan.

Bila sekarang ini persidangan sudah berjalan dan Lanjar sudah ditanggguhkan penahanannya, tentu Lanjar harus kooperatif dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Majelis hakim tentu dapat mencermati dan menggali berbagai hal terkait dengan keterangan para saksi agar didapat kebenaran materiil dari kasus yang disidangkannya.

Penangguhan penahanan untuk Lanjar adalah sikap bijaksana yang dapat diteladani.

Ini sebagai bukti persidangannya telah mampu menempatkan aspek kemanusiaan sebagai hal penting dan harus dikedepankan dalam mengadili seseorang. Apalagi yang disidangkan memang pantas diberi kebijaksanaan demikian di samping kasusnya sendiri juga tidaklah berat.

Hal yang sama mestinya juga dilakukan oleh pihak Kejaksaan, harus lebih hati-hati dan memperhatikan aspek manusiawi dalam menahan seseorang untuk kasus seperti konteks  Lanjar.

Memang benar ancaman pidana maksimal lima tahun bagi pelanggar Pasal 359 KUHPidana menurut Pasal 21 Ayat (4) memenuhi syarat objektif (gronden van rechtmatigheid) untuk penahanan itu. 

Hanya saja, harus dilihat dahulu, sejauh mana arti kealpaan sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHPidana pantas dikenakan pada diri Lanjar.

Juga aspek pertimbangan kemanusiaannya. Janganlah dalam mau menahan atau tidak mau menahan siapapun saja, menggunakan pertimbangan sesat dengan berlindung di balik pasal-pasal pidana.

Demikian halnya dengan pertimbangan syarat yang lain, yaitu syarat subjektif (gronden van noodzakelijkheid) yang mencakup alasan-alasan dari segi perlunya suatu penahanan.

Menurut Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, perlu tersangka atau terdakwa itu ditahan karena adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana lagi.(10) 

— M Issamsudin, peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 19 Januari 2010