18 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Ekonomi-Politik Bank Century

Ekonomi-Politik Bank Century

Skandal Bank Century (SBC) yang menyita perhatian media massa dan publik Indonesia yang merupakan salah satu peristiwa ekonomi-politik terbesar, di samping skandal BLBI (S-BLBI) yang tak kunjung terkuak hingga kini. Jika dibandingkan dana bailout yang digelontorkan, sebenarnya SBC jauh lebih kecil jumlahnya, yakni Rp6,7 triliun, sedangkan S-BLBI sebesar Rp650 triliun yang kini ditambah dengan bunganya telah berjumlah lebih dari Rp800 triliun yang harus ditanggung rakyat lewat APBN per tahunnya sekitar Rp70 triliun.


Keduanya ditengarai mengandung unsur tindak pidana. Cuma sewaktu terjadi S-BLBI, peran KPK belum sebesar sekarang. Sementara itu, SBC sebenarnya hampir saja terkubur jika peristiwa percakapan telepon Anggodo dengan sejumlah petinggi Kejagung dan Polri dalam upaya 'kriminalisasi KPK' tidak ditayangkan MK. Ditambah dengan dukungan publik yang masif terhadap Chandra-Bibit, bukan hanya upaya kriminalisasi KPK tersebut gagal, bahkan mendorong terbentuknya pansus DPR tentang SBC, dan sidang-sidang pansus pun dinyatakan bersifat terbuka.

Awalnya kepercayaan terhadap pansus meragukan, tapi karena sifat keterbukaan sidang-sidangnya yang menimbulkan tekanan publik yang lebih masif lagi, pansus sepertinya ingin membuktikan bahwa harapan publik tidak boleh dikecewakan. Buktinya dari hasil-hasil penyelidikan pansus kini mulai sedikit demi sedikit terkuak 'peta masalah perselingkuhan ekonomi-politik' dari dana yang dikucurkan BC tersebut. Dari hasil-hasil penyelidikan sementara pansus, dalam SBC tersebut mengidap 'korupsi sistemik'.

Hal itu dari mulai kegagalan pengawasan BI dalam merger tiga bank menjadi BC, perampokan dana BC oleh pemiliknya, alasan krisis global, dan dampak sistemik dalam penggelontoran dana bailout BC, pengajuan Perpu JPSK untuk melegitimasi bailout BC agar tak dipersalahkan secara hukum, aliran dana hasil bailout kepada pihak-pihak yang tak berhak hingga klaim manipulatif seolah Perpu JPSK diterima DPR. Karena bersifat sistemik, kemungkinan korupsi yang terjadi melibatkan pihak-pihak otoritas keuangan dan perbankan, pemilik BC, dukungan politik vested-interest, para 'penunggang-bebas' serta oportunis politik dan bisnis.

Pro-kontra dampak sistemik

Yang menarik adalah perdebatan para pakar dan pengamat tentang alasan bailout dana BC yang terbelah. Sejumlah pengamat dapat menyetujui alasan krisis keuangan global dan dampak sistemik jika tak dilakukan bailout terhadap BC seperti disuarakan pengamat pasar modal Mirza Aditiyaswara, Cristianto Wibisono, dan kalangan ekonom neoliberal lainnya. Sementara itu, yang kontra umumnya adalah kalangan ekonom kritis seperti Iman Sugema, Ikhsan Modjo, Deni Daruri, Fuad Bawazier, dan lain-lain.

Ada juga yang setengah mendukung dan setengah menolak seperti disuarakan Sunarsif dan Aviliani. Sepanjang perdebatan akademis dengan dasar-dasar teoritis yang jelas dan dengan kejujuran intelektual yang mendukungnya adalah sah-sah saja semua argumentasi para pengamat tersebut. Namun, yang harus disadari jika dalam SBC tersebut ternyata kemudian ditemukan pelbagai modus penyimpangan, betapa pun argumen yang dibangun amat meyakinkan menjadi gugur karena alasan moral yang tidak mungkin membenarkan perbuatan korupsi pihak lain dalam kaitan korupsi sistemik.

Hal itu mengingat ada begitu banyak dikenal modus korupsi lama dan baru. Sosiolog korupsi Hussein Alattas menyebut beberapa macam korupsi seperti: korupsi transactive (kolusi, sumbangan bersyarat dukungan politik/money politic), extortive (pemerasan, mafia peradilan), investive (penyuapan, kick-back, komisi), nepotisme, supportive (bias kekuasaan semisal menumpang terhadap regulasi, anggaran). Itu umumnya korupsi yang bersifat individual dan atau kolektif-kultural.

Namun, kini berkembang ragam 'korupsi posmodern' yang lebih bersifat struktural, yakni korupsi tersebut melibatkan pelbagai pihak baik internal maupun eksternal (kelembagaan atau negara) dengan jumlah uang yang dikorupsi pun yang kolosal (ratusan miliar bahkan ratusan triliun). Misalnya korupsi proyek-proyek mark up, fiktif, money laundering, perampokan dana BLBI, dana bank dunia (menurut beberapa ahli rata-rata 30% selama Orde Baru), dana utang luar negeri, privatisasi BUMN, pasar uang, dan finansial seperti skandal Enron di AS, dan sebagainya.

Yang menarik modus korupsi tersebut dapat berjalan dengan sangat elegan yang melibatkan metode rekayasa keuangan yang canggih, para ahli, dan teknologi canggih dengan menyatukan kepentingan berbeda-beda yang mungkin saja pihak tertentu hanya berlaku sebagai seorang ahli yang netral. Namun, kemudian berjalin dengan pihak lain dengan kepentingan berbeda, (misalnya politik yang membutuhkan dukungan pendanaan yang besar) tanpa satu sama lain saling kenal dan tak berhubungan sehingga publik bahkan para penegak hukum pun sangat sulit mengidentifikasikannya.

Itulah kemungkinan mengapa skandal BLBI dengan dana korupsi ratusan triliun rupiah hampir satu dasawarsa hingga kini tak terkuak. Bahkan para buronnya akhirnya memperoleh surat lunas utang. Jadi kalau menurut Amin Rais bangsa kita kalau tak tuntas mengungkap SBC akan menjadi 'bangsa pendosa' sehingga sebenarnya label tersebut sudah melekat karena skandal BLBI hampir tak mungkin terkuak mengingat kompleksitas korupsi yang melingkupinya.

Hal itulah yang harus diwaspadai. Jangan sampai Pansus Hak Angket Bank Century dan masyarakat pada umumnya terkecoh oleh argumentasi ilmiah para pakar yang membela argumentasi latar krisis global dan dampak sistemik kalau BC tak di-bailout, yang mungkin secara parsial sepertinya tak membela perbuatan korupsi pihak lain sebagai penunggang bebas.

Sementara itu, modus korupsinya pun dalam SBC ini juga kompleks dan bercampur baur antara korupsi transactive, extortive, money politic, money laundering, supportive dan lainnya yang terjalin dengan modus korupsi posmodern seperti melibatkan pelbagai rekayasa keuangan, legitimasi kepakaran, regulasi, dan kekuasaan. Upaya menutupinya pun terus-menerus berjalan sistemik seperti mencoba berdalih bahwa Perpu JPSK telah disetujui DPR.

Prospek ekonomi-politik SBC

Bagaimana kira-kira prospek ekonomi-politik SBC ke depan? Kiranya dapat terjadi tiga kemungkinan dengan dampak ekonomi-politiknya masing-masing. Pertama, seandainya pansus DPR dapat secara tuntas dan cerdas menguak SBC sehingga tergambar petanya secara jelas beserta penanggung jawab masing-masing penyimpangan, bersamaan dengan KPK yang dapat melangkah ke penyelidikan, penyidikan hingga berhasil menggiring para penanggung jawab setiap pelanggaran hukum ke pengadilan untuk membuktikan kemungkinan berbagai jenis korupsi (merger bermasalah, kejahatan perbankan, tak berjalannya pengawasan Bank Indonesia, alasan bailout yang lemah, money laundering, dan aliran haram dana bailout).

Jika itu semua dapat berjalan, bangsa kita dapat terhindar sebagai 'bangsa pendosa' dengan prospek yang cerah membangun peradaban bangsa yang bersih dan unggul di dunia di masa depan. Kedua, jika Pansus berakhir karena mungkin barter politik, misalnya person-person anggota pansus berhasil ditekan secara politik dan Perpu JPSK dianggap sah, hanya ada beberapa pelaku korupsi yang diadili sebagai pihak yang dikorbankan dan tanpa mampu mengungkap secara tuntas SBC.

KPK pun tak berhasil mengadili semua pihak yang bertanggung jawab dana triliunan yang berhasil dikorupsi. Oleh karena itu, bangsa ke depan makin menjadi 'bangsa pendosa kedua kalinya setelah kasus BLBI yang terkubur'. Lebih jauh kemungkinan terjadi krisis ekonomi lanjutan akibat distrust secara masif terhadap prospek ekonomi dan politik di masa depan.

Ketiga, kalau pansus akhirnya hanya menghasilkan kesimpulan tak ada yang salah dengan kasus BC sehingga KPK pun akibatnya kesulitan mengusut penyimpangan hukum SBC, dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial-politik yang terus-menerus dan masif di pusat maupun lintas daerah, karena publik keburu mengetahui berbagai hasil audit BPK dan hasil sementara pansus DPR yang data maupun fakta pelanggaran hukum dalam SBC telah terkuak. Hal itu bisa menjadi embrio terjadinya krisis politik dan ekonomi ala 1998. Mudah-mudahan kemungkinan kedua dan ketiga tidak terjadi karena publik dewasa ini telah makin cerdas sehingga mereka tak mau dibohongi lagi. Semoga.

Oleh Didin S Damanhuri Guru Besar IPB
Opini Media Indonesia 19 Januari 2010