18 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Lapas Bebas Suap, Mungkinkah?

Lapas Bebas Suap, Mungkinkah?

Oleh Suharizal

Suap dan berbagai modus pungutan liar (pungli) guna memperoleh fasilitas sekelas sel mewah Artalyta sesungguhnya bukanlah berita yang terlalu mengejutkan. Sudah jadi rahasia umum praktik suap-menyuap guna mendapatkan fasilitas lebih, lumrah terjadi di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Kunjungan keluarga terhadap penghuni lapas misalnya. Modus yang sering dilakukan petugas adalah memungut biaya dari para penjenguk atau dari tahanan. Padahal, pelayanan seperti itu tidak memerlukan biaya. Tidak adanya aturan masalah kunjungan yang transparan, jangka waktu kunjungan yang terbatas, telah memprovokasi terjadinya praktik pungli.


Modus lainnya, pengurusan hak remisi, cuti menjelang bebas bersyarat, dan pelepasan bersyarat yang sebenarnya hak para tahanan. Petugas memanfaatkan ketidaktahuan warga binaan dan keluarganya tentang proses tersebut. Kalau sudah menjalani 2/3 pidana bisa keluar tetapi ada persyaratannya. Oleh karena tidak tahu, mulailah terjadi berbagai modus pungli.

Persoalan suap yang terjadi antara warga binaan dan petugas lapas bukanlah persoalan sepele. Selain selalu melibatkan orang kuat, baik kuat secara politik maupun ekonomi, praktik demikian secara langsung menjatuhkan wibawa hukum di Indonesia. Rendahnya kesejahteraan petugas dan minimnya anggaran negara untuk membiayai kebutuhan primer tahanan mendorong praktik-praktik suap yang dilakukan warga binaan berduit. Hal ini diperburuk lagi dengan pegawai lapas yang tugasnya menjaga keamanan sehari-hari hanyalah berpangkat 2B atau 3A.

Di samping itu, jumlah penghuni lapas yang over capacity menjadi penghalang dalam memberantas suap dan pungli di lapas. Diperkirakan, pada akhir 2009 jumlah penghuni lapas mencapai 140.739 orang, sementara kapasitas yang tersedia 90.000 orang. Pertumbuhan pembangunan lapas oleh pemerintah yang hanya dua persen per tahun tidak seimbang dengan pertumbuhan penghuni lapas yang empat persen per tahun. Kondisi itu mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan, bimbingan, dan pembinaan warga binaan karena terbatasnya sarana dan prasarana.

Lemahnya pengawasan ikut memberi andil yang besar terhadap praktik suap. Pengawasan dalam organisasi lapas minimal ada dua, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat yang dilakukan pejabat internal lapas belum bisa diharapkan mengingat tidak adanya mekanisme kontrol yang jelas, terutama dari masyarakat. Terlebih lagi pengawasan fungsional yang diserahkan kepada Inspektorat Jendral Kementerian Hukum dan HAM. Bagaimana mungkin pengawasan yang dilakukan ”orang dalam” bisa transparan dan akuntabel? Keberadaan Badan Pertimbangan Pemasyarakatan yang mayoritas diisi masyarakat sipil dan akademisi dihadapkan pada masalah yang serupa mengingat badan ini hanya memberikan berbagai macam masukan dan pertimbangan kepada menteri, dan sepertinya masyarakat umum tidak pernah mengetahui kinerja dan aktivitasnya.

Secara sederhana, pengawasan eksternal merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan pihak yang memiliki garis koordinasi secara langsung atau tidak langsung dalam organisasi Kementerian Hukum dan HAM sebagai induk dari organisasi pemasyarakatan. Melihat bentuk dan konsep mekanisme kontrol dalam sistem hukum dan politik yang ada, terdapat tiga bentuk pengawasan eksternal terhadap kinerja organisasi pemasyarakatan, yakni pengawasan legislatif, pengawasan oleh masyarakat, dan pengawasan oleh hakim pengawas serta pengamat.

Di luar itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan semakin memperluas fungsi lapas. Pemasyarakatan dimaknai sebagai sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan), dan resosialisasi. Pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dan masyarakat sehingga pemidanaan ditujukan untuk menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya.

Praktik hari ini, tugas pokok dan fungsi sistem pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Menempatkan posisi sistem pemasyarakatan di ranah strategis pembaruan hukum nasional kenyataannya memang belum mendapatkan perhatian secara memadai. Kesenjangan antara gagasan serta konsep-konsep ideal sistem pemasyarakatan yang berkembang, rumusan-rumusan normatif yang diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundangan maupun aturan teknis pelaksanaan dengan realitas pelaksanaan misi pemasyarakatan menjadi suatu permasalahan yang penting untuk diketengahkan dalam ranah kebijakan mengatasi problem suap di lapas. Ini jelas agenda penting yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan membangun lapas-lapas baru atau memutasi para petugas dan kepala rutan.***

Penulis, kandidat Doktor Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 19 Januari 2010