19 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Ketika Sadisme Ancam Anak

Ketika Sadisme Ancam Anak

TERUNGKAPNYA kasus pembunuhan terhadap sedikitnya 8 anak yang dilakukan oleh Baekuni (60) alias Babe di Jakarta pada awal tahun ini mengundang keprihatinan kita semua (Suara Merdeka, 10 Januari 2010). Peristiwa tragis ini merupakan ulangan kisah serupa yang pernah dilakukan oleh Siswanto alias Robot Gedek pada tahun 1990-an.

Hal tersebut mengindikasikan betapa semakin rawannya ancaman kekerasan terhadap anak-anak bahkan dengan cara yang sadis. Lihat saja ekspresi senyum-senyum si Babe dalam tayangan televisi seolah tiada sesal.


Jika dirunut kembali, kekerasan terhadap anak-anak seolah tak ada ujung habisnya. Hal tersebut tidak hanya dialami oleh anak jalanan yang memang hidup di tengah hukum rimba, namun justru semakin sering terjadi di rumah ataupun sekolah. Kisah pada tahun 80-an, ketika seorang Arie Hanggara tewas di tangan orangtuanya sendiri, menjadi tonggak inspirasi untuk memerangi tindak kekerasan terhadap anak.

Pemerintah pun sebenarnya tidak tinggal diam untuk melindungi anak-anak, antara lain dengan membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun langkah tersebut nampaknya belum mampu meredam laju peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak.  Berdasarkan data yang dimiliki oleh World Vision Indonesia yang dilansir di sejumlah media bertepatan dengan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2009, ditengarai terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini, yaitu dari 1.626 kasus pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.891 kasus pada tahun 2009. 

Kekerasan domestik terhadap anak tidak kalah sadisnya. Sebut saja kisah tragis yang terjadi di Pekalongan pada 30 Oktober 2009, ketika seorang ayah tega membanting anak kandungnya yang masih berusia empat bulan hingga tewas karena persoalan merasa gusar terhadap sang anak menangis terus menerus.
Orang Terdekat Belum lagi kisah sadis di Nias pada 26 Desember 2009, ketika seorang ibu yang tega membantai kelima anak kandungnya sendiri gara-gara marah pada suami. Akibatnya tiga anak meninggal dunia, sedangkan dua terluka parah. Kisah pilu seperti itu seolah-oleh tak ada habisnya dan semakin sering kita jumpai.

Sadisme terhadap anak-anak ternyata lebih banyak dilakukan oleh orang terdekat, seperti orang tua, guru, pembimbing, pembina, ataupun  kakak. Itulah sebabnya kekerasan tersebut cenderung sulit dibendung dan diungkap.  Sebagai korban, anak adalah pihak yang hanya bisa diam tak berdaya untuk membela diri. Seiring dengan sikap diamnya maka kisah sedihnya seolah tenggelam ditelan waktu.

Dunia anak-anak memang berbeda dari dunia orang dewasa. Tentang bagaimana alam pikiran dan perasaan anak mungkin lebih sedikit orang dewasa yang mampu dan mau memahami. Hal tersebut karena ego orang dewasa sering lebih mengedepan. Akibatnya banyak orang dewasa menjadi kurang peka untuk berempati terhadap anak dan lebih sering menganggapnya sebagai manusia kecil yang tidak tahu apa-apa. Sikap diam anak sering juga ditafsirkan sebagai sikap menyetujui ataupun membenarkan tindakan kekerasan orang dewasa.

Pandangan tersebut ternyata keliru dan menjerumuskan. Menurut pandangan para pakar psikologi,  kekerasan terhadap anak akan memberi dampak buruk pada kehidupan pada masa dewasa. Hampir kebanyakan orang dewasa yang bermasalah (pelaku tindak kriminal, pelacur, pemabuk, dan pemerkosa) mengaku mengalami perlakuan kasar dari orang tuanya pada masa kecil.  Dunia kanak-kanak seringkali menanggapi kekerasan dengan diam atau diistilahkan the silence scream (jeritan dalam diam).

Jadi, diamnya anak ketika menahan rasa sakit dan penderitaan lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk protes ataupun melawan. Dalam keadaan tak berdaya mereka membiarkan diri disiksa tanpa protes sedikitpun. Bahkan ketika penderitaan tersebut menaburkan kemurungan pada masa depan.

Tindakan kekerasan terhadap anak-anak nyata-nyata merampas masa depan mereka. Hal ini yang sering kurang disadari oleh orang dewasa, termasuk para orang tua. Mereka merasa memiliki hak mendidik anak dengan cara mereka sendiri, termasuk dengan cara-cara kekerasan. Memang sah-sah saja jika orang tua ingin membangun karakter anak dengan cara-cara yang tegas dan lugas. 

Namun sayangnya menurut sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, hanya 5 % orang tua yang dengan sadar menggunakan sikap kekerasan untuk mendidik anak, sementara selebihnya menggunakan kekerasan karena luapan emosional yang tak tertahankan.

Ternyata pengalaman kekerasan orang tua pada masa kecilnya turut  memberi kontribusi bagi berlangsungnya mata rantai kekerasan yang tak pernah putus. Sebagaimana terungkap dalam buku Child Maltreatment  karya Martha F Errickson dari Cambridge University, bahwa 50 % ibu yang bengis dan menyia-nyiakan anaknya pernah mengalami perlakuan kasar pada masa kecilnya, sementara 30 % ayah yang bertindak kasar terhadap anak juga punya latar belakang kekejaman dalam keluarga.

Lalu bagaimana memutus mata rantai penyulut kekerasan tersebut ? Doktor Richard Krugman dari University of Colorado mengatakan bahwa dampak perlakuan kejam orang tua terhadap anak bisa dihindari apabila anak punya kemampuan membina hubungan emosional yang hangat di luar keluarganya yang berantakan. Namun solusi tersebut tidak selalu mudah untuk dilakukan karena lebih banyak korban yang sulit untuk membuka diri atas kisah traumatiknya. Lebih banyak yang menyimpan dukanya bersama kehidupan yang suram ketika dewasa.

Seperti fenomena gunung es, ternyata lebih sedikit yang mau terbuka dan dapat ditolong, sehingga upaya memutus mata rantai tersebut menjadi terkendala. Selebihnya, kisah-kisah tragis tetap mengancam anak-anak akibat pelampiasan emosional orang dewasa yang bermasalah dengan masa kecilnya.

Kekerasan terhadap anak pada era sekarang semakin menggurita saja. Pedofilia dan sodomi semakin mengancam anak laki-laki atas motif pemenuhan syahwat sesaat pria dewasa bernyali kanak-kanak. Sementara human trafficking menjadi semakin sulit terbendung ketika hakikat manusia terdevaluasi sebagai komoditas ekonomi. Untuk alasan itulah semakin banyak orang dewasa bahkan orang tua menjadi bagian sindikasi perdagangan anak.
Di samping itu, era industri informasi yang semakin liberal telah menggelontorkan informasi apa saja yang dapat dikonsumsi siapa saja melalui internet, televisi, dan perangkat multimedia lainnya. Akibatnya hak perlindungan anak-anak dari ancaman pornografi, pornoaksi ,dan kekerasan semakin sulit terkontrol.

Negara sudah berusaha melindungi anak melalui perangkat hukum ataupun perangkat lembaga yang terkait. Hal tersebut tentunya menjadi arah yang baik tentang bagaimana negara berperan melindungi anak-anak. Semakin banyak pelaku yang dipenjarakan. Namun menelaah bahwa kasus kekerasan masih tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun, nampaknya efek jera dari penegakan hukum masih belum efektif.

Bebasnya Pujiono, pengusaha kuningan dari Bedono, Kabupaten Semarang, yang lebih senang menyebut dirinya Syeh Puji, atas kasus perkawinannya dengan anak di bawah umur menambah pesimisme masyarakat tentang efektivitas penegakan hukum di tengah karut-marut penegakan hukum di negeri ini.

Namun bagaimanapun juga hendaknya kita tidak henti-hentinya mengingatkan bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa. Untuk itulah eksistensi hak-hak anak yang harus senantiasa dihormati dan dilindungi entah bagaimanapun caranya. (10)

— Drs DP Budi Susetyo MSi, dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 20 Januari 2010