19 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Meninjau ulang labelisasi miskin

Meninjau ulang labelisasi miskin

Sudah lebih dari lima tahun, atau tepatnya sejak periode pertama kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berduet dengan Jusuf Kalla (JK), pelan-pelan bangsa ini disuguhi kebijakan-kebijakan dan terobosan baru. Ada yang sangat positif, inovatif, dan menggebrak.

Namun, beberapa mengagetkan, mendebarkan, dan bahkan perlu ditinjau ulang.
Kini setelah kabinet baru (Kabinet Indonesia Bersatu/KIB II) terbentuk dan menandai dimulainya masa kepresidenan SBY yang kedua, Republik Indonesia pun sudah begitu akrab dengan aneka program karitas atau kedermawanan yang diluncurkan oleh pemerintah.


Sesuatu yang patut dicermati adalah fakta bahwa bersamaan dengan kebijakan pemberian bantuan itu, muncul pula label-label baru yang cenderung berkonotasi sangat negatif. Ungkapan beras miskin (Raskin) dan keluarga miskin (Gakin) adalah istilah dan pengkategorian baru yang sangat negatif itu.
Akhir-akhir ini bahkan kebijakan ini justru mengalami semacam pencanggihan dengan keluarnya kebijakan stikerisasi. Kebijakan memasang stiker di rumah-rumah keluarga miskin ini pun sudah diimplementasikan pada beberapa kota dan kabupaten di Jawa Tengah, dari desa terpencil hingga perkotaan. Labelisasi ”stiker miskin” ini seakan mempertegas kebijakan ”kartu keterangan tidak mampu” yang sudah lebih dulu ada, yang masih bisa disembunyikan di saku baju warga yang bersangkutan. Sementara, kebijakan stiker miskin ini diterakan di depan rumah warga yang dilabeli miskin secara terbuka.
Dalam tinjauan psikologis, kebijakan labelisasi stiker miskin ini memancing masalah baru. Dalam skala kecil kebijakan labelisasi ini melahirkan gelombang ”orang-orang yang sekadar mengaku miskin”. Pengaruh ini bisa menimpa pada level individu, keluarga, atau kelompok. Labelisasi miskin justru akan melahirkan nilai, anggapan atau persepsi bahwa seseorang atau suatu keluarga adalah miskin. Anggapan ini sangat berbahaya karena secara psikososiologis akan kontraproduktif dengan upaya peningkatan semangat kerja, produktivitas, kreativitas, inisiatif, dan semua spirit positif yang semestinya disemaikan kepada masyarakat Indonesia agar bisa bangkit dari krisis multidimensional.
Permasalahan ikutan lain adalah akan semakin meluasnya area kemiskinan, karena begitu banyak warga yang berhasrat atau menginginkan bantuan tanpa berkerja dan tanpa berusaha. Dengan nalar yang sehat, bila semakin banyak orang yang mengaku miskin, jelas ini hanya berarti akan menambah populasi orang-orang miskin di negeri ini.

Labelisasi positif
Masih dalam sudut pandang psikologi, labelisasi ini hanya akan mencetak pola pikir negatif. Pengakuan diri terhadap label yang diberikan akan menjadi bagian dari cara berpikir, bertindak, dan mentalitas seseorang atau komunitas. Label miskin akan berpengaruh terhadap cara berpikir warga yang dilabeli miskin dan mereka akan cenderung merasa pasif dan merasa tidak kreatif. Selain itu, kebijakan ini akan melemahkan kapasitas berpikir secara emosional. Kondisi ini tentunya akan sangat merusak jati diri dan potensi warga itu sendiri, dan dalam skala yang lebih luas tentu masyarakat dan bangsa.
Dalam bertindak pun, orang yang menerima label miskin juga akan cenderung hanya mengikuti pikirannya yang lemah dan pasif itu. Hal ini akan membuat aktivitas dan kinerjanya sebagai manusia semakin berkurang dan waktu produktifnya pun cenderung digunakan untuk sesuatu yang nonproduktif, seperti budaya nongkrong yang banyak dikenal di masyarakat Jawa.
Mentalitas yang terbentuk dari labelisasi, dengan demikian, hanya memperburuk ”budaya kemiskinan” yang sudah ada menjadi semakin parah. Mentalitas miskin yang semakin mengkristal ini pada gilirannya akan membuat pihak yang dilabeli miskin cenderung menjauhi spirit perjuangan, usaha keras, dan kemakmuran.
Meski diharapkan akan mempermudah pencatatan dan pendataan dalam rangka penyaluran bantuan pemerintah dan untuk melindungi hak dan kewajiban warga, namun labelisasi miskin tidak memberikan solusi jangka panjang. Malah sebaliknya justru menambah permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka panjang ini tentunya membutuhkan biaya—termasuk biaya sosial (social cost) dan biaya mental (mental cost)—yang besar, sebab sebuah entitas negara menjadi besar berawal dari cara berpikir, bertindak, dan berbuat dari rakyatnya. Untuk itu, seharusnya kebijakan labelisasi miskin segera ditinjau ulang agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih panjang.
Labelisasi negatif yang akan membawa dampak sangat negatif (efek multiplikatif) harus diganti dengan labelisasi positif yang tentu akan membawa dampak positif. Adalah sangat kasihan dan memprihatikan bila warga negara yang miskin justru dihambat akses mentalnya untuk mengubah nasib dan memperbaiki diri hanya karena sudah dipatok atau dicap miskin.
Sebaiknya, label negatif tersebut diubah menjadi lebih positif, misalnya dengan penggantian label ”keluarga miskin” menjadi ”keluarga bersubsidi,” atau ”keluarga berpengharapan,” atau kata lain yang lebih positif dibandingkan ”miskin”. Negara kita juga dijuluki negara berkembang, bukan ”negara miskin”. Kata ”berkembang” secara psikologis lebih memiliki daya motivasi untuk bekerja, berusaha, dan tidak tergantung kepada orang lain.
Hukum tarik-menarik (the law of attraction), sebuah hukum yang berlaku universal, menyebutkan bahwa pikiran memiliki daya tarik sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran. Jika seseorang individu berpikir miskin, maka otomatis ia akan miskin. Jika ia berpikir berhasil, maka ia akan berhasil.
Labelisasi adalah bentuk self fulfilling propecy. Ini artinya bahwa seseorang hanya akan menggangap dirinya sesuai dengan label yang disandangnya. Jika anak Anda misalkan dilabeli anak nakal, maka dia akan menjadi nakal. Jika warga kita berlabel miskin, maka mereka akan menjadi miskin. Saya berharap jangan ada lagi labelisasi miskin seperti ini di era SBY dan Boediono sekarang ini. Semoga! - Oleh : Setiyo Purwanto, Dosen Fakultas Psikologi UMS

Opini Solo Pos 20 Januari 2010