19 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Perang Maya Tiongkok v AS

Perang Maya Tiongkok v AS

ANCAMAN Google untuk hengkang dari Tiongkok, Kamis lalu (14/1), memantik babak baru perang dagang antara Amerika Serikat dan negara pasar internet terbesar di dunia itu. Ancaman perusahaan mesin pencari di internet asal AS itu dipicu tindakan Pemerintah Tiongkok membobol akun Gmail milik pejuang hak asasi manusia di Tiongkok. Google menilai tindakan tersebut kelewatan setelah Pemerintah Tiongkok memblokade kata-kata tertentu dari hasil pencarian, terutama yang berkaitan dengan gerakan politik.

Sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, Tiongkok memang pasar potensial bagi perusahaan-perusahaan internet AS. Tahun lalu pengguna internet di negara itu mencapai 384 juta orang, naik hampir 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Google dengan cerdik memanfaatkan pasar internet nomor satu di dunia ini melalui beroperasinya Google.cn sebagai pengelola manajamen perusahaan itu di Tiongkok. Hanya, Google.cn tidak leluasa bergerak karena Tiongkok gemar menyensor hasil pencarian yang didapatkan pengguna internet.

Peralihan Tiongkok dari ekonomi terencana menjadi ekonomi pasar sosialis menjadikan perusahaan-perusahaan asing belum bisa bebas berinvestasi di negara ini. Seperti dikatakan Yao Jian, juru bicara Kementerian Perdagangan Tiongkok (15/1), Pemerintah Tiongkok memiliki kewenangan besar untuk mengatur operasi perusahaan-perusahaan asing agar tunduk pada hukum, kepentingan umum, tradisi, dan kultur yang berlaku.

Perluasan Kompetisi

Ketegangan Tiongkok-Google menandai perluasan kompetisi antara AS-Tiongkok. Kedua negara telah terlibat dalam berbagai persaingan yang tak jarang memengaruhi hubungan diplomatik di antara mereka. Dalam hubungan perdagangan, misalnya, Tiongkok kini menyalip AS sebagai negara pengekspor nomor wahid di dunia. Banjir ekspor Tiongkok ke AS telah membuat satu-satunya negara adidaya ini mengalami defisit perdagangan. Situasi makin tegang setelah perhiasan imitasi produksi Tiongkok yang diekspor ke AS terkontaminasi bahan beracun untuk membuat plastik dan baterai.

Kini, perang dagang tidak hanya terkonsentrasi pada aksi nyata, tetapi meluas ke perang maya. Setelah memukul telak AS di kompetisi nyata, Sang Naga berupaya merontokkan dominasi Paman Sam di dunia maya. Berdasarkan survei Alexa.com, di antara sepuluh situs yang paling banyak diakses netter di seluruh dunia, sembilan berasal dari AS, yakni Google, Yahoo, Facebook, Youtube, Windows Live, Microsoft Network, Blogger, Wikipedia, dan My Space. Situs lain yang berhasil menembus sepuluh besar adalah Baidu, situs pencari milik Tiongkok yang menduduki peringkat sembilan.

Data tersebut menampakkan fakta bahwa pasar internet masih dikuasai perusahaan-perusahaan AS. Penguasaan AS di dunia maya terasa menyesakkan dada petinggi Tiongkok, sebab di era masyarakat informasi seperti sekarang ini, kekuatan pengaruh di jaringan internet merupakan modal besar untuk menguasai dunia. Masyarakat informasi, seperti kata Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (1996), merupakan jaringan masyarakat global di seluruh dunia yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang digerakkan jejaring internet. Meskipun dipisahkan oleh garis-garis batas teritorial negara, mereka terhubung satu sama lain untuk bertukar informasi dan bertransaksi dalam waktu singkat.

Di masa kini dan masa depan, masyarakat semacam inilah yang berpotensi mengubah dunia. Pengalaman Indonesia membuktikan gerakan masyarakat jaringan dalam kasus Prita Mulyasari dan Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah telah berhasil membentuk opini publik untuk mendukung pembebasan mereka. Hal yang sama juga dimungkinkan terjadi jika jaringan masyarakat internasional dimobilisasi melalui situs-situs internet untuk mengampanyekan isu-isu global seperti perubahan iklim, perang melawan terorisme, dan hak asasi manusia. Kebetulan, Tiongkok dan AS kerap bersengkata dalam isu-isu tersebut.

Tiongkok menyadari bahwa AS unggul jauh di atasnya dalam penguasaan jaringan masyarakat informasi. Karena itu, Tiongkok sejak awal membatasi operasionalisasi Google untuk membuka jalan bagi Baidu agar mampu menggantikan Google sebagai situs yang paling banyak diakses netter. Jika Google benar-benar membuktikan ancamannya untuk hengkang dari Tiongkok, jalan Baidu untuk melenggang sebagai situs terlaris dunia semakin lapang. Tentu saja ini keuntungan luar biasa bagi Tiongkok.

Dilihat dari aspek ekonomi, saham Baidu dipastikan melonjak drastis sehingga juga bisa memicu akselerasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Ditinjau dari aspek politik, Pemerintah Tiongkok lebih mudah mengontrol aktivitas gerakan-gerakan politik yang mengkritisi penguasa. Dipandang dari aspek sosial budaya, Tiongkok memiliki kesempatan lebih luas untuk mengekspor nilai-nilai kulturalnya ke seluruh dunia.

Adidaya

Kebijakan terhadap Google merupakan salah satu bagian dari langkah Tiongkok untuk menyamai AS sebagai negara superpower pada 2080 dan meruntuhkan dominasi AS sebagai negara adidaya tunggal pada 2100. Rencana itu sejalan dengan roadmap yang dicanangkan sejak 2005. Untuk merealisasikan impian itu, jalan satu-satunya adalah mengalahkan AS dalam semua kompetisi. Rencana strategis yang hendak dijalankan Tiongkok adalah meningkatkan kemajuan teknologi, karena inilah keunggulan AS yang belum bisa disaingi.

Karena itu, Tiongkok mengonsentrasikan pembangunan pada modernisasi teknologi di segala bidang. Ke depan, Tiongkok akan lebih memaksimalkan penggunaan sains dan teknologi daripada pemanfaatan sumber daya manusia seperti selama ini. Jika berhasil, hal itu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan sehingga agresifitas Tiongkok untuk menggerorgoti hegemoni AS tidak dapat dibendung lagi. (*)

*). A. Safril Mubah, dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga
Opini Jawa Pos 20 Januari 2010