19 Januari 2010

» Home » Kompas » Pansus dan Keadaban Publik

Pansus dan Keadaban Publik

Hiruk-pikuk politik yang muncul dari kiprah dan polah Pansus Hak Angket DPR untuk skandal Bank Century telah menimbulkan sikap ambigu di kalangan publik.
Pada satu pihak, ada masyarakat yang senang dengan pengungkapan berbagai pengakuan para saksi. Namun, pada saat yang sama terdapat kalangan publik yang prihatin dan kritis terhadap tingkah polah anggota-anggota tertentu Pansus yang mereka pandang sudah melanggar kepatutan, atau ”kesantunan politik”, dalam istilah Tajuk Rencana Kompas (14/1/10).


Memang, banyak hal yang, menurut kalangan publik, tidak patut dilakukan oleh kalangan anggota Pansus DPR. Mulai dari pertanyaan bernada interogatif dan menghardik, tidak memberikan kesempatan kepada para saksi menyelesaikan kalimatnya, atau penyebutan saksi dengan gelar budaya yang tidak pada tempatnya, sampai kepada adu mulut dengan kata- kata kasar dan makian di antara anggota Pansus sendiri.
Semua tingkah polah yang tidak patut ini secara instan ditonton publik, yang memperlihatkan tidak hanya kekisruhan dalam proses bail out Bank Century, tetapi juga sekaligus kualitas pribadi dan moral anggota DPR bersangkutan. Padahal, seperti ditulis dalam Tajuk Rencana Kompas, ”kesantunan politik” sangat penting untuk kehormatan anggota DPR sendiri ataupun untuk pembelajaran bagi masyarakat.
Meski demikian, dalam batas tertentu sikap keras, lugas bernada interogatif beberapa anggota Pansus agaknya bisa dipahami. Sebab, jika dalam bertanya datar-datar saja, mereka bisa dianggap sebagian kalangan sebagai ”melempem” atau bahkan telah melakukan ”dagang sapi”. Akibatnya, mereka dapat kehilangan simpati dan popularitas pada konstituen dan masyarakat. Di sini, para anggota Pansus berada dalam posisi dilematis.
Keadaban publik demokratis
Bagaimanapun dilematisnya, tetap saja ada kesan kuat tentang terjadinya pelanggaran ”kesantunan politik” oleh sejumlah anggota Pansus. Dan ini, hemat saya, hanya bagian kecil kemerosotan keadaban publik (public civility) dalam masyarakat kita secara keseluruhan—sebuah gejala yang terus meningkat dalam masa kebebasan demokratis pasca-Soeharto.
Gejala dan indikasi kemerosotan keadaban publik juga bisa dilihat, misalnya, dari aksi politik semacam demo yang dilakukan mahasiswa, LSM, dan bagian masyarakat lain yang tak jarang melibatkan kekerasan dan brutalisme, penistaan figur-figur tertentu, dan seterusnya.
Apakah sebenarnya keadaban publik itu? Secara historis penekanan tentang pentingnya public civility dalam kehidupan sosial-politik telah muncul di masa awal modern, dan lebih khusus lagi di masa Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika (Serikat). Civility dalam konteks masa ini biasanya mengacu secara tipikal kepada cara seseorang berbicara dan bahasa tubuh yang menampilkan sikap sopan, berbudi, dan berbudaya. Orang yang tak menjalankan ini dipandang sebagai kasar, keras, tak beradab, barbarik, dan bahkan buas.
Konsep dan praksis public civility semacam itu kian mendapatkan momentumnya dengan pertumbuhan dan penguatan demokrasi modern dan kontemporer. Alasannya sederhana, adanya kebebasan berbicara dan bersikap pada lembaga-lembaga publik—semacam DPR— mestilah disertai dengan keadaban publik. Sebab, jika tidak, yang bakal terjadi adalah kekacauan, penistaan, dan berbagai bentuk tindakan uncivilized lainnya.
Dalam konteks ini, pengertian keadaban publik kian meluas, tidak hanya sekadar perilaku seperti di atas, tetapi juga sikap damai (non-violent), baik secara fisik maupun psikologis, tidak melakukan kekerasan verbal (verbal abuse), misalnya. Pada saat yang sama, keadaban publik juga berarti ”menghormati” orang lain, toleran, dan bahkan ”bermurah hati” (generous) kepada sesama meski lawan sekalipun.
Konsep dan praksis seperti inilah yang kini juga dikenal sebagai democratic civility yang pada dasarnya berusaha menyeimbangkan antara hak-hak demokratis dengan kesediaan menghormati dan toleran kepada pihak lain. Hanya dengan keadaban demokratis, proses politik yang berbudaya dapat berlangsung baik; tidak terjerumus ke dalam proses politik yang ”tidak berbudaya”. Jika tidak, yang terjadi selanjutnya adalah delegitimasi terhadap lembaga demokrasi seperti DPR, dan bahkan terhadap demokrasi itu sendiri.
Dengan penekanan itu tak serta-merta berarti mengorbankan hal esensial seperti kebenaran, seperti tengah dilacak Pansus. Namun, sekali lagi, tanpa keadaban publik berdasarkan democratic civility, upaya menemukan kebenaran dapat jadi kian sulit karena bisa terkesampingkan isu tentang telah terlanggarnya keadaban publik.
Politik keadaban
Kita bangsa Indonesia hampir selalu mengklaim sebagai bangsa yang toleran, menghargai orang lain, dan berbudi luhur. Akan tetapi, masih pantaskah kita mengklaim demikian ketika kian banyak kalangan kita telah kehilangan keadaban publiknya? Tak kurang ironisnya, kemerosotan keadaban publik itu kini juga telah melanda bagian masyarakat, yang menurut John Keane dalam Global Civil Society (2003) seharusnya menjadi the privileged (orang-orang istimewa) dalam hal civility, seperti wakil rakyat, pejabat publik, pemimpin, mahasiswa, dan seterusnya.
Merespons gejala kemerosotan keadaban publik itu, banyak hal mesti dilakukan. Sejauh menyangkut anggota DPR dan bahkan juga pejabat publik lain, sebenarnya banyak UU, peraturan, dan ketentuan yang merupakan semacam panduan untuk terselenggaranya keadaban publik. Namun, itu kelihatannya cenderung diabaikan. Karena itu, agaknya kita masih memerlukan code of conduct (misalnya untuk anggota DPR) yang rinci mengenai keadaban publik tentang mana yang boleh dan patut dilakukan dan mana yang tidak.
Pada saat yang sama, perlu penggalangan proses politik yang berkeadaban (civilizing politics), tidak hanya dalam teori dan konsep, tetapi juga sekaligus dalam praksis sehari-hari. Ini tak bisa mengandalkan kekuatan politik kepartaian partisan, yang boleh jadi menampilkan keadaban publik dalam kasus dan hal tertentu, tetapi bersikap beda dalam kasus lain.
Di sinilah kembali terletak urgensi bagi masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan instrumental dalam memberdayakan dan mengawal politik keadaban. Tak kurang pentingnya, upaya-upaya untuk memperkuat civic culture dan civility di kalangan publik mestilah dibangkitkan kembali. Pendidikan tetap saja merupakan lokus paling strategis bagi terwujudnya keadaban publik lebih lestari di hari esok.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos
Opini Kompas 20 Januari 2010