19 Januari 2010

» Home » Republika » Harga Beras Melonjak?

Harga Beras Melonjak?

Gatot Irianto
(Kepala Badan Litbang Deptan)

Sejak pertengahan Desember 2009, harga beras merambat naik secara konsisten dan diprediksi masih terjadi sampai akhir Januari. Pertanyaan besar mengemuka: benarkah fenomena ini merupakan fenomena biasa atau merupakan respons pasar atas pasokan beras yang menurun, karena panen raya baru terjadi satu sampai dua bulan mendatang. Ketika harga beras naik sampai dengan awal tahun baru Januari 2010, pemerintah dan masyarakat masih bisa memaklumi karena ada dampak dari perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru 2010. Kondisi ini masih dianggap sebagai fenomena biasa dan terjadi secara reguler. Namun, situasinya menjadi berbeda ketika harga beras terus merambat naik bahkan mulai melampaui ambang batas psikologis. Berdasarkan fakta tersebut, pertanyaan lebih detail mengemuka, yaitu (i) di mana dan ke mana hasil produksi padi yang menurut angka ramalan (ARAM) III mencapai 63.84 juta ton naik 5.83 persen (ii) mengapa kenaikan harga beras mengkhawatirkan berbagai pihak, termasuk pemerintah (iii) bagaimana pemecahannya agar efek dominonya dapat diantisipasi dan risikonya dapat diminimalkan.

Swasembada atau ditimbun
Kita harus percaya sepenuhnya bahwa ARAM III Badan Pusat Statistik (BPS) benar adanya. Argumen ini didasarkan pada fakta hasil pemantauan lapangan pasokan beras di pasar induk beras Cipinang, yakni pasokan beras dari daerah mengalir lancar dalam kuantitas normal. 

Berdasarkan fakta dan ilustrasi tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah ke mana beras itu berada? Paling tidak ada dua kemungkinan: disimpan masyarakat atau ditimbun tengkulak. Kemungkinan pertama sejalan dengan hasil pemantauan lapangan. Terjadinya banjir secara sistemis dari wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Jawa membawa dua implikasi dahsyat terhadap pasokan beras. Banjir bandang dan genangan yang diikuti longsor lalu puting beliung, dipastikan akan merendam padi sehingga menyebabkan volume panen berkurang, kualitasnya menurun, dan biaya panen lebih besar, keuntungan berkurang. Lebih jauh, banjir dan genangan juga merusak jalan dan memacetkan arus transportasi sehingga waktu tempuh ke pasar induk lebih lama, biaya angkut beras menjadi lebih mahal, dan kompensasinya harga beras harus disesuaikan. Terjadinya puting beliung di berbagai tempat dan longsor dipastikan berdampak terhadap peningkatan biaya angkut dan waktu tempuh beras, dari sentra produksi ke pasar induk beras. Menyikapi kondisi bencana alam yang semakin tinggi intensitasnya, masyarakat yang rawan banjir dan bencana lainnya biasanya secara psikologis akan melakukan pengamanan cadangan pangan. Sehingga, panen yang didapatkan sebagian besar disimpan untuk kebutuhan sendiri dan hanya sedikit yang dijual ke pasar. Implikasinya harga beras akan sedikit mengalami koreksi. Sentimen pasar ini menular ke berbagai wilayah sehingga harga beras konsisten merangkak naik.

Kemungkinan kedua, pedagang beras dan tengkulak memilih mengambil posisi wait and see, karena pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga pokok (HPP) pembelian gabah pemerintah. Gabah kering panen/GKP naik 10 persen dari harga sebelumnya Rp 2.500 per kilogram. Menurut pemantauan lapangan di sebagian besar sentra produksi, harga GKP sudah melebihi HPP yang baru sehingga fenomena kenaikan harga beras masih dianggap biasa, dan diprediksi tidak akan berlangsung lama apalagi permanen.

Setelah jelas harga pupuk, harga gabah di lapangan terjadi keseimbangan dan awal panen raya bulan Februari atau Maret dimulai, diprediksi kenaikan harga beras kecil kemungkinannya terjadi. Ketika segala sesuatunya jelas kalkulasinya, spekulan akan melepas cadangan berasnya. Argumennya, cadangan beras Bulog saat ini yang mencapai 1.6 juta ton terlalu tangguh untuk dipermainkan para spekulan. Apalagi, dalam satu sampai dua bulan mendatang akan dimulai panen raya sehingga pilihan menyimpan beras dalam jumlah banyak, membutuhkan biaya besar dan sangat tidak menguntungkan. Mengapa kenaikan harga beras yang melampaui batas psikologis perlu mendapatkan perhatian khusus?

Pro kontra
Ada dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi kenaikkan harga beras: (i) kenaikan harga beras yang melebihi ambang batas psikologi akan memacu inflasi, dan menyebabkan pemiskinan sistemis masyarakat miskin kota (ii) kenaikkan harga beras apabila dinikmati langsung oleh petani dan buruh tani justru harus didukung, karena dapat meningkatkan pendapatan petani dan buruh tani yang selama ini sulit terjadi secara signifikan.

Kenaikan harga beras yang mencapai Rp 500 sampai dengan Rp 1.000 per kilogram saat ini yang dianggap lampu kuning, sebenarnya perlu disikapi secara arif dan bijaksana. Artinya, harus dilihat lebih mendalam kasus per kasus apa yang terjadi. Gubernur, bupati, wali kota, camat, sampai lurah perlu melihat kondisi nyata di lapangan sebagai bagian dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bisa saja fenomena naiknya harga beras ini di setiap daerah berbeda faktor determinannya. Misalnya, antara sentra produksi dan nonsentra produksi, daerah endemis banjir dan nonendemis banjir. Dengan demikian, penanganan yang dilakukan lebih akurat dan tidak dipukul rata. Untuk meredam dampak pemiskinan masyarakat kota akibat kenaikan harga beras, pemerintah perlu memfokuskan penanganan masyarakat miskin perkotaan dengan menaikkan daya belinya.

Ironis kalau kenaikan harga beras yang dinikmati langsung petani harus ditekan melalui operasi pasar. Artinya, petani yang sudah miskin dan marginal harus menyubsidi orang kaya, termasuk menyangga warga miskin kota yang secara umum akses terhadap sumber dayanya jauh lebih baik dibandingkan petani. Tugas menyangga masyarakat miskin kota bukan selayaknya ditanggung apalagi dibebankan ke petani, melainkan perlu ditangani secara terpisah.

Pemerintah akan lebih akurat apabila memisahkan pendekatan penanganan warga miskin kota dan pengelolaan pendapatan/kesejahteraan petani, melalui pengaturan harga pokok pembelian pemerintah baik gabah maupun beras. Optimalisasi program pemberdayaan masyarakat kota harus lebih banyak dilakukan, bukan sebaliknya menekan harga beras.

Opini Republika 19 Januari 2010