19 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Keterbukaan Informasi Publik

Keterbukaan Informasi Publik

Oleh Didin Sabarudin

Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya serta berkaitan dengan kepentingan publik merupakan informasi publik terbuka yang mulai diberlakukan 30 April 2010. Hal itu merupakan amanat UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 64 (1), ”Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan.”


Sementara itu, informasi yang dinyatakan dikecualikan dibuka ke publik harus melalui tahapan uji konsekuensi di dalam badan publik sebagai penanggung jawab informasi sesuai dengan kewenangannya dengan uji kepentingan masyarakat pengguna informasi yang memiliki keterkaitan dengan UU lainnya, setidaknya UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU 43/2009 tentang Kearsipan.

Pertimbangan mengikat UU ini adalah hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik serta merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara, badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.

Informasi publik

Badan publik berkewajiban menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan kepada pengguna informasi publik dan wajib memberikan jawaban paling lambat sepuluh hari kerja terhadap pemohon informasi publik. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Informasi publik terbuka yang harus disediakan badan publik mulai dari (1) perencanaan dan kebijakan, (2) keuangan dan penganggaran, (3) implementasi dan pelayanan, serta (4) kelembagaan. Sementara, kategori informasi terbuka memuat antara lain (a) informasi berkala: renstra, program kerja tahunan, anggaran KL, daftar pemenang lelang, hasil audit BPKP dan tindak lanjut sebelumnya persemester, laporan hasil analisis sesuai UU, serta laporan tahunan dan lima tahunan; (b) informasi tersedia setiap saat: peraturan dan keputusan, risalah rapat pembahasan, RKA, DPA, dokumen usulan peserta lelang, laporan pelaksanaan dan perkembangan kegiatan, struktur organisasi dan jumlah staf, dokumen kerja sama lembaga, serta hasil kajian; (c) informasi serta-merta: laporan transaksi terkait pidana dan diizinkan presiden.

Hal spesifik menarik yang menyebutkan secara eksplisit dalam UU KIP selain BUMN/BUMD dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki negara (Pasal 14) adalah tentang informasi publik yang harus disediakan partai politik (Pasal 15), serta Pasal 16 tentang informasi publik yang harus disediakan lembaga nonpemerintah.

Komisi informasi

Konsekuensi logis pemberlakuan UU KIP adalah dibentukya komisi informasi untuk menjalankannya, baik di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota (jika dibutuhkan) dengan fungsi menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Komisi informasi pusat sudah terbentuk, tujuh komisi informasi daerah (KID) provinsi juga sudah terbentuk, bagaimana dengan pembentukan KID Jabar?

Informasi yang muncul melalui pernyataan Wakil Ketua Komisi A DPRD Jabar bahwa anggaran untuk pembentukan KID Jabar tidak ada alokasinya. Di sisi lain, Disinfokom menyatakan sudah melakukan persiapan dan rencana dalam mengantisipasi diberlakukannya UU KIP, tetapi terkendala dengan tidak adanya alokasi anggaran (Diskusi Implementasi UU KIP di Daerah, 14 Januari 2010).

Undang-Undang KIP merupakan hasil kebijakan politik dari proses politik di Senayan dengan pengesahan presiden seharusnya diikuti kebijakan administratif di tingkat provinsi untuk mengimplementasikannya. Ciri kualitas pemerintah (daerah) dapat dilihat dari kebijakan publiknya apakah menggambarkan kepentingan publik dan outcome-nya sesuai dengan tujuan kebijakan publik, di mana instrumennya ditentukan oleh batasan sumber daya, tekanan politik, batasan hukum dan pelajaran dari kegagalan instrumen masa lalu (H. Tachjan, ”Implementasi Kebijakan Publik”, 2008).

Oleh karena itu, keseriusan Pemprov dan DPRD Jabar mengimplementasikan UU KIP di Jawa Barat sampai tenggat waktu pemberlakuan 30 April 2010 bisa menjadi indikator tanggung jawab terhadap kebijakan yang dihasilkan di tingkat pusat dan keberpihakan kepada publik. Bagaimana pula konsekuensinya apabila otoritas penyelenggara pemerintahan daerah terlambat mengimplementasikannya? Kalau hal itu terjadi, walau tanpa sanksi apapun hampir pasti menimbulkan atau menambah ketidakpercayaan masyararakat kepada pemimpin, birokrat, dan lembaga politik di daerah. Bagaimana kelanjutannya, tentunya berpulang kembali kepada Gubernur Jabar dan DPRD Jabar.***

Penulis, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unpad, Kabid Ekbang Bammus Jabar dan Korbid KP Gema Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 20 Januari 2010