19 Januari 2010

» Home » Okezone » Memperjuangkan Perdamaian

Memperjuangkan Perdamaian

Aksi kekerasan belum reda dengan mengambil isu sentimen keagamaan di Malaysia. Beberapa gereja dirusak oleh massa yang marah atas keputusan pengadilan tinggi Malaysia mencabut pelarangan penggunaan kata Allah untuk agama Kristen.

Andai saja Gus Dur masih hidup, mungkin dia akan bilang pada komunitas Islam sendiri, “Gitu aja kok repot!” Salah satu makna retorika favorit tersebut dalam konteks ini bisa saja, “Mengapa harus repot-repot melakukan kekerasan jika bicara baik-baik bisa dilakukan?”


Pilihan Rasional

Kekerasan adalah produk rasional, demikian filosof klasik Thomas Hobbes meyakininya. Karena kekerasan digunakan sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan oleh kelompok-kelompok sosial yang berkontestasi atas sumber daya dan identitas dalam masyarakat.

Jika merujuk pada filsafat Hobbes ini, kekerasan pada gilirannya merupakan pilihan rasional yang disimpan sebagai pengetahuan dalam struktur kesadaran manusia dan kelompoknya sehingga pilihan rasional ini dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuan apa yang terlembaga melalui sosio-historis dalam bentuk praktik-praktik intensif dalam lingkungan sosial masyarakat.

Inilah mengapa sosok Gus Dur bekerja keras menciptakan proses sosial historis yang menciptakan pengalaman-pengalaman nirkekerasan dengan mempraktikkan terus-menerus dialog damai lintas identitas dan kepentingan. Agar manusia Indonesia mengakumulasi pengalaman praktik-praktik dialog damai sebagai pengetahuan dalam struktur kesadarannya. Dampak jangka panjang yang ingin diperoleh adalah karakter negara bangsa yang menjadikan praktik perdamaian sebagai cara mencapai tujuan.

Usaha menciptakan struktur kesadaran nirkekerasan Gus Dur, baik melalui wacana maupun tindakan politiknya, merupakan warisan dalam pembangunan karakter negara bangsa. Karakter bangsa yang mampu mempraktikkan perdamaian dalam upaya mengatasi kontestasi dan kontradiksi kepentingan dan identitas. Praktik perdamaian muncul dalam bentuk tindakan dialogis dan negosiatif sehingga bisa berproses dalam upaya mengatasi kontradiksi dari dimensi-dimensi konflik kepentingan dan identitas tanpa melukai orang lain.

Lebih dalam lagi, sesungguhnya substansi dari praktik perdamaian dalam hubungan konflik di ruang publik dan politik adalah kualitas pemecahan masalah. Meminjam istilah Johan Galtung (2004), praktik perdamaian tersebut adalah metode transendental (transcend approach), yaitu kemampuan sosial individu keluar dari halangan-halangan internalnya dan menciptakan peluang-peluang baru yang tidak saja menguntungkan diri sendiri, tetapi juga orang lain yang terlibat hubungan kontestasi atau konflik kepentingan. Halangan-halangan internal tersebut terutama sekali muncul dalam bentuk keterbatasan mendefinisikan masalah dan persepsi negatif terhadap pihak lain.

Seperti pada kasus aksi kekerasan terhadap gereja di Malaysia beberapa waktu lalu, kelompok muslim garis keras memersepsikan komunitas kristiani sebagai masalah karena dianggap mempermainkan istilah Tuhan dalam Islam sehingga dalam persepsi itu, merusak gereja seolah merupakan upaya memecahkan masalah. Padahal ada kemungkinan lain dari definisi permasalahannya seperti kebijakan negara yang tidak tepat atau permainan elite-elite politik untuk membangun isu-isu strategis tertentu yang menguntungkan mereka.

Praktik Perdamaian

Praktik perdamaian merupakan upaya jangka panjang bagi Indonesia agar mampu mengelola konflik identitas dan kepentingan. Perdamaian berarti kondisi sempurna suatu masyarakat yang ditandai oleh absennya konflik kekerasan, kesalingpahaman, dan penghormatan atas perbedaan serta keadilan sosial.

Jika saja praktik perdamaian yang mengutamakan dialog nirkekerasan telah menjadi karakter negara bangsa, kehidupan sosial dan politik secara dinamis akan selalu menuju pada common bonum (kemaslahatan umat). Sebab, masyarakat memilih melakukan dialog untuk menemukan permasalahan substansial dan merumuskan pemecahan masalah secara arif. Fenomena menggembirakan negeri ini, praktik kekerasan lintas identitas semakin berkurang sejak eskalasi konflik kekerasan identitas seperti di Ambon, Poso, dan Kalimantan pada 1999–2003.

Namun kekerasan lebih banyak direproduksi oleh kelompok teroris yang secara sosiologis tidak menjadi bagian dari masyarakat. Selain kelompok teroris, praktik kekerasan kenyataannya masih direproduksi oleh elite-elite politik negeri ini. Lihat saja pada kasus praktik komunikasi kekerasan beberapa anggota Pansus Skandal Bank Century di gedung perwakilan rakyat beberapa waktu lalu. Pericles (dalam David Held, 2003) seorang negarawan dan filosof negara kota Athena menyebut syarat bagi dewan rakyat agar mampu mencapai pemecahan masalah adalah isegoria, yaitu komunikasi politik yang bebas namun bijak dan berkualitas untuk kebaikan.

Oleh karenanya isegoria bisa diartikan sebagai komunikasi nirkekerasan, atau bagian dari praktik perdamaian yang menekankan pada dialog untuk menemukan kesalingpahaman mengenai permasalahan sehingga bisa dirumuskan formulasi pemecahannya. Namun yang terjadi di sidang Pansus beberapa waktu lalu adalah praktik kekerasan yang menghambat dan mengaburkan substansi permasalahan. Lantas bagaimana bisa mencapai kemaslahatan umat di Indonesia jika para elite politik tidak menciptakan praktik perdamaian? Para elite politik adalah representasi dari negara karena merekalah yang mengelola dan melaksanakan wewenang negara.

Jika mereka tidak melakukan praktik perdamaian, berbagai kebijakan negara pun masih cenderung muncul sebagai bentuk kekerasan. Di antaranya kebijakan penanganan kasus konflik separatisme di Papua yang lebih mengedepankan praktik kekerasan terhadap organisasi separatis dan para anggotanya dengan menutup proses dialog dan negosiasi damai. Operasi militer dan kebijakan sepihak seperti otonomi khusus lebih dipilih oleh negara daripada melakukan pendekatan dialogis terlebih dahulu.

Karenanya eskalasi perlawanan OPM (Organisasi Papua Merdeka) semakin besar dan mengancam integrasi Republik Indonesia. Praktik perdamaian harus menjadi karakter negara bangsa Indonesia agar hidup tenteram dan makmur. Saat ini masih dibutuhkan figur-figur pemimpin, dalam masyarakat dan negara, yang konsisten menciptakan praktik perdamaian terus-menerus.

Masyarakat sipil yang telah menyadari pentingnya praktik perdamaian sebagai karakter negara bangsa Indonesia perlu terus giat mensosialisasikannya di segala arena sosial, baik secara tradisional tatap muka langsung seperti khotbah masjid dan gereja maupun jejaring virtual seperti Facebook. Inilah model kultural dan politik kontemporer tahun 2010 bagi bangsa Indonesia: praktik perdamaian!(*)

Novri Susan
Dosen Tata Kelola Konflik di Departemen Sosiologi Unair

Opini Okezone 20 Januari 2010