19 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Defisit Nilai Kebijakan Ekonomi Kita

Defisit Nilai Kebijakan Ekonomi Kita

MENYIMAK perkembangan kasus Bank Century (BC), khususnya lewat pintu pansus DPR, sekurang-kurangnya dapat dideskripsikan tiga pernyataan penting mengenai watak kebijakan ekonomi pemerintah. Pernyataan ini tidak terkait soal benar-tidaknya kebijakan bailout BC tersebut, namun bersinggungan dengan proses lahirnya suatu kebijakan.

Pertama, masalah moral hazard (perampokan, penipuan, rent-seeking) pelaku ekonomi bisa diabaikan bila keadaan ekonomi nasional dalam situasi darurat (krisis). Kedua, dampak (sistemik) perekonomian merupakan cermin instabilitas yang bakal terjadi dalam konfigurasi ekonomi makro, khususnya pasar finansial (kurs, inflasi, harga saham, neraca pembayaran, dan seterusnya). Ketiga, subordinasi kebijakan begitu mudah terjadi, yang bisa disebabkan ketidakjelasan manual prosedur kebijakan maupun tingginya intensitas kepentingan (politik) para perumus kebijakan.

Subordinasi Kebijakan

Moral hazard merupakan pokok bahasan penting dalam tradisi ekonomi kelembagaan sehingga rules of the game merupakan keniscayaan yang harus dibangun dalam sistem ekonomi. Oportunisme merupakan asumsi paling elementer yang harus diketahui para perumus kebijakan sehingga setiap aturan main yang dibuat mesti berupaya mempersempit munculnya perilaku self-interest tersebut.

Di sini, setiap aturan main yang buruk dipastikan akan menyuburkan sikap oportunisme (moral hazard) yang merugikan keseluruhan aktivitas ekonomi. Pertanyaannya, apakah oportunisme dapat ditoleransi dalam suatu keadaan darurat? Jawabannya tetap tidak.

Pertama, oportunisme hanya akan berhenti apabila ada instrumen yang secara serius memang berkehendak menghadangnya. Kedua, moral hazard yang ditoleransi menjadi sinyal ''pasar" yang ampuh untuk membiakkan para bandit berikutnya. Terlalu banyak contoh di bidang ekonomi untuk menunjang argumen ini.

Berikutnya, dakade 1980-an merupakan salah satu periode terhebat dalam sejarah ekonomi modern di dunia ketika liberalisasi pasar keuangan menjadi pedoman kegiatan ekonomi. Sejak saat itu pula aktivitas ekonomi dunia disesaki dua cerita yang silih berganti: interaksi ekonomi dunia kian cepat dan instabilitas ekonomi kian rajin hadir dalam kehidupan ekonomi. Kemakmuran suatu bangsa lekas dapat dicapai hanya dengan bekal menghidupkan pasar modal dan transaksi derivatif, yang tentu tidak ada kaitannya dengan pertambahan barang/jasa.

Frasa kemakmuran di sini tentu saja cuma terkait dengan para pelaku yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Nahasnya, begitu instabilitas ekonomi terjadi (yang disebabkan ulah para pelaku di pasar keuangan), pemerintah kembali menempatkan indikator pasar keuangan sebagai medan taruhan yang harus diselesaikan, tidak peduli ada pelaku ekonomi lain (sektor riil) yang juga menggelepar. Bias kebijakan ini begitu kasat mata dipraktikkan pemerintah.

Ketiadaan dua values di atas diperparah dengan absennya manual prosedur kebijakan yang mesti ditempuh acapkali sebuah kebijakan hendak diproduksi. Kasus BC memberikan ilustrasi yang menarik mengenai hadirnya teknologi yang tidak ditempatkan sesuai dengan konteks urgensi kebijakan.

Nyaris tidak bisa dipercaya, bagaimana mungkin sebuah kebijakan segenting bailout BC hanya diinformasikan melalui ''SMS'' kepada salah satu petinggi terpenting yang saat itu sedang bertanggung jawab, yakni wakil presiden. Selebihnya, jika memang itu terjadi karena kesengajaan, maka subordinasi kebijakan mungkin menjadi menu keseharian di negeri ini, di mana kasus BC hanyalah bagian dari praktik tit for tat di pemerintahan.

Ini juga yang barangkali menjadi penjelas mengapa menteri kerap ditelikung para Dirjen, Dirjen dikelabui para deputi, deputi dilangkahi para direktur, begitu seterusnya. Jika pola ini menjadi kebiasaan, bisa dibayangkan seperti apa mutu kebijakan yang didesain pemerintah.

Defisit Nilai

Jika benar ketiga pernyataan di atas menjadi ''nilai" yang selama ini menafkahi pemerintah tiap memproduksi kebijakan (ekonomi), berarti telah lama terjadi proses pembusukan nilai yang serius dalam tata kelola pemerintahan. Dalam prinsip hukum di pengadilan dikenal adagium yang sangat populer: biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan. Bila diadopsi dalam kasus BC, falsafah itu menjadikan tidak sahihnya argumen yang menyatakan moral hazard dapat diabaikan dalam kondisi krisis ekonomi.

Demikian pula, pemerintah mesti memahami makna ''kepentingan publik" sebagai frasa baru yang tidak boleh disederhanakan sebagai sekadar pelaku pasar keuangan. Jadi, afirmasi ekonomi justru harus hadir kepada khalayak yang menjadi korban ''kekerasan praktik ekonomi". Kebijakan ekonomi terlalu mahal jika hanya dibelokkan menjadi redistributive combines (meminjam kerangka pemikiran de Soto), yakni kebijakan yang dibuat sekadar untuk menyantuni kepentingan para penopang kekuasaan.

Dengan demikian, pencarian nilai baru sebagai antitesis nilai lama yang telah usang tersebut merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda agar defisit nilai dalam formulasi kebijakan lekas diakhiri. Nilai-nilai baru itu diharapkan menjadi sumber otentik bagi perumusan kebijakan yang lebih manusiawi dan adil.

Hal tersebut bukanlah merupakan pekerjaan sulit karena seluruh sendi dasar bernegara kita sangat kaya nilai-nilai yang dimaksudkan tersebut. Nilai-nilai inilah yang diharapkan bisa mengatasi kerumitan akademis ketika secara teoretis sebuah soal (katakanlah definisi dan alat ukur ''dampak sistemik") menemui jalan buntu.

Jika teori gampang dibelokkan, nilai hadir untuk meluruskan kembali garis permasalahan. Harus diakui, kevakuman nilai inilah yang menjadi salah satu sumber sulitnya pemerintah membuat kebijakan yang berwatak (adil), sekaligus susahnya kita memberikan penilaian yang jernih atas suatu kebijakan. Semoga kasus BC itu menjadi pemutus mata rantai nilai yang hilang tersebut. (*)

*) Ahmad Erani Yustika , wakil dekan (Akademik) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, direktur Indef, Jakarta

Opini Jawa Pos 19 Januari 2010