DALAM dua tahun terakhir, ketika musim hujan tiba, beberapa wilayah di kota Purwokerto dilanda banjir. Hal itu berbeda dari 5 tahun lalu sehingga persoalan banjir di lingkungan menjadi keprihatinan warga Kota Satria ini. Pesatnya pertumbuhan kota, memberikan dampak tersendiri, terlebih upaya mengantisipasi dampak banjir belum dilakukan secara komprehensif.
Meski belum separah Jakarta atau kota besar langganan banjir yang lain, kondisi ini perlu penanganan cepat dan terpadu, melibatkan semua pihak, termasuk jajaran pemkab. Jika tidak, geliat pembangunan di ibu kota Kabupaten Banyumas ini akan “tenggelam” dalam problematika banjir.
Saat ini, beberapa titik di jalan utama di Purwokerto menjadi langganan banjir, di antaranya perempatan Rumah Sakit DKT, perempatan Kebondalem, Jl Kolonel Sugiono, perempatan Pancurawis, Jalan Gerilya, dan pertigaan Jalan MT Haryono-Jalan Jenderal Soedirman. Adapun wilayah pemukiman yang sering mendapat ”jatah” banjir adalah Perumahan Karang Pucung Permai di Kecamatan Purwokerto Selatan.
Instansi yang terkait selalu mengembalikan pada persoalan teknis. Misalnya mendalihkan pada kurang baiknya kondisi saluran pembuangan air/ drainase di tepi jalan-jalan utama kota, keterbatasan anggaran. Namun Pemkab Banyumas sudah menyiapkan materplan penataan drainase (SM, 10/11/11).
Penyikapan terhadap kompleksitas persoalan lingkungan, termasuk banjir, tidak bisa melupakan unsur manusia. Alasan dan penyelesaian teknis mengatasi banjir harus dibarengi dengan upaya revitalisasi sosiologi. Artinya bagaimana menciptakan suatu kondisi agar semua orang saling berinteraksi guna menjaga lingkungannya hingga terbebas dari banjir.
Salah satunya bisa kembali mengaktifkan kerigan, yaitu pola gotong-royong atau kerja bakti massal, yang sejatinya menjadi salah satu kearifan lokal warga Kabupaten Banyumas. Pada zaman dulu, pembuatan saluran air, kegiatan bersih desa, atau membersihkan lingkungan, selalu dilakukan dengan memakai pola itu.
Lewat kerigan pula, pada 1998 Purwokerto mendapat penghargaan dari WHO karena berhasil membebaskan daerah itu dari serangan demam berdarah dengue (DBD). Waktu itu masyarakat menjabarkan kearifan lokal tersebut dalam wujud piket bersama memberantas sarang nyamuk.
Pelestarian Lingkungan
Pemda bersama warga Purwokerto sebenarnya bisa menerapkan kerigan untuk mencegah banjir. Misalnya sekelompok warga secara bergilir membersihkan saluran air/ drainase di lingkungan masing-masing. Kerja bakti itu bisa digagas secara tidak formal atau formal, misalnya menjadi kebijakan pemkab yang pada hari tertentu mengajak warga bersih-bersih saluran.
Gotong-royong membersihkan saluran kota yang mengalami pendangkalan sudah dirintis warga Purwokerto Selatan, melibatkan unsur BKM dan LPMK Kelurahan Purwokerto Kulon, Satgasgana, personel Koramil dan Polsek Purwokerto Selatan, serta anggota Laskar Merah Putih. (SM, 05/11/11). Kegiatan itu bisa menjadi contoh bagi warga wilayah lain di Purwokerto.
Bentuk kerigan kedua adalah bersama-sama memahami dan menyosialisasikan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu kegiatan yang bisa dikategorikan merusak lingkungan adalah kebiasaan buruk sebagian warga Purwokerto membuang sampah di sungai. Penyosialisasian regulasi itu akan menyadarkan warga untuk tidak lagi membuang sampah ke saluran/ sungai, utamanya Kali Bener dan Kali Kranji, dua sungai besar yang melintasi kota, dan belakangan ini pada musim hujan sering meluber karena mengalami pendangkalan akibat banyak sampah.
Bentuk kerigan yang ketiga adalah membentuk komunitas gerakan cinta lingkungan, yang bisa dimulai dari lingkup terkecil, yaitu RT, RW, desa, dan seterusnya. Anggota komunitas ini memfokuskan pada berbagai kegiatan yang bersifat menjaga, memelihara, dan melestarikan lingkungan. Wujud kegiatannya bisa bersama-sama membersihkan lingkungan secara rutin, menghijaukan kota, dan menyosialisasikan pentingnya pelestarian lingkungan kepada pelajar atau anggota masyarakat.
Bila unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat, merasa terpanggil mengimplementasikannya lewat pola kerigan, Purwokerto bisa terbebas dari banjir dan lingkungannya pun terjaga. (10)
— Drs Edy Suyanto MSi, dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), mahasiswa S-3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Wacana Suara Merdeka 15 Desember 2011