Seandainya harga obat murah, biaya pelayanan kesehatan di Indonesia tentu tidak akan semahal sekarang. Ini karena komponen biaya obat bisa mencapai 45 persen dari total biaya kesehatan. Lalu, mengapa harga obat mahal? Penyebabnya adalah tidak ada subsidi sebagaimana harga bahan bakar minyak. Padahal, harga obat bisa lebih murah kalau kita mengetahui seluk-beluk pasar obat.
Berbagai faktor yang membuat harga obat mahal adalah jumlah dan jenis obat yang beredar di Indonesia terlalu banyak, baik yang menggunakan nama generik maupun nama dagang. Jumlahnya sudah ribuan. Padahal, yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pengobatan/medik hanya 800-1.000 nama generik dan dagang.
Terlalu banyak obat
Selain itu, produsen/pabrikan obat juga terlalu banyak. Tak jarang, satu nama generik diproduksi oleh beberapa produsen dengan harga yang sangat berbeda. Meski khasiat sama, harganya bisa berbeda sepuluh kali lipat. Kalau dokter memberi kita obat yang harganya mahal, sudah tentu harga resep kita menjadi mahal. Padahal, ada pilihan obat dengan harga yang bisa jauh lebih murah dengan khasiat yang sama.
Meski demikian, ada hal-hal yang memang membuat harga obat mahal. Sebagian besar bahan baku obat masih diimpor dan tidak bebas pajak, seperti beras dan bahan pokok lain. Dengan demikian, harga obat lebih banyak ditentukan oleh harga bahan baku, kurs mata uang, dan pasar internasional. Kalau ada gejolak ekonomi yang memengaruhi perekonomian dunia, harga obat bisa naik. Misalnya kenaikan harga BBM atau krisis di suatu negara yang berdampak terhadap distribusi obat.
Selain itu, obat juga sudah menjadi komoditas atau industri yang harus memperhitungkan biaya riset, produksi, dan distribusinya. Obat adalah juga komoditas yang tak banyak diketahui oleh para konsumen atau pasien. Mereka ini, selain tak tahu (ignorance) terhadap obat yang harus dibayarnya, dalam hubungan pasien-dokter, pasien sebagai konsumen hampir selalu berada di pihak yang lemah. Terserah dokter, mau diberi obat apa.
Sebagian besar pasien meminta obat yang dianggap paling mujarab meski harganya mahal. Sementara banyak dokter tentu saja ingin memenuhi keinginan pasien. Urusan obat memang kadang tidak rasional karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan, bahkan jiwanya sendiri. Maka, anggarannya sering tanpa batas, sampai ”kantongnya” kosong. Faktor psikologis ini yang dimanfaatkan bagian pemasaran atau detailmen obat yang mendatangi para dokter untuk menuliskan resep obat yang mereka pasarkan.
Dengan kenyataan seperti itu, yang terjadi justru keadaan yang berlebihan (overutilization). Obat yang semestinya tidak perlu—bahkan yang tidak perlu sama sekali pun—diberikan kepada pasien. Inilah yang membuat obat semakin mahal.
Kendali harga dan mutu
Dengan memerhatikan kondisi pasar obat, sebagaimana dikemukakan di atas, sesungguhnya masih ada celah untuk menurunkan harga obat. Kalau jumlah dan jenis obat yang beredar bisa ditekan sampai pada jumlah yang wajar—dengan syarat tetap memenuhi kebutuhan pengobatan/medik—harga obat bisa turun dengan mutu yang tetap terjamin. Sebab, obat yang tercantum dalam daftar obat itu adalah pilihan para ahli.
Di sinilah perlunya memiliki daftar obat atau formularium obat yang direkomendasikan untuk ditulis dalam resep sehingga tidak perlu jumlah dan jenis obat yang terlalu banyak. Kita mengenal daftar obat esensial atau formularium rumah sakit atau daftar obat yang digunakan perusahaan asuransi.
Dengan jumlah yang terbatas, apalagi kalau bisa bekerja sama dengan produsen obat, biaya produksi, pengadaan, dan distribusi obat bisa ditekan. Apalagi kalau dalam daftar obat/formularium itu memiliki harga plafon (harga tertinggi) untuk satu jenis obat yang harganya sangat bervariasi itu. Semakin besar pengguna daftar obat, semakin besar pula kemungkinan penurunan harga obat.
Pengalaman PT Askes Indonesia, dengan jumlah peserta sekitar 16 juta orang, bisa menjadi contoh. Sejak memperkenalkan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) tahun 1987, terjadi penurunan belanja obat secara bermakna. Harga setiap jenis obat dalam DPHO bisa lebih rendah 30 persen dibandingkan dengan harga pasar. Semakin besar pengguna DPHO, semakin murah harga obat. Ini karena bagi produsen/pabrikan obat (pabrik obat), jumlah pengguna DPHO merupakan captive market yang sangat bermakna tanpa kegiatan pemasaran lagi. Dengan demikian, biaya produksi dan distribusi bisa turun.
Perlunya asuransi kesehatan
Maka, seandainya DPHO diberlakukan secara nasional, harga obat pasti tak akan semahal sekarang. Namun, hal ini baru bisa terwujud kalau sebagian besar penduduk Indonesia dicakup dalam program asuransi kesehatan, sebagaimana (antara lain) program Jaminan Kesehatan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Di sinilah manfaat setiap program asuransi kesehatan di banyak negara, yang selain menjamin biaya pemeliharaan kesehatan juga mengendalikan harga dan mutu obat. Konsumen yang masih fragmented—karena cakupan program asuransi/jaminan kesehatan masih terbatas—adalah faktor penyebab berikutnya mahalnya harga obat di Indonesia.
Dengan gambaran seperti di atas, bermimpi harga obat murah bukanlah suatu kemustahilan. Syaratnya, Indonesia harus sudah mulai bersungguh-sungguh membangun sistem asuransi kesehatan sehingga sebagian besar atau seluruh penduduk Indonesia tercakup. Tanpa program asuransi kesehatan, harga obat tidak hanya mahal, tetapi juga semakin sulit dikendalikan, baik mutu maupun harganya.
Konsumen pun akan semakin fragmented karena tidak ada lembaga/badan penyelenggara asuransi kesehatan yang memiliki posisi tawar memadai untuk mengendalikan harga dan mutu obat. Kampanye obat generik tidak akan bermakna menurunkan harga obat. Kenyataan menunjukkan, pengguna obat generik masih sangat terbatas hingga hari ini.
Sulastomo Direktur Operasi PT Askes Indonesia Periode 1986-2000
Opini Kompas 21 Februari 2011