SEANDAINYA Mpu Tantular masih hidup, barangkali saat ini ia tengah bersedih lantaran semboyan yang diciptakannya, Bhinneka Tunggal Ika, sedang mendapat ujian berat. Betapa penggubah kitab Sutasoma itu tidak berduka?
Sekelompok warga negara menyerang sekelompok warga negara lainnya yang berbeda keyakinan, seperti terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, , 6 Februari lalu yang menewaskan tiga pengikut Ahmadiyah. Kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah merupakan kali kesekian pada tahun ini. Pada 2009 tercatat 33 tindakan pelanggaran terhadap jamaah Ahmadiyah, dan tahun 2010 meningkat menjadi 50.
Pada 8 Februari 2011, amuk massa terjadi di Temanggung. Sedikitnya 3 gereja Katolik dan Kristen serta 1 sekolah Kristen dirusak massa. Pemicunya ketidakpuasan atas vonis 5 tahun penjara terhadap Antonius Richmond Bawengan, terdakwa penistaan agama. Pada 15 Februari 2011, sebuah pondok pesantren di Pasuruan, Jatim, yang dituding beraliran Syiah, diserang massa yang melukai 9 santrinya.
Ahmadiyah, gereja, dan ponpes yang dituding beraliran Syiah menjadi sasaran amuk massa; hari ini dan esok apa lagi? Bhinneka Tunggal Ika pun terkoyak. Maka wajar bila kita semua, bukan hanya Mpu Tantular, bersedih. Mengapa begitu mudah kita mengamuk? Mengapa begitu mudah memerangi saudara sebangsa hanya karena berbeda keyakinan? Bukankah negara kita berdasarkan Pancasila, dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu? Bukankah kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi, terutama Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Bukankah Islam juga rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam? Jangankan dengan sesama manusia, dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan pun kita wajib berdamai. Dalam kacamata Islam, perbedaan juga suatu rahmat.
Dari sisi akidah Islam, Ahmadiyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir memang tidak sesuai dengan mainstream Islam yang mengakui hanya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Tetapi apakah lantaran itu lantas pengikut Ahmadiyah diperangi? Apakah masjid Ahmadiyah juga harus diberangus? Tentu tidak. Masih tersedia ruang dan waktu untuk berdiskusi dan berdialog.
Mari kita kembali ke aturan main. SKB Mendagri, Menag, dan Jakgung, yang lebih dikenal dengan SKB Tiga Menteri, menurut penulis adalah kebijakan yang arif. Poin ke-2 dari 6 poin dalam SKB yang terbit pada 9 Juni 2008 itu menyebutkan, ”Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.”
Menegakkan Keadilan
Bila pengikut Ahmadiyah tak mau kembali ke mainstream Islam maka usulan dari sejumlah pihak, termasuk Prof Dr Muladi yang baru melepaskan jabatannya sebagai Gubernur Lemhannas, patut dipertimbangkan: Ahmadiyah keluar dari Islam dan menjadi agama tersendiri. Sayangnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR di Jakarta, Rabu (16/2) malam, Amir Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basit menolak JAI keluar dari Islam. Komisi VIII kemudian menawarkan solusi lain: Ahmadiyah menjadi aliran kepercayaan, dan untuk itu undang-undangnya sedang dipersiapkan.
Ataukah Ahmadiyah harus dibubarkan? Kalau dibubarkan organisasinya, bukankah sia-sia belaka? Selain bertentangan dengan konstitusi, pembubaran tidak menjamin aliran ini akan sirna karena keyakinan itu ada di benak manusia. Siapa bisa mengendalikan benak seseorang? Apalagi Indonesia adalah negara hukum atau rechstaat, bukan negara kekuasaan atau machstaat.
Terlepas dari apakah Ahmadiyah bertahan, membubarkan diri, menjadi agama tersendiri, atau menjadi aliran kepercayaan, yang jelas jangan sampai terjadi lagi kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah. Jangan sampai pula terjadi lagi perusakan terhadap gereja atau rumah ibadah agama lain. Bila masih terjadi maka Bhinneka Tunggal Ika semakin terkoyak, bahkan tercabik-cabik. Pancasila dan NKRI pun terancam runtuh.
Bila Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada 43 Sebelum Masehi berkata, ”Fiat justitia ruat caelum”, tegakkan hukum walau langit akan runtuh; dan Ali Bin Abi Thalib pun berkata, ”Tegakkan hukum supaya langit tidak runtuh” maka penulis berkata, ”Tegakkan keadilan supaya NKRI tidak runtuh.” (10)
— Drs H Sumaryoto, anggota DPR Fraksi PDIP dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah X (Kabupaten Batang, Kabupaten/Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang)
Opini Suara Merdeka 21 Februari 2011
20 Februari 2011
Bhinneka Tunggal Ika Diuji
Thank You!