20 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Keamanan Pangan dan Hak Konsumen

Keamanan Pangan dan Hak Konsumen

Kontroversi tentang susu formula yang diketahui terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii terus bergulir.
Peristiwa yang sebenarnya sudah terungkap pada 2008 itu kembali mencuat setelah gugatan David Tobing—konsumen susu formula bayi—terhadap Institut Pertanian Bogor (IPB) dikabulkan Mahkamah Agung. Dalam gugatannya, David Tobing meminta IPB, sebagai pihak yang meneliti, mengumumkan merek susu formula yang terkontaminasi bakteri kepada publik.
IPB meneliti 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi produksi 2003-2006. Hasilnya, 22,73 persen sampel susu formula dan 40 persen sampel makanan bayi positif terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii yang bisa membahayakan kesehatan bayi. Hasil penelitian diumumkan pada Februari 2008 tanpa menyebutkan merek produk yang terkontaminasi.
Meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, peristiwa seperti ini sudah berulang terjadi. Masyarakat sering dihebohkan dengan temuan zat kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks, sebagai bahan pengawet makanan. Namun, tanggapan pemerintah cenderung reaktif.
Oleh karena itu, ke depan perlu ditemukan cara yang semestinya dilakukan oleh semua komponen masyarakat agar tidak selalu heboh sesaat begitu ada kejadian, lantas masuk peti es.
Empat kriteria
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2004 telah mengatur tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. PP tersebut menyatakan bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimiawi, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Adapun menurut Widyakarya Pangan dan Gizi, masalah keamanan pangan menyangkut empat kriteria: aman dari kontaminasi bahan kimia berbahaya, aman dari kontaminasi mikro- organisme, aman secara kaidah agama (halal), dan aman secara komposisi gizi (wholeness).
Masalah keamanan pangan juga diatur dalam banyak peraturan, di antaranya Undang-Undang Kesehatan No 23/1992, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 304/Menkes/Per/IV/1989 tentang Persyaratan Kesehatan Restoran, dan Nomor 712/Menkes/Per/1986 tentang Persyaratan Kesehatan Jasa Boga.
Cemaran mikroorganisme pada makanan merupakan kasus yang sering kita jumpai. Banyak insiden diare di masyarakat akibat cemaran bakteri E coli pada makanan dan minuman. Namun, kasus kontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii pada susu formula di Indonesia belum banyak laporan epidemiologinya.
Sepanjang 1983-2004 di seluruh dunia dilaporkan 60 kasus kontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii pada bayi terkait susu formula, yaitu di Amerika Serikat, Eslandia, Kanada, Israel, dan Belgia. Gejalanya bervariasi, mulai dari diare sampai meningitis dan kematian. Dampak itu 80 persen terjadi pada bayi di bawah usia satu tahun, 66 persen berusia kurang dari satu bulan (utamanya bayi prematur), bayi berat badan lahir rendah, atau bayi dari ibu HIV/AIDS. Risiko bagi bayi di atas satu tahun dan berbadan sehat sangat kecil (Kompas, 29 Februari 2008).
Ada tiga sumber yang mungkin tercemar pada susu formula, yaitu bahan baku, saat sterilisasi, dan saat membuat susu formula. Pengenalan ini memandu kita untuk menghindari kemungkinan terjadinya pencemaran. Di antaranya menyajikan susu formula secara higienis, mulai dari menggunakan air yang telah mendidih hingga membuang sisa susu yang sudah larut setelah dua jam.
Langkah cepat
Pemerintah harus bertindak cepat menuntaskan kasus keamanan pangan, seperti susu formula yang terkontaminasi ini. Pertama, adalah tugas pemerintah memberikan rasa aman kepada konsumen. Kedua, melindungi produsen pangan yang jujur agar tidak bangkrut. Ketiga, penegakan hukum.
Pasal 47 PP No 28/2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan, jika produk pangan membahayakan kesehatan dan jiwa manusia harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan hukum ini menjadi kata kunci agar kasus-kasus serupa tidak terulang pada masa mendatang.
Di sisi lain, kasus ini bisa menjadi momentum awal kampanye nasional gerakan ibu menyusui. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), kini tinggal 61 persen ibu yang mau menyusui bayinya selama empat bulan dan hanya 35 persen yang menyusui hingga enam bulan.
Toto Subandriyo Alumnus Bioindustri, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB; Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (Lentera)
Opini Kompas 21 Februari 2011