DEMOKRASI sebagai suatu metode kini tampaknya sedang naik daun dan  dipuja-puja, bahkan oleh banyak tokoh Islam dibahas secara objektif.  Sejatinya hal yang menjadi keunggulannya seperti fairness dan  egalitarian sudah banyak diperbincangkan sehingga tidak perlu dibahas  lagi. Namun sebagai metode sosial perlu dipahami kelemahannya agar bisa  diantisipasi untuk diatasi secara bersama-sama. 
One man one vote dalam pemilu sebagai suatu praktik esensial dan  fragmatis dalam demokrasi, katakanlah pada kualitas pemilu yang amat  jurdil sekalipun, ternyata juga masih memiliki cacat sosial, yang bisa  mengarah pada keruntuhan sosial. Suatu tatanan sosial yang mayoritas  penduduknya lemah, tentu mudah diarahkan untuk memilih tokoh yang tidak  berkualitas menjadi pimpinan nasionalnya.
Dalam kepemimpinan tokoh yang tidak berkualitas itu maka KKN bisa makin  merajalela dan jumlah orang yang tidak berkualitas makin dominan,  sehingga jika 5 tahun berikutnya digelar pemilu pasti dimenangi tokoh  yang lebih buruk lagi. 
Proses sosial seperti itu berlangsung terus sampai akhirnya hancurlah  tatanan sosial bangsa negara oleh keburukan kualitas pemimpinnya. Proses  sosial ini sering disebut spiraling down, yang mengantarkan suatu  bangsa negara pada kehancuran total, terdisintegrasi, dan berantakan.
Demokrasi menjadi pendekatan sosial politik yang baik bila kualitas  mayoritas penduduk memang relatif sudah baik. Artinya masyarakat tahu  kriteria pemimpin yang bermutu, dan memilihnya berdasarkan ideologi,  bukan karena membeli suara atau karena direpresi oleh kekuasaan.  Hasilnya tentu mengarah menjadi negara yang makin kuat dan baik. Proses  itu bisa disebut spiraling up. 
Kita bisa mencontohkan Amerika Serikat dengan kondisi sosio kulturalnya  yang amat diuntungkan oleh proses demokrasi liberal. Mayoritas penduduk  berpendidikan SMU ke atas, ekonominya relatif baik, di samping visi  sosial penduduknya yang umumnya sekulalistik mampu bergerak ke arah  spiraling up. 
Secara umum bisa dikatakan bahwa proses demokrasi amat rawan praktik  money politic dan power politic, yakni permainan uang dan represi  kekuasaan oleh mereka yang sedang menikmati kekuasaannya. Kedua praktik  sosial itu sering dilakukan oleh kelompok sosial yang materialistik,  tidak berakhlak, dan penguasa korup, gila kekuasaan. Rakyat tidak  berdaya dan makin tidak berdaya.
Agenda Lain
Dengan memahami seluk-beluk proses demokrasi seperti ini maka tidak  seharusnya negara muslim ikut-ikutan asal teriak demokrasi, tanpa  memberi penjelasan pada umatnya akan kelemahan atau cacat metode  demokrasi. 
Proses demokrasi harus dijalankan dengan kendali ketat agar rakyat  memilih pemimpin yang memang baik kualitasnya, yang bila menjadi  pemimpin formal dapat menjalankan politik terpuji untuk menyelamatkan  bangsa dan negaranya. 
Satu kewaspadaan lain yang harus dicermati umat Islam Indonesia, karena  sudah pernah dialami oleh umat Islam negara lain dalam mengaplikasikan  pendekatan demokrasi, adalah adanya ancaman pengkhianatan terhadap  proses demokrasi itu sendiri oleh kekuatan internasional yang sok  demokratis namun memiliki agenda lain. 
Contoh kasus di Aljazair misalnya, tidak akan pernah dilupakan oleh umat  Islam Indonesia, yaitu pemilu yang dimenangi gerakan syariah setelah  berpuluh tahun mematuhi ajakan berdemokrasi ternyata habis dalam waktu  sehari oleh korps militer berjiwa demokratis dan memaksakan visi  sosialnya yang antipati serta paranoid terhadap syariah Islam. 
Kalau contoh itu menjadi kenyataan politik universal maka demokrasi  sebenarnya adalah perangkap musuh dalam rekayasa politik untuk  membendung aspirasi umat menegakkan syariah sosial kenegaraannya.  Pasalnya mereka sadar bahwa bila umat Islam berkuasa dan menerapkan  syariah sosial kenegaraan islami maka mereka tidak punya peluang  mengeksploitasi dan menjarah kekayaan Tanah Air milik umat.
Dengan memahami tujuan gerakan syariah dan substansi syariah sosial yang  diperjuangkan itu maka sekarang menjadi jelas bahwa gerakan syariah  adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan sosial masyarakat heterogen.  Perjuangan tersebut bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk  di Indonesia dan pada saat ini. (10)
—  Hj Wuryanti Koentjoro, guru besar Fakultas Ekonomi Unissula Semarang
Opini Suara Merdeka 21 Februari 2011
20 Februari 2011
Berdemokrasi secara Syariah
Thank You!