Terhadap "insiden 13 Agustus 2010" saat petugas kita menangkap nelayan Malaysia yang secara ilegal memasuki perairan Indonesia (versi kita) dan polisi Malaysia menangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia karena secara ilegal memasuki perairan Malaysia (versi mereka), pemerintah Indonesia sudah menyatakan sikap. Pada 1 September 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan pidato resminya.
Banyak tanggapan terhadap pidato Yudhoyono tersebut. Ada yang menyatakan sebagai antiklimaks, lembek, tidak tegas, tidak relevan dengan harapan masyarakat, dan mengecewakan publik. Bahkan ada yang menyindir pidato tersebut sebagai kultum (kuliah tujuh menit) Ramadan. Pada sisi yang lain, banyak pula yang menyatakan pidato tersebut merupakan sikap hati-hati dan bijaksana.
Setiap pidato itu mengandung kelemahan, kiranya pidato presiden kita itu pun demikian pula halnya. Namun di balik kelemahan tersebut ada yang membanggakan karena di dalamnya mengekspresikan suatu ketenangan, rasional, santun, dan tetap berwibawa. Sebuah sikap yang harus kita kedepankan lagi sebagai sebuah bangsa yang besar.
Saling bergantung
Di dalam realitasnya, Malaysia merupakan tetangga terdekat kita; ibarat bangunan rumah, Indonesia dengan Malaysia tidak memiliki jarak lagi terkecuali dinding penyekat. Dari sisi budaya, sejak beratus-ratus tahun yang lalu budaya Indonesia dengan Malaysia paling pendek jaraknya dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Singapura, Thailand, Papua Nugini, Timor Timur, dan apalagi Australia.
Kedekatan fisik dan kultural tersebut mau tidak mau harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh untuk membangun suatu kebersamaan dan persahabatan sejati.
Saling kebergantungan antara Indonesia dengan Malaysia juga sudah berlangsung lama. Presiden Yudhoyono dalam pidatonya menyatakan, saat ini terdapat sekitar dua juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Hal tersebut sama-sama menguntungkan; baik bagi Indonesia, khususnya para tenaga kerja dengan keluarganya, maupun bagi Malaysia, khususnya perusahaan dan korporasi lain yang memerlukan tenaga kerja.
Secara ekonomi, investasi Malaysia di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 projek investasi yang bernilai 1,2 miliar dolar AS, sementara investasi Indonesia di Malaysia bernilai 534 juta dolar AS. Nilai perdagangan kedua negara telah mencapai 11,4 miliar dolar AS pada 2009.
Sementara itu, dari sisi pendidikan, terdapat sekitar 13.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia. Sebaliknya, terdapat sekitar 6.000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia.
Kalau kita telusuri lebih jauh, saling kebergantungan pendidikan antara Indonesia dengan Malaysia sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Pada 1960-an dan 1970-an, Malaysia banyak mengirimkan pemudanya untuk belajar di Indonesia, khususnya di ITB Bandung, IPB Bogor, UGM Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UI Jakarta. Di sisi lain, banyak guru dan dosen Indonesia yang dikirim ke Malaysia untuk membangun pendidikan Malaysia.
Banyaknya pemuda Malaysia yang belajar di Indonesia tentu berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat kita. Banyaknya pemuda Malaysia tersebut memerlukan jasa akomodasi, jasa katering, jasa transportasi, jasa komunikasi, jasa informasi, jasa konsultasi, dan jasa-jasa lain yang harus disediakan oleh masyarakat kita dengan kompensasi finansial yang memadai. Di sisi lain, bekerjanya guru dan dosen Indonesia di Malaysia juga berimplikasi secara ekonomis, setidaknya untuk keluarganya. Kebanyakan guru dan dosen tersebut mengirimkan hasil jerih payahnya secara rutin maupun insidental dalam bentuk uang kepada keluarganya masing-masing. Ketika mereka pulang dari tugas banyak yang bisa membeli motor, mobil dan/atau membangun rumah. Ini merupakan indikasi terdapat peningkatan kesejahteraan keluarga.
Kalau sekarang keadaannya berbalik, jumlah pemuda Indonesia yang belajar di Malaysia lebih tinggi daripada jumlah pemuda Malaysia yang belajar di Indonesia, hal itu menunjukkan tingginya saling kebergantungan Indonesia dengan Malaysia di bidang pendidikan.
Semangat persahabatan
Mengingat trealitas kedekatan fisik dan kultural di satu sisi serta kebergantungan yang tinggi antara Indonesia dengan Malaysia di sisi lain wajar kalau kedua belah pihak harus saling berusaha menjaga keutuhan hubungan. Apabila pidato Presiden Yudhoyono tidak "meledak-ledak" dan tidak emosional kiranya dalam rangka menjaga keutuhan hubungan tersebut.
Sayang kalau hubungan baik Indonesia Malaysia yang sudah terjalin sangat lama harus rusak hanya akibat dari "insiden 13 Agustus 2010" yang relatif kecil dibandingkan dengan kepentingan yang jauh lebih besar.
Kalau kedua belah pihak tidak dapat saling menjaga diri dan hubungan itu menjadi berantakan gara-gara "insiden 13 Agustus 2010" tentu banyak bangsa lain yang akan menertawakan; bahkan akan mengambil keuntungan atas kasus itu. Apalagi masing-masing pihak mengklaim bahwa negaranya sudah bertindak dengan benar. Indonesia mengklaim Malaysia yang salah karena para nelayannya masuk wilayah Indonesia secara ilegal. Sementara Malaysia pun mengklaim Indonesia yang keliru karena menangkap warga Malaysia di wilayah Malaysia.
Dalam situasi seperti sekarang sebaiknya kita berpikir secara jernih supaya tidak tersesat hanya karena tidak bisa mengendalikan diri. Menyelesaikan perkara dengan kepala dingin dan penuh semangat persahabatan merupakan kunci untuk mencapai happy ending.
Sungguh sayang kalau saling kebergantungan Indonesia dengan Malaysia harus berakhir hanya karena arogansi secara sepihak!!!***
Penulis, Direktur Pascasarjana UST Yogyakarta dan pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta.
Opini Pikiran Rakyat 6 September 2010
Opini Pikiran Rakyat 6 September 2010