Niat itu tampaknya dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk meningkatkan kewenangannya guna mengawasi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan bilamana perlu membekukan, bahkan membubarkan, ormas-ormas yang dinilai mengganggu ketertiban umum.
Pada masa lalu UU Ormas digunakan oleh rezim Orde Baru untuk membunuh hak atas kebebasan berserikat. Karena itu, revisi UU Ormas itu haruslah diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan hak-hak fundamental yang berkaitan dengan itu, yakni hak atas kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang berarti ia senantiasa berkehendak untuk hidup berkelompok. Sejak zaman dulu manusia hidup berkelompok guna melindungi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan berkelompok itulah manusia saling mengomunikasikan gagasan dan menyusun aksi bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kepentingan atau kebutuhan bersama melahirkan gagasan untuk melindungi, memperjuangkan pemenuhan kebutuhan bersama melalui wadah organisasi.
Dalam konteks kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial itulah lahir konsep hak atas kebebasan berserikat. Hak atas kebebasan berserikat memampukan tiap-tiap manusia untuk merumuskan, mengekspresikan, dan memperjuangkan hak dan kepentingan bersama dalam berbagai lapangan kehidupan.
Dengan demikian, harus dikatakan hak atas kebebasan berserikat itu merupakan hak yang melekat pada manusia karena harkat, martabat, dan kodratnya. Ia telah lebih dahulu ada daripada negara.
Hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berkumpul, dan hak atas kebebasan berekspresi merupakan tiga kebebasan dasar yang sangat fundamental bagi berlangsungnya sistem politik yang demokratis. Sungguh tidak terbayangkan suatu sistem politik demokratis dapat berjalan tanpa kehadiran tiga kebebasan dasar tersebut. Tanpa adanya kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi, mustahil rakyat dapat menjalankan hak- hak politiknya, antara lain hak untuk turut memilih dan hak untuk serta dalam pemerintahan. Tanpa adanya tiga kebebasan dasar itu, mustahil pula bagi rakyat untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Beberapa dasawarsa yang lalu munculnya rezim pemerintahan Korporatis-Otoritarian di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, selalu diawali dengan memberangus atau menghapuskan tiga kebebasan dasar tersebut serentak atau secara bertahap. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana rezim Korporatis-Otoritarian Orde Baru, melalui UU Pers, UU Parpol dan Golkar, serta UU Organisasi Kemasyarakatan membunuh tiga kebebasan dasar, yakni kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat.
Pada tahun 1999 gerakan reformasi nasional berhasil menumbangkan tembok-tembok hukum otoritarian Orde Baru. Kecuali UU Ormas, berbagai UU politik otoritarian dapat dirobohkan digantikan berbagai UU politik demokratis yang kita nikmati sekarang. Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah dan DPR mengapa UU Ormas karya Orde Baru itu masih dipertahankan.
Padahal, sangat nyata UU Ormas (UU Nomor 8 Tahun 1985) mengandung muatan norma yang sangat antidemokrasi: (1) Pancasila sebagai asas tunggal, yang berarti penolakan terhadap pluralitas kultural (Pasal 2 Ayat 1); (2) Keharusan organisasi kemasyarakatan untuk berhimpun dalam satu wadah pembinaan (wadah tunggal), yang berarti penolakan terhadap pluralitas kelembagaan yang merupakan salah satu pilar demokrasi; (3) Penundukan ormas pada pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah qq Kementerian Dalam Negeri; (4) Kewenangan Pemerintah untuk membekukan dan membubarkan Organisasi Kemasyarakatan.
Sebelum Rancangan Undang-Undang Ormas diundangkan pada tahun 1985, Koalisi Ornop, yakni YLBHI, Walhi, dan Infid, menentang keras dimasukkannya pasal-pasal draconian yang antidemokrasi tersebut. Namun, rezim otoritarian Orde Baru menggagalkan usaha Koalisi Ornop tersebut. Pasal-pasal draconian antidemokrasi terus dipertahankan dalam UU itu.
Lebih jauh lagi, Menteri Dalam Negeri pada saat itu merencanakan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang hendak mensyaratkan pendaftaran sebagai syarat bagi diakuinya keberadaan ormas oleh pemerintah. Mandatory registration itu bisa disalahgunakan oleh penguasa untuk menolak pendaftaran ormas-ormas yang kritis terhadap penguasa, yang dengan demikian pemerintah mempunyai alasan untuk melarang atau membubarkannya.
Karena itu, Koalisi Ornop pada saat itu mendesak Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan rencana mandatory registration tersebut. Koalisi Ornop menyatakan pendaftaran ormas merupakan proses administrasi dalam rangka pelayanan pemerintah kepada ormas, dan bukan syarat yang menentukan eksistensi ormas.
Sekarang ini berkembang wacana yang mendesak pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang diduga acap terlibat dalam tindakan kekerasan dan anarki. Kita semua warga bangsa setuju bahwa kepada para pelaku tindakan kekerasan dan anarki yang jelas mengancam dan merugikan kepentingan umum harus dikenai tindakan hukum yang setimpal. Di situlah tugas aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan keadilan. Tapi mengapa kekerasan dan anarki terus berulang terjadi di berbagai tempat, dan sepertinya polisi tak berdaya untuk mengatasinya? Ada apa dengan para polisi kita? Di mana mereka ketika kekerasan itu terjadi?
Saya rasa terlalu pagi bagi kita berbicara pembekuan dan pembubaran ormas yang diduga terlibat melakukan kekerasan dan anarki tanpa terlebih dahulu kita audit dan evaluasi kinerja polisi, khususnya dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang diduga melibatkan ormas-ormas tersebut.
Revisi UU Ormas semestinya diarahkan, pertama, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang antidemokrasi tersebut di atas; kedua, memperkuat perlindungan tiga kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan berekspresi; ketiga, memperkuat asas due process of law, yang berarti tindakan punitif seperti, membekukan, membubarkan ormas diserahkan kepada pengadilan, dalam hal itu pemerintah melalui Jaksa Agung mengajukan tuntutan pembubaran ke pengadilan dan kepada ormas diberikan hak bela diri; keempat, semua prosedur administrasi ormas, seperti pendaftaran tidak boleh menjadi syarat bagi eksistensi ormas.
Dengan demikian, arah revisi Undang-Undang Ormas sejalan dengan cita-cita Negara Hukum Indonesia.
Opini Kompas 6 September 2010