05 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Akar Penyerangan Kantor Polisi

Akar Penyerangan Kantor Polisi

INSIDEN penyerangan dan perusakan terhadap markas atau kantor polisi setingkat kepolisian sektor atau mapolsek kembali terjadi. Kali ini menimpa Mapolsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Selasa (31/08). Kejadian itu mengundang keprihatinan dalam skala nasional mengingat jatuhnya 7 korban jiwa, 26 warga luka-luka, juga 19 anggota Polri luka-luka (SM, 04/09/10 ).


Insiden serupa terjadi sebelumnya, misalnya penyerangan terhadap Mapolsek Metrokibang Lampung Timur, kemudian pada Februari terhadap Polsek Sekotong, Lombok Barat.

Tercatat pula, penyerangan di Mapolsek Topo, Nabire, Papua (07/06), disusul Polsek Cikeusik, Pandeglang yang diserbu massa, juga Polsek Dempo Selatan, Pagaralam Sumatra Selatan.
Masyarakat mengetahui kasus itu berulang hingga seperti dikatakan anggota Kompolnas Novel Ali, ‘’Insiden itu terjadi karena rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri, juga akibat arogansi kekuasaan sejumlah oknum polisi’’.

Apa yang dikatakan anggota Kompolnas itu tidak keliru, kendati bila ditelisik lebih dalam, permasalahannya tidak sesederhana itu. Ada beberapa aspek yang juga harus dipertimbangkan sebagai argumentasi, mengapa penyerangan terhadap kantor polisi itu sering terjadi, berulang dan berulang, serta memakan korban, baik nyawa maupun harta.

Pertimbangan pertama; aspek motif, seperti kasus pada perusakan Mapolsek Cikeusik, Pandeglang, 27 Mei lalu. Kasus ini diawali operasi sepeda motor bodong oleh polsek setempat. Salah seorang warga tertangkap, namun melarikan diri dan motornya terjatuh. Oleh anggota polsek dia dibawa ke puskesmas. Tapi warga lain mendengar kejadian ini emosi setelah ada hasutan dari warga yang tertangkap razia.

Massa kemudian mencari polisi yang merazia, namun karena tidak bertemu, massa merusak kantor polsek. Hal itu berbeda motifnya pada penyerangan Mapolsek Sekotong Lombok Barat, yang diawali massa mendatangi polsek minta masuk secara paksa ke ruang tahanan karena ingin menghakimi dua tersangka yang ditahan yang perbuatannya dinilai meresahkan masyarakat. Karena wajib melindungi tahanan, petugas jaga polsek berusaha menolak massa itu sehingga terjadilah amuk di kantor polisi.

Dari dua kasus itu bisa dilihat, bahwa motif penyerangan dan perusakan terhadap kantor polsek diawali oleh pemaksaan anggota masyarakat untuk bertindak secara masif tanpa menghormati proses hukum. Dalam konteks euforia massa, seakan-akan dengan bertindak atas nama massa, apapun boleh dilakukan, termasuk pemaksaan kehendak yang berujung pada aksi anarkis.

Tidak Salah

Pertimbangan kedua; aspek doktrinasi bagi aparat polsek untuk mempertahankan kantornya dari penyerangan massa. Kantor polisi merupakan bagian dari simbol negara dan korps yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Doktrin ini tidak salah selama dalam mempertahankan kantor polsek dari massa yang anarkis sudah melalui pentahapan sesuai standar operasional prosedur.

Tahapan tersebut misalnya melalui upaya persuasif, pencegahan, negosiasi sampai pada tindakan tegas terukur. Apabila langkah ini diabaikan oleh massa yang anarkis, lebih-lebih seperti kasus di Mapolsek Sekotong, yakni karena massa ingin menghakimi dua tersangka yang ditahan, wajib hukumnya bagi anggota polisi jaga mempertahankannya.

Mengapa dua aspek ini harus dilihat secara bijak? Pasalnya, bila tidak mempertimbangkan dua aspek ini, akan jadi pereseden buruk ke depan, serta muncul asumsi dan pembenaran sepihak yaitu akan menyerbu polsek dengan motif yang kadang tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak-hak hidup orang lain ataupun penghormatan kepada simbol negara.

Karenanya, tepat langkah Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dalam penanganan kasus di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah: memisahkan menjadi dua, yaitu tewasnya tahanan polisi di ruang tahanan Mapolsek Biau, serta satunya penyerangan terhadap anggota polri dan perusakan Mapolsek Mamumu.
Dengan pemisahan itu, bila diturunkan tim independen atau Komnas HAM sekalipun, harus secara objektif melihat hal ini dari dua aspek tadi agar bisa dipilah dan ditemukan kebenaran materialnya. (10)

— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota 
Wacana Suara Merdeka 6 September 2010