INSIDEN penyerangan dan perusakan terhadap markas atau kantor polisi  setingkat kepolisian sektor atau mapolsek kembali terjadi. Kali ini  menimpa Mapolsek Biau, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Selasa (31/08).  Kejadian itu mengundang keprihatinan dalam skala nasional mengingat  jatuhnya 7 korban jiwa, 26 warga luka-luka, juga 19 anggota Polri  luka-luka (SM, 04/09/10 ).
Insiden serupa terjadi sebelumnya, misalnya penyerangan terhadap  Mapolsek Metrokibang Lampung Timur, kemudian pada Februari terhadap  Polsek Sekotong, Lombok Barat.
Tercatat pula, penyerangan di Mapolsek Topo, Nabire, Papua (07/06),  disusul Polsek Cikeusik, Pandeglang yang diserbu massa, juga Polsek  Dempo Selatan, Pagaralam Sumatra Selatan.
Masyarakat mengetahui kasus itu berulang hingga seperti dikatakan  anggota Kompolnas Novel Ali, ‘’Insiden itu terjadi karena rendahnya  kepercayaan masyarakat terhadap Polri, juga akibat arogansi kekuasaan  sejumlah oknum polisi’’.
Apa yang dikatakan anggota Kompolnas itu tidak keliru, kendati bila  ditelisik lebih dalam, permasalahannya tidak sesederhana itu. Ada  beberapa aspek yang juga harus dipertimbangkan sebagai argumentasi,  mengapa penyerangan terhadap kantor polisi itu sering terjadi, berulang  dan berulang, serta memakan korban, baik nyawa maupun harta.
Pertimbangan pertama; aspek motif, seperti kasus pada perusakan Mapolsek  Cikeusik, Pandeglang, 27 Mei lalu. Kasus ini diawali operasi sepeda  motor bodong oleh polsek setempat. Salah seorang warga tertangkap, namun  melarikan diri dan motornya terjatuh. Oleh anggota polsek dia dibawa ke  puskesmas. Tapi warga lain mendengar kejadian ini emosi setelah ada  hasutan dari warga yang tertangkap razia.
Massa kemudian mencari polisi yang merazia, namun karena tidak bertemu,  massa merusak kantor polsek. Hal itu berbeda motifnya pada penyerangan  Mapolsek Sekotong Lombok Barat, yang diawali massa mendatangi polsek  minta masuk secara paksa ke ruang tahanan karena ingin menghakimi dua  tersangka yang ditahan yang perbuatannya dinilai meresahkan masyarakat.  Karena wajib melindungi tahanan, petugas jaga polsek berusaha menolak  massa itu sehingga terjadilah amuk di kantor polisi.
Dari dua kasus itu bisa dilihat, bahwa motif penyerangan dan perusakan  terhadap kantor polsek diawali oleh pemaksaan anggota masyarakat untuk  bertindak secara masif tanpa menghormati proses hukum. Dalam konteks  euforia massa, seakan-akan dengan bertindak atas nama massa, apapun  boleh dilakukan, termasuk pemaksaan kehendak yang berujung pada aksi  anarkis.
Tidak Salah
Pertimbangan kedua; aspek doktrinasi bagi aparat polsek untuk  mempertahankan kantornya dari penyerangan massa. Kantor polisi merupakan  bagian dari simbol negara dan korps yang harus dipertahankan sampai  titik darah penghabisan. Doktrin ini tidak salah selama dalam  mempertahankan kantor polsek dari massa yang anarkis sudah melalui  pentahapan sesuai standar operasional prosedur. 
Tahapan tersebut misalnya melalui upaya persuasif, pencegahan, negosiasi  sampai pada tindakan tegas terukur. Apabila langkah ini diabaikan oleh  massa yang anarkis, lebih-lebih seperti kasus di Mapolsek Sekotong,  yakni karena massa ingin menghakimi dua tersangka yang ditahan, wajib  hukumnya bagi anggota polisi jaga mempertahankannya.
Mengapa dua aspek ini harus dilihat secara bijak? Pasalnya, bila tidak  mempertimbangkan dua aspek ini, akan jadi pereseden buruk ke depan,  serta muncul asumsi dan pembenaran sepihak yaitu akan menyerbu polsek  dengan motif yang kadang tidak mencerminkan penghormatan terhadap  hak-hak hidup orang lain ataupun penghormatan kepada simbol negara.
Karenanya, tepat langkah Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dalam  penanganan kasus di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah: memisahkan menjadi  dua, yaitu tewasnya tahanan polisi di ruang tahanan Mapolsek Biau, serta  satunya penyerangan terhadap anggota polri dan perusakan Mapolsek  Mamumu.
Dengan pemisahan itu, bila diturunkan tim independen atau Komnas HAM  sekalipun, harus secara objektif melihat hal ini dari dua aspek tadi  agar bisa dipilah dan ditemukan kebenaran materialnya. (10)
— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota 
Wacana Suara Merdeka 6 September 2010