Langkah sejumlah menteri ekonomi meninjau pasar tradisional dan operasi pasar beras di sejumlah daerah tidak mampu meredam kenaikan harga.
Harga beras medium tetap bertahan di level tinggi. Warga tidak tertarik membeli beras operasi pasar Bulog, bukan saja karena harganya mahal, melainkan kualitasnya juga kurang baik. Kenaikan harga tertinggi terjadi pada beras premium yang kini mencapai Rp 6.662 per kg (Kompas, 31/8).
Pemerintah kebingungan menjelaskan penyebab kenaikan harga. Alasan gagal panen akibat perubahan iklim, seperti diklaim Menko Perekonomian Hatta Rajasa, tidak relevan karena terbukti panen dan stok beras melimpah. Menurut Menteri Pertanian Suswono, stok beras saat ini bisa 3.000 ton per hari, bahkan 4.000 ton, jauh dari kondisi normal (2.000 ton per hari). Suswono menuding pedagang berspekulasi untuk menakar kekuatan Bulog. Sebaliknya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu membantah ada spekulasi. Publik dibuat bingung. Mana yang benar?
Pergerakan harga gabah atau beras berfluktuasi mengikuti irama panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Pengalaman selama puluhan tahun menunjukkan, penyerapan beras atau gabah setara beras oleh Bulog sebesar 60% di musim panen raya, 30% di musim gadu, dan 4% saat paceklik. Besaran penyerapan ini mengikuti pola produksi padi: 60-65% dari total produksi padi nasional dihasilkan saat panen raya, 25-30% saat musim gadu, dan sisanya di musim paceklik. Sampai Agustus lalu, Bulog baru menyerap beras 1,4 juta ton dari target 3,2 juta ton (44%). Jika mengikuti irama panen dan produksi di atas, penyerapan beras oleh Bulog ini lebih kecil daripada seharusnya (2 juta ton).
Situasi inilah yang tampaknya dimanfaatkan pedagang untuk menangguk keuntungan berlebih dengan cara menahan stok atau mempermainkan harga. Sinyalemen Menteri Pertanian bahwa pedagang tengah menakar kekuatan Bulog ada benarnya. Apalagi, momentum pedagang untuk melakukan itu amat pas: menjelang Lebaran. Menjelang Lebaran, setinggi apa pun harga beras dipastikan akan dibeli oleh konsumen. Momentum itu kian menemukan pijakan kuat setelah ada peringatan Wakil Sekjen PBB Urusan Krisis Pengamanan Pangan Global David Nabarro, bahwa ada ancaman penurunan produksi beras di enam negara Asia produsen beras, termasuk di Indonesia.
Spekulasi ini amat mungkin dilakukan oleh pedagang kakap beras di Pasar Induk Cipinang (PIC). PIC menjadi barometer pergerakan harga beras nasional. Harga pasar beras antar-ibu kota provinsi (Bandung, Surabaya, Makassar) berkaitan erat dengan harga beras di PIC. Kajian Kementerian Perdagangan (2008) menemukan, ada indikasi harga grosir beras di PIC terbentuk dari keseimbangan harga antara harga beras impor dan beras domestik. Namun, PIC relatif terlindung dari gejolak pasar dunia. Struktur pasar beras di DKI Jakarta cenderung berbentuk oligopoli: pedagang besar berposisi sebagai price taker sehingga bisa memainkan harga di tingkat konsumen dengan menahan stok.
Setelah Lebaran, pasar beras ada kemungkinan masih akan bersifat ”panas”. Peluang ini akan terjadi jika penyerapan beras Bulog tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Masalahnya, secara teoretis, peluang Bulog untuk memperbesar penyerapan beras setelah Lebaran atau pada musim gadu dan paceklik amat sulit dilakukan. Sebab, pada periode itu kualitas beras umumnya lebih baik dan harganya tinggi, lebih tinggi daripada harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 4.500 per kg. Penyerapan beras Bulog yang rendah pada musim panen raya kali ini juga terjadi karena harga beras lebih tinggi daripada HPP. Tanpa kelonggaran bagi Bulog menyerap beras di atas harga HPP, stok beras akan tipis. Akibatnya, pasar akan bersifat ”panas” sehingga mudah menjadi ajang spekulasi.
Agar kejadian semacam ini tidak berulang, harus dilakukan reformulasi kebijakan perberasan. Pertama, ketika harga gabah atau beras di pasaran berada di atas HPP, Bulog harus diberi opsi dan kelonggaran untuk menyerap harga di atas harga HPP. Kebijakan yang kaku akan membuat pasar mudah dipermainkan pedagang. Kedua, kebijakan harga tunggal atau harga beras medium selama 41 tahun harus diubah ke harga multikualitas. Puluhan tahun opsi ini diabaikan.
Ketiga, mengikuti opsi kedua, pengadaan gabah atau beras oleh Bulog juga diarahkan untuk mendorong perbaikan kualitas gabah atau beras dengan mengimplementasikan kebijakan harga multikualitas. Cara ini bisa memecahkan kebuntuan investasi dalam industri penggilingan modern. Pada tahap awal, sepertiga cadangan beras pemerintah bisa diisi oleh beras kualitas premium. Penyerapan beras kualitas medium disesuaikan dengan target penyaluran raskin. Dengan tiga pilihan ini, pasar beras berpeluang sehat dan industri padi atau beras yang mati suri akan hidup lagi.
Opini Kompas 6 September 2010