Menjelang tahun ajaran baru, perguruan tinggi menghadapi pekerjaan besar, yaitu menyelenggarakan masa orientasi mahasiswa baru. Istilahnya macam-macam, mulai dari Pekan Orientasi Mahasiswa Baru, Ta`aruf, dan lain-lain. Namun, istilah yang lazim dikenal publik adalah Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).
Namanya juga proses orientasi, maka Ospek dirancang sebagai program pengenalan kampus, program pembinaan mahasiswa baru dan pengenalan wadah serta aktivitas lembaga kemahasiswaan. Itu teorinya. Kenyataannya, di lapangan, ada saja insiden yang mencederai mahasiswa, bahkan menewaskan mahasiswa baru. Beberapa universitas, sebesar ITB sekalipun, pernah "kecolongan" dengan insiden semacam ini.
Ospek bertujuan membina mahasiswa baru agar mampu mengikuti kehidupan kampus. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Mahasiswa baru sebagian besar merupakan siswa SMA yang baru saja lulus (fresh graduate) Mereka dibesarkan dengan budaya akademik ala SMA, yang kebanyakan "disuapi" oleh materi kurikulum dalam buku-buku paket dan LKS.
Pengenalan budaya akademik kampus bisa dimulai dari regulasi yang berlangsung di kampus. Misalnya, penjelasan mengenai satuan kredit semester (SKS), perencanaan studi, sanksi-sanksi akademis, dan lain-lain. Juga, perlu diperkenalkan siapa yang akan menjadi pengganti wali kelas dalam konteks kampus. Dari sini, mahasiswa baru diajak untuk mencermati tips dan trik belajar efektif, manajemen waktu, dan andai memungkinkan, berikan sekaligus materi tentang membaca buku teks dan menulis paper. Yang disebut terakhir ini ternyata merupakan standar dari Ospek-nya siswa SMA di Singapura!
Pengenalan budaya akademik tidak semata-mata berkenaan dengan permasalahan studi. Akan tetapi merupakan bimbingan awal untuk mengenal kehidupan kampus. Inilah ajangnya lembaga mahasiswa memperkenalkan diri, sekaligus mempromosikan aktivitasnya. Tentu bukan untuk gagah-gagahan, atau ajang eksis semata. Melainkan guna membuka ruang-ruang alternatif bagi mahasiswa baru dalam mengekspresikan dan mengembangkan potensi dirinya secara positif!
Setiap kampus memiliki nilai-nilai tersendiri untuk ditanamkan. Ajang Ospek semestinya digunakan sebagai awal untuk menanamkan dan memperkenalkan budaya khas dari masing-masing kampus.
Jangan lupa, mahasiswa baru akan menghadapi tantangan yang cukup besar dalam kehidupan awal di kampus. Mereka akan berhadapan dengan situasi-situasi yang tidak ditemui di masa SMA. Contoh kecil, menanggalkan budaya berseragam. Pada sebagian besar kampus, mahasiswa berpakaian bebas. "Kebebasan" ini kadang-kadang tidak siap diterima mahasiswa baru. Sehingga, tata cara berbusana pun kerap melanggar budaya kampus.
Ajang eksis atau narsis?
Kepanitiaan Ospek sering jadi masalah, sehingga menghadapkan mahasiswa/lembaga mahasiswa, dengan otoritas kampus pada posisi saling berseberangan. Mengapa demikian?
Dalam dialog dengan rekan-rekan mahasiswa, acap terlontar pernyataan Ospek adalah "pestanya mahasiswa". Oleh karena itu, mahasiswa menuntut agar penyelenggaraan Ospek sepenuhnya diserahkan pada mereka. Ada dua cacat logika dalam pernyataan tersebut. Pertama, pada istilah "pesta" mahasiswa baru. Ospek, punya misi sangat serius, yaitu menyiapkan mahasiswa baru agar mampu beradaptasi dengan budaya akademik yang baru. Logikanya, Ospek tidak bisa dan tidak boleh dianggap sebagai "ajang pesta"--apapun dalihnya. Ospek adalah ajang edukasi.
Kedua, adalah keliru besar kalau dalih "pestanya mahasiswa" lantas dijadikan alasan untuk menyerahkan penyelenggaraan acara seserius ini semata-mata kepada rekan-rekan mahasiswa. Administrasi kampus dan dosen wajib terlibat. Ospek bahkan semestinya berada di bawah kontrol lembaga. Kontrol diperlukan agar Ospek berlangsung dalam koridornya. Ini sekaligus merupakan bentuk pertanggungjawaban kampus pada orangtua mahasiswa baru.
Keterlibatan otoritas kampus, di antaranya dosen, diharapkan dapat memperbaiki citra Ospek yang selama ini terkesan hanya menjadi ajang narsis panitia (mahasiswa). Seolah menjadi tradisi yang tak dapat dihapus, dalam setiap Ospek dari tahun ke tahun, ada saja tugas mengumpulkan tanda tangan panitia. Masih banyak kok alternatif lain di luar cara "jadul" dan tidak kreatif seperti ini.
Tradisi lain yang sering dipermasalahkan berkenaan dengan pelaksanaan tata tertib guna menumbuhkan mental disiplin. Penanaman disiplin sebagai bagian dari budaya kampus itu penting. Namun, citra kekerasan dan militeristik yang acap melekat sebagai konsekuensi penanaman disiplin dan tata tertib dalam Ospek perlu dihapus. Pemberian sanksi mestinya bersifat edukatif, mencerdaskan, bukan justru merendahkan martabat sang pelanggar disiplin. Katakanlah, seperti membuat karya tulis.
Saya bayangkan, alangkah idealnya andai Ospek dilaksanakan sebagai ajang edukasi dalam semangat silaturahmi guna menyambut anggota keluarga baru. Sivitas akademika kampus, bagaimanapun, adalah sebuah keluarga. Betapa indah bila penyelenggaraan Ospek menjadi kerja sama semua pihak dalam kampus, dan dilaksanakan dalam semangat kebersamaan penuh kasih, tanpa dikotori oleh ego yang hanya memunculkan kecurigaan-kecurigaan nan tak beralasan.***
Penulis, Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba.
opini Pikiran Rakyat 31 Agustus 2010
opini Pikiran Rakyat 31 Agustus 2010