30 Agustus 2010

» Home » Suara Merdeka » Ekspansi dan Imaji Superior Malaysia

Ekspansi dan Imaji Superior Malaysia

Dari apa yang dilakukan Malaysia selama ini, sebenarnya tergambarkan karakter bangsa jiran itu: ekspansionis!

HUBUNGAN Indonesia-Malaysia kian menegang. Perkembangan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyurati Perdana Menteri Malaysia. Di Malaysia, reaksi keras juga bermunculan. Menteri Luar Negeri Datuk Seri Anifah Aman menyatakan Malaysia telah kehilangan kesabaran dan mengirimkan surat protes ke Indonesia menyusul demonstrasi yang dipicu oleh masalah maritim, dan kotoran manusia dilemparkan ke Kedutaan Malaysia di Jakarta. Bahkan Anifah mengancam jika memang diharuskan, Malaysia akan mengeluarkan imbauan bagi warganya untuk tidak bepergian ke Indonesia (suaramerdeka.com, 27/08/10). Tetapi bagi Indonesia travel advisory itu bukanlah hal yang merisaukan.


Reaksi ataupun ancaman terhadap Indonesia menunjukkan ketidakpatutan Malaysia. Semestinya yang lebih bereaksi adalah Indonesia mengingat negeri jiran sewenang-wenang menginjak kedaulatan kita. Kasus penangkapan tiga petugas Indonesia hanya bagian dari akumulasi arogansi mereka. Sebelumnya ada kasus tari pendet, Ambalat, sengketa Sipadan-Ligitan. Kemudian, klaim terhadap pulau-pulau di wilayah perairan Sulawesi, dan teraktual adalah klaim Pulau Jemur di Riau yang masuk wilayah Selangor.

Ironisnya aksi klaim itu dilengkapi dengan tindak kekerasan terhadap warga Indonesia di Malaysia. Kasus Manohara mirip sinetron (akhirnya disinetronkan), lalu TKW yang babak belur dihajar majikan, dan baru-baru ini beredar di internet TKI yang dihajar oleh aparat kepolisian di sana. 

Dari apa yang dilakukan Malaysia selama ini, sebenarnya tergambarkan karakter bangsa jiran itu: ekspansionis! Jika menilik sejarah Malaysia, puncak ekspansionis itu terjadi pada 31 Agustus 1963 dengan nama Kerajaan Malaysia, dan perdana menteri pertama dijabat Tengku Abdurrahman.

Kelahiran Kerajaan Malaysia ini dipandang oleh Presiden Soekarno sebagai proyek neokolonialisme ala Inggris. Soekarno menentangnya sampai timbul konfrontasi kedua negara. Semangat konfrontasi itu diwujudkan dengan teriakan, ”Ganyang Malaysia!” Teriakan ini akrab didengar sepanjang 1963-1965, dan terhenti seiring kejatuhan Soekarno. Memasuki awal Orde Baru konfrontasi berakhir dengan ditandatangani pakta perdamaian Indonesia-Malaysia oleh Tun Abdul Razak dan Adam Malik.

Ada beberapa pemicu nafsu ekspansi itu. Pertama, imaji superior. Imaji ini terkait dengan watak neokolonialisme itu. Dalam kajian budaya ada sebuah teori yang disebut poskolonial. Secara sederhana poskolonial ini ingin melihat hubungan hegemonik antara superior dan inferior. Malaysia dijangkiti imaji superior. Ia merasa lebih super. Terlebih setelah krisis moneter pada 1998.

Saat itu, Mahathir Mohammad menolak campur tangan IMF, tetapi Soeharto menerima uluran IMF. Ternyata tanpa IMF Mahathir mampu membawa Malaysia keluar dari krisis, bahkan pertumbuhan ekonominya terus melaju. Sebaliknya Soeharto gagal, uluran IMF tak mampu mengentas Indonesia dari kubangan krismon.
Sebuah Ironi Kasus IMF membuat mereka merasa lebih hebat dari Indonesia, kemudian kian menggila nafsu ekspansi itu. Malaysia yang superior bermaksud menempatkan Indonesia sebagai inferior. Beragam cara ditempuh untuk mewujudkan imaji ini.
Kedua, di balik imaji superior itu, terdapat pula sifat paranoid. Malaysia sesungguhnya takut terhadap Indonesia, mengingat wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak. Apalagi serbuan SDM ke Malaysia kini kian membesar. Kampus di sana banyak memakai tenaga pengajar dari Indonesia, anak-anak jenius banyak belajar di perguruan tinggi Malaysia, dan diperhitungkan juga aliran TKI.  Nafsu ekspansi juga dilampiaskan lewat budaya. Selain klaim sejumlah budaya Indonesia, diam-diam Malaysia mempraktikkan imperialisme budaya. Contoh paling nyata adalah animasi Malaysia yang ditayangkan beberapa televisi, di antaranya ”Ipin dan Upin”.

Mulanya tayangan itu  merupakan dampak dari globalisasi kapitalisme yang memungkinkan produk Malaysia masuk ke Indonesia, tetapi tesis homogenisasi budaya menyatakan globalisasi macam itu menyebabkan hilangnya keragaman budaya. Pengkaji budaya mengingatkan globalisasi kapitalisme bukan sekadar ekspor komoditas melainkan juga terkait nilai, prioritas, dan cara hidup. (Robins, 1991:25). ”Ipin dan Upin” tak luput untuk mengekspor nilai maupun cara hidup Malaysia kepada pemirsa di Indonesia.

Kemudian yang terjadi, peduli amat orang-orang memprotes atau mendemo Malaysia, tetapi ”aku tetap terpesona Ipin dan Upin”. Inilah representasi, ”aku tetap terpesona Malaysia”. Jadinya sebuah ironi, satu sisi bangsa ini ada yang terhina oleh Malaysia, sisi lain masih saja terpesona. (10)

— Toto Suparto, pengkaji etika di Pusat Kajian Agama dan Budaya Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 31 Agustus 2010