Dari 24 jam waktu kita, coba sisihkan 5 menit saja untuk singgah di tempat pembuangan sementara (TPS) lalu saksikan dengan mata kelapa sendiri, ngobrol dengan para pekerja sampah, menyimak nasib keseharian mereka, kemudian coba merenungkannya, niscaya kita akan merasa malu, berasa berutang budi, bahkan merasa bersalah sebab kita tidak pernah berbuat apa-apa untuk mereka.
Mengapa nasib mereka demikian memprihatinkan dan kebanyakan dari kita menganggap tidak ada apa-apa dengan nasib mereka? Mengapa kita begitu "biadab" terhadap nasib mereka? Ketika kita lalai terhadap mereka sementara pada saat yang bersamaan ada ajaran yang mengatakan bahwa "kebersihan sebagian dari iman", sudah barang tentu merekalah (para pekerja sampah) yang paling beriman soal kebersihan. Apa yang sudah kita lakukan untuk mereka? Sudahkan mereka kita tempatkan sebagai para pejuang kebersihan dengan imbalan jasa yang manusiawi dan memberikan mereka fasilitas tunjangan kesehatannya? Pekerja sampah adalah pekerjaan mulia tetapi kita tidak pernah memuliakan mereka? Mengapa? Problem utamanya adalah, sampah itu memang harus diurus dengan baik, tetapi pekerja sampah harus terlebih dahulu diurusi dengan lebih baik.
Potret nasib pekerja sampah di republik ini tak ubahnya seperti sampah itu sendiri. Realitas ini lebih dari sekadar memprihatinkan melainkan sudah sangat ironis. Apakah alokasi pajak yang dipungut dari masyarakat oleh pemerintah tidak memadai untuk memperhatikan nasib mereka? Misalkan agar mereka mendapat upah yang layak, mendapat jaminan kesehatan secara cuma-cuma setiap saat, mendapat asuransi untuk menopang kehidupan mereka, dan seterusnya. Misalkan pula, apakah tidak mungkin ada tenaga medis yang secara berkala datang ke tiap TPS dan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi para pekerja sampah tersebut? Sekali lagi, mengapa pemerintah, dan juga tentu saja kita, lalai terhadap mereka?
Pertama, secara nasional tidak pernah ada kehirauan melalui political will yang sungguh-sungguh untuk memperjuangkan dan melindungi mereka. Negara ini tidak punya regulasi yang menghargai profesi mereka secara beradab.
Kedua, ketika sampah menjadi persoalan maka yang diributkan (di kota manapun di republik ini) adalah ketakutan akan adanya ancaman wabah penyakit yang akan menyerang kita, dan tidak mempersoalkan ancaman berbagai penyakit yang setiap hari dihadapi oleh para pekerja sampah.
Ketiga, pemerintah dan kita sesungguhnya dapat dan bisa berbuat untuk memanusiawikan mereka tetapi karena kita "belum pernah" menjadi pekerja sampah maka kita tidak pernah berempati dan memiliki rasa altruisme terhadap mereka. Bahkan banyak dari kita yang telanjur menganggap "jijik" terhadap jenis pekerjaan ini sebagaimana kita jijik terhadap sampah. Sebuah cara pandang yang terlalu bodoh ketika kita alpa bahwa pekerja sampah juga manusia. Mereka bukan binatang apalagi sampah.
Keempat, tidak usah heran kalau persoalan sampah akan terus menjadi problem serius setiap saat selama pemerintah tidak pernah terlebih dahulu mengurus pekerja sampahnya sebagai manusia, sebab selama ini pemerintah lebih sibuk bagaimana mengurusi sampah (sebagai benda mati) ketimbang mengusrusi mahluk hidup yang bernama pekerja sampah.
Sangat memilukan posisi tawar para pekerja sampah di hadapan siapapun apalagi di hadapan para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, tidak terlalu salah kalau ada tesis yang menyatakan bahwa kualitas martabat pekerja sampah merupakan cermin sebenarnya dari tingkat peradaban para pengambil kebijakan.
Sebetulnya, jika pemerintah mau, artinya jika para pengambil kebijakan yang terkait dengan persoalan itu mau memartabatkan para pekerja sampah, tentu bisa dilakukan. Pemerintah sama sekali tidak memiliki alasan untuk tidak memperhatikan mereka. Aneka hasil kajian bagaimana mengelola sampah sudah sedemikian banyak. Cukup banyak pula pihak, institusi, para ahli, yang memberikan kontribusi pemikirannya untuk mencarikan solusi bagi persoalan yang satu ini.
Memang, produksi sampah di tiap keluarga harus ditekan seminimal mungkin, selain sampah harus dipilah terlebih dahulu; mana yang bisa didaur ulang mana yang tidak, mana organik, mana nonorganik, yang paling mungkin adalah setiap keluarga mengelola sampahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi karena kita cenderung ingin terima jadi, inginnya nyaman dan bersih tetapi tidak mau tahu soal konsekuensi dari semua itu. Salah satu konsekwensi dari "ingin terima bersih dan nyaman" tiada lain adalah mulailah dengan tindakan memanusiakan para pekerja sampah sebagai gerakan sosial, jangan terlampau menunggu pemerintah.***
Penulis, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 31 Agustus 2010
Opini PIkiran Rakyat 31 Agustus 2010