Dua nama tersebut akan diserahkan oleh Presiden kepada DPR untuk dipilih satu di antaranya. Tentu, selayaknya apresiasi ditujukan kepada Panitia Seleksi (Pansel) yang bertugas untuk memilih mereka. Dua yang terpilih, paling tidak, merupakan representasi yang paling pas untuk KPK yang memang sedang dirundung banyak persoalan. Siapa pun yang akan terpilih, akan diterima secara sukacita oleh publik karena dapat menjadi simbol kemenangan bagi gerakan pemberantasan korupsi.
Namun, meski publik mengapresiasi hasil ini, sejumlah anggota DPR malah berkata sebaliknya. Mereka seakan melanggengkan habitus selama ini dalam pola peran DPR dalam melakukan dorongan penegakan hukum antikorupsi, kebiasaan untuk bertindak bersikap diametral dengan akseptasi publik. Hal-hal yang diakseptasi oleh publik selalu ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan akseptasi politik.
Ada dua model perlawanan dan penggembosan atas hasil Pansel. Pertama, munculnya keinginan menolak hasil Pansel dan, kedua, memberikan batasan setahun untuk komisioner KPK yang akan terpilih.
Dalam Pasal 30 Undang-Undang KPK, secara jelas dikatakan, adanya kewajiban bagi DPR untuk memilih calon yang disodorkan pemerintah. Meski Pasal 30 adalah dalam konteks pemilihan lima komisioner secara keseluruhan, mustahil untuk membacanya tanpa mengaitkan dengan keseluruhan pasal yang berkaitan dengan pemilihan komisioner, termasuk Pasal 33 Ayat (2) yang menegaskan bahwa pun ketika ada proses pergantian komisioner, harus tetap mengikuti semua proses pemilihan yang ada di dalam Pasal 29, 30, dan 31.
Secara yuridis, mustahil ada Pasal 33 Ayat (2) itu jika tiba-tiba DPR bisa menegasikan ketentuan imperatif untuk memilih kandidat yang disodorkan Presiden. Karena itu, sesungguhnya hampir tidak ada ”alasan yang benar” bagi DPR untuk menolak. Satu- satunya adalah ”alasan pembenar” dengan dalih kewenangan konstitusional DPR untuk pengawasan politis terhadap kebijakan Presiden, termasuk memilih kandidat komisioner KPK. Seakan-akan mengatakan bahwa atas nama checks and balances dengan Presiden, DPR punya kewenangan menolak apa pun yang disodorkan Presiden meski UU memerintahkan wajib dipilih.
Alasan pembenar ini akan sangat mudah runtuh dengan dua pendekatan. Pertama, DPR tidak dengan mudah menggunakan dalil konstitusi sebagai sandaran karena pada saat yang sama DPR terikat UU yang berlaku. Hal yang tentunya berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang memang bertugas menegakkan konstitusi sehingga bisa keluar dari keterikatan pada UU.
Hal ini bukan menunjukkan tinggi-rendahnya lembaga negara antara MK dan DPR. Akan tetapi, ini bagian wajar dari keniscayaan tugas dan peran setiap lembaga dalam menegakkan hukum. Karena itu, sumpah menjadi hakim MK berbeda dengan menjadi anggota DPR.
Kedua, akan sangat berbahaya jika menggunakan logika menegasikan UU oleh alasan ”pengawasan politis”. Karena jika demikian, Presiden juga bisa bersikukuh telah melaksanakan UU sebagaimana sumpah jabatan Presiden. Sikap penolakan dapat berujung deadlock dan berarti juga mematikan kerja KPK.
Kewenangan menolak biasanya digunakan untuk model pemilihan komisioner lembaga negara yang di-appointee secara politis oleh Presiden dan bukan diseleksi. Sistem negeri ini menggunakan model yang lebih merakyat dengan pelibatan unsur masyarakat dalam Pansel yang dibentuk Presiden. Dan, karena itu, Pansel bukan hanya berdimensi representasi Presiden, melainkan juga menghadirkan representasi amanat rakyat di situ.
Model penggembosan kedua adalah dengan mengatakan komisioner terpilih hanya akan berdurasi setahun. Patut dicurigai, pandangan ini mengemuka karena melihat potensi kedua calon yang akan cukup beringas menegakkan pemberantasan korupsi, termasuk ketika akan berhadap- hadapan dengan DPR. Durasi setahun ini pun layak diperdebatkan. Meski hanya bersifat mengganti, bukan berarti DPR bisa menegasikan UU KPK. Pasal 34 UU KPK menegaskan, masa jabatan semua komisioner empat tahun. Ini seharusnya diterjemahkan sebagai keseluruhan komisioner KPK, termasuk yang bersifat sebagai pengganti.
Apalagi, secara teoretis, Milakovich dan Gordon, sebagaimana dikutip oleh F Funk dan Richard Seamon (2001), mendalilkan lembaga-lembaga negara independen mempunyai beberapa ciri, yang di antaranya adalah kolegialitas kepemimpinan yang berimplikasi pada kesetaraan para komisioner serta durasi masa jabatan yang definitif.