30 Agustus 2010

» Home » Kompas » Negeri Kaya yang "Miskin"

Negeri Kaya yang "Miskin"

Rencana PT PLN mengimpor 9 juta ton batu bara pada 2011 mempertegas bahwa negeri ini dikelola dengan tidak benar, terutama sumber daya alamnya.
Restu Menteri BUMN terhadap rencana PLN menusuk hati rakyat yang jelas-jelas secara filosofis pemilik kekayaan alam negeri ini. Apa pun alasan impor, sulit diterima akal sehat. Kalau toh Dahlan Iskan, orang nomor satu di PLN, tetap mengupayakan impor karena alasan tertentu, pemerintah mesti berjuang menghentikan. Restu Menteri BUMN mengimpor batu bara sama saja menyamakan batu bara dengan komoditas lain. Batu bara harus dipandang sebagai energi, bukan sekadar komoditas dagang.
Keliru sekali keputusan impor batu bara disamakan dengan kebijakan serupa di China dan India. Kedua negara itu punya tingkat kebutuhan batu bara di atas tingkat produksi. Dengan impor dan bahkan memperluas jangkauan melalui investasi tambang batu bara di negara kita, mereka dapat dibilang smart mengelola energi dalam negeri. Sebaliknya, rencana kita impor dari Australia membuktikan salah urus negara ini dalam mengelola energi.


Negara dengan kebijakan energi yang benar pasti mengedepankan batu bara bukan sekadar sumber penerimaan (revenue driver), melainkan juga lebih sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (economic booster). Peningkatan produksi diletakkan lebih untuk kepentingan pasokan energi nasional sebagai sarana pertumbuhan ekonomi. Tanpa ini, mustahil kebijakan pro-growth, pro-job, pro-poor terwujud.
Di samping itu, tingkat produksi seharusnya sama atau mendekati tingkat kebutuhan batu bara nasional. Mari kita lihat negeri kita, dengan kapasitas listrik 30.000 MW dan terseok-seok untuk menambah 10.000 MW. Semestinya kita belajar kepada China yang punya 570.000 MW dan India dengan 137.000 MW.
Masing-masing berencana menambah 500.000 MW dan 140.000 MW sehingga wajar mengimpor batu bara. Tahun 2011 China memproyeksikan mengimpor batu bara 105 juta ton, demikian juga India 78 juta ton. Mereka mengimpor karena alasan kebutuhan batu bara mereka jauh di atas produksi nasional, yaitu 3 miliar ton (China) dan 600 juta ton (India).
Bagaimana dengan Indonesia? Sesuatu yang dapat dikatakan konyol kalau impor batu bara benar terwujud tahun 2011. Produksi tahun depan diproyeksikan 325 juta ton, jauh di atas tingkat kebutuhan nasional sekitar 75 juta ton. Dengan angka ini, sulit memahami penggunaan devisa yang susah payah terbangun untuk kebutuhan impor batu bara yang jelas diakibatkan kesalahan mengurus SDA.
Ketegasan ke depan
Bagi penulis, seorang Dahlan Iskan pasti sosok yang berpikir panjang. Mantan wartawan yang terdidik berpikir tajam, menulis dan bicara dengan fakta. Dengan mengatakan impor, bukan itu tujuannya, tapi lebih rasa ”marah” terhadap Republik yang dia cintai. Dengan perhitungan harga diterima di atas kapal (free on board) ditambah ongkos angkut ke tujuan (freight cost), sebagai Direktur Utama PLN, ia pasti tahu harga cost, insurance and freight (CIF) itu jauh lebih tinggi dibandingkan menggunakan batu bara dalam negeri. Belum lagi kualitas batu bara Australia hanya cocok di sedikit PLTU batu bara milik PLN. Jadi, pernyataan impor harus dibaca sebagai sebuah kritik tajam atau ”marah” kepada pemerintah.
Untuk mengelola batu bara lebih baik, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus tegas kepada pelaku usaha pertambangan batu bara yang tidak memprioritaskan kebutuhan batu bara nasional (domestic market obligation/DMO). Apalagi ada upaya perusahaan menawarkan batu bara ke PLN dengan spesifikasi jauh lebih jelek dari yang mereka ekspor, untuk sekadar mendapatkan surat tolakan agar terhindar dari penalti pemerintah (Kementerian ESDM). Dengan harga batu bara acuan yang dihitung atas dasar tiga indeks Australia dan satu dari Indonesia (Indonesian Coal Index), semestinya menjual batu bara ke PLN tidak jauh berbeda dengan harga ekspor.
Kedua, untuk mengelola DMO, semestinya dibentuk Badan Pelaksana Batu Bara. Dengan badan ini, akan lebih fleksibel masuk ke masalah teknis. Badan ini diharapkan mampu mengawasi dan mengendalikan efektivitas dan efisiensi pertambangan batu bara, khususnya mengoptimalkan manfaat batu bara sebagai energy value.
Ketiga, DMO bukan sekadar regulasi, melainkan sebagai manajemen rantai pasokan (supply chain management). Elemen teknik dan infrastruktur ada di dalamnya. Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur seperti coal blending terminal untuk mendukung pengelolaan DMO. Akhirnya, pengelolaan sumber daya energi (batu bara) yang benar bukan dibangun untuk sekadar kepentingan sebuah korporasi, bukan pula untuk satu generasi, melainkan untuk beberapa generasi kedepan. Ujungnya satu, terbangun kesejahteraan rakyat.
Singgih WidaGdo Direktur Indonesian Coal Society
Opini Kompas 31 Agustus 2010