30 Agustus 2010

» Home » Republika » Alienasi Negara Islam dalam Industri Vaksin

Alienasi Negara Islam dalam Industri Vaksin

Kiky Amalia Indria F             
Media Relations 6th Annual Meeting IDB-SRVP


Bandung baru saja menjadi tuan rumah dalam pertemuan tahunan ke-VI negara-negara anggota Islamic Development Bank Self Reliance in Vaccine Production (IDB-SRVP) 6-9 Agustus lalu. Banyak hal yang dapat dipetik dari pertemuan yang diikuti oleh 12 negara anggota IDB tersebut.

Adalah sebuah fakta negara Islam masih teralienasi dari industri vaksin dunia. Sekalipun negara Islam telah memiliki kemampuan dalam memproduksi vaksin.

Tak semua vaksin yang diproduksi negara Islam anggota IDB ini mampu bersaing dalam memenuhi kebutuhan vaksin dunia. Dominasi industri vaksin negara Barat masih terlihat sehingga mengesankan teralienasinya negara Islam dari industri vaksin dunia.

Dalam posisi teralienasi saja, banyak negara Islam yang mampu memproduksi vaksin. Tercatat 23 negara Islam anggota IDB yang memiliki industri vaksin.

Ambil contoh Indonesia yang mempunyai Bio Farma, kemudian Iran dengan Pasteur Institute of Iran. Tak ketinggalan negara Islam lainnya, seperti Tunisia  Pasteur Institute of Tunisia, Vacsera (Mesir), Nine Bio (Malaysia), Razi Vaccine & Serum Research Institute (Iran), Lanavet (Senegal), dan NIH (National Institute of Health) Pakistan.

Lantas mengapa negara Islam masih belum mampu berdiri sejajar dengan negara Barat dalam industri vaksin? Pertanyaan tersebut terjawab dalam pertemuan tahunan ke-VI IDB-SRVP di Bandung.  

Ternyata tidak semua industri vaksin di negara Islam anggota IDB yang telah mengantongi pra kualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sampai sejauh ini, baru industri vaksin Bio Farma Indonesia saja yang telah memperoleh pra kualifikasi WHO. 

Padahal pra kualifikasi WHO menjadi syarat mutlak supaya produk vaksin dapat dipergunakan di dunia. Pra kualifikasi diperlukan supaya WHO sebagai otoritas kesehatan tertinggi di dunia dapat terus memonitor dan mengevaluasi produk vaksin yang beredar. 

Komitmen Bandung 

Kendati mayoritas negara Islam anggota IDB dinyatakan belum memenuhi pra kualifikasi WHO, bukan berarti tidak ada upaya dari negara-negara tersebut untuk memproduksi vaksin. Pertemuan di Bandung merupakan langkah bagi negara Islam untuk sama-sama mencari solusi mendobrak alienasi dalam industri vaksin dunia. 

Muncul komitmen bersama yang disebut Komitmen Bandung untuk saling mendukung supaya industri vaksin di negara Islam memperoleh pengakuan dari WHO. 

Toh selama ini produk vaksin industri itu telah dipergunakan untuk kebutuhan lokal di masing-masing negara Islam. Penyebabnya semata hanyalah faktor perbedaan standar penilaian antara penilai WHO dan masing-masing negara Islam semata, yang menjadi faktor sulitnya industri vaksin di negara Islam lulus pra kualifikasi WHO.

Tanpa adanya pra kualifikasi WHO, memang produksi vaksin negara Islam tidak mampu berkompetisi di pasar vaksin dunia. Dampaknya pasar vaksin dunia didominasi oleh produk vaksin dari negara maju.

Memang masih ada Bio Farma yang mampu menembus dominasi industri vaksin negara maju. Bahkan, produk vaksin Bio Farma, seperti vaksin polio telah diekspor ke  lebih dari 120 negara.

Namun, hal itu belumlah cukup. Tujuan utama dari pertemuan tahunan IDB-SRVP ini adalah menciptakan sebuah kemandirian di negara-negara Islam dalam industri vaksin.

Indonesia sebagai model

Indonesia patut berbangga karena menjadi satu-satunya negara Islam yang industri vaksinnya telah memperoleh pra kualifikasi WHO. Ada sejumlah vaksin produksi Bio Farma yang lulus pra kualifikasi WHO.

Dimulai dengan tahun 1997 berupa vaksin polio dan campak. Setelah itu, tahun 2001 WHO mengakui produk vaksin difteri, tetanus, dan pertusis.
Kemudian, tahun 2003 vaksin tetanus uniject yang lulus pra kualifikasi WHO. Dan secara berturut-turut tahun 2004 vaksin hepatitis uniject, tahun 2006 vaksin DTP-HB dan campak, tahun 2009 untuk mOPV tipe 1, dan terakhir tahun 2010 yang terbaru untuk bOPV tipe 1.3.

Kapabilitas itulah yang membuat Indonesia, melalui Bio Farma, ditunjuk sebagai model bagi perkembangan industri vaksin di negara Islam lainnya. Dalam 10 butir Komitmen Bandung yang dihasilkan dalam pertemuan, Indonesia ditugaskan sebagai pengawas dalam pengembangan riset industri vaksin di negara Islam anggota IDB.

Tak hanya berhenti di situ, dengan teknologi yang dimiliki dan boleh dibilang sejajar dengan teknologi industri vaksin negara maju, Indonesia ditunjuk sebagai rujukan. Bahkan, kemampuan teknologi industri vaksin Indonesia itu memperoleh pujian dari Iran.

Direktur Utama Bio Farma, Iskandar, mengisyaratkan kesiapannya untuk menjalin kerja sama demi kemajuan industri vaksin di negara Islam lainnya. BUMN yang berpusat di Bandung ini bahkan membuka diri bagi industri vaksin negara Islam lainnya untuk mengembangkan produksi dengan teknologi yang lebih baik.

Tak hanya dari sisi teknologi, dalam hal riset vaksin, Indonesia telah melakukan dengan sistem yang selangkah lebih di depan. Riset tak hanya dilakukan oleh Bio Farma, tapi juga didukung oleh sejumlah PTN ternama di Indonesia, seperti UI, Universitas Airlangga, serta Universitas Gajah Mada.

Keunggulan dari sisi teknologi dan riset ini menjadikan Indonesia patut menjadi contoh dalam pengembangan industri vaksin menuju kemandirian vaksin di negara Islam.  Bagi Indonesia, kemajuan industri vaksin di negara Islam lainnya di masa mendatang tak dianggap sebagai pesaing baru.   

Kerja sama antarnegara Islam menjadi kunci penting membawa industri vaksin di negara Islam menuju babak baru. Kemandirian industri vaksin tak hanya semata dalam bentuk kemampuan memenuhi kebutuhan vaksin di setiap negara Islam. 

Kesungguhan negara Islam dalam mewujudkan Komitmen Bandung itu perlu ditunggu bersama-sama pada Pertemuan Tahunan Ke-7 IDB-SRVP yang rencananya digelar di Mali pada 2011. 

SRVP merupakan program yang dibentuk oleh IDB. Program itu bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di negara-negara Islam dengan mendorong pembangunan kesehatan, pendidikan, dan lingkungan yang bekelanjutan.

SRVP didirikan pada saat Konferensi OKI ke-8 di Teheran, Iran pada Desember 1997. SRVP secara harfiah dapat diartikan sebagai sebuah kepercayaan diri negara-negara Islam dalam hal memproduksi vaksin.

Inti dari penyelenggaraan program SRVP ini untuk mengembangkan produksi vaksin, mengingat vaksin merupakan salah satu instrumen penting dalam pembangunan generasi bangsa yang sehat dan kuat bagi suatu negara. Oleh karena itu, kerja sama antarnegara Islam menjadi kunci penting membawa industri vaksin di negara Islam menuju babak baru. Kemandirian industri vaksin tak hanya semata dalam bentuk kemampuan memenuhi kebutuhan vaksin di setiap negara Islam.
OPini Republika 30 Agustus 2010

\