Iwan Gunadi
Peminat sosial budaya
Dari berbagai kasus yang diberitakan media massa secara luas belakangan ini, seperti pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda S. Goeltom, pembunuhan Nazrudin Zulkarnaen, pembeberan rekaman pembicaraan via telepon antara Anggodo Widjojo dan sejumlah orang di Mahkamah Konstitusi, bailout Bank Century, serta perseteruan Komjen Susno Duadji dan sejumlah petinggi Polri yang berbuntut dijadikannya sejumlah orang sebagai tersangka penggelapan pajak, termasuk Gayus Tambunan, kita dapat membaca atau menyaksikan bagaimana tak mudahnya setiap orang mengakui kesalahan.
Jangankan mengakui bahwa tindakannya salah, mengakui bahwa dirinya telah berkata salah pun tetap tak mudah. Makin tak mudah lagi mengakui kesalahan jika ada jabatan penting dan nama lembaga yang menempel pada identitas orang tersebut. Yang lebih mudah adalah mengatakan lupa. Bahkan, ada yang tegas-tegas menyatakan terkena penyakit lupa berat. Itu tentu cara berkelit yang tak cerdas, tapi mudah ditempuh.
Publik tak sulit menyimpulkan seseorang atau sejumlah orang telah berbuat salah, tapi seseorang atau sejumlah orang itu tetap saja tak mengaku salah. Meski banyak pejabat pemerintah atau lembaga negara telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi atau bahkan telah ditetapkan sebagai terpidana oleh keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, mereka semua tetap tak mengaku bersalah.
Mengakui kesalahan memang pekerjaan paling sulit dan berat. Kesulitan tersebut bisa menghinggapi dua pihak. Satu, individu yang telah melakukan kesalahan. Dua, sistem yang akan menindaklanjuti pengakuan bersalah jika sistem tersebut hanya bersandar pada hukum positif.
Secara individual, pengakuan bersalah menjadi terasa berat lantaran kesalahan itu mungkin sudah begitu banyak. Coba kita bayangkan. Bila dalam sehari saja kita berbuat salah satu kali, sepanjang usia dewasa kita, berapa kesalahan telah kita tumpuk? Dengan tumpukan kesalahan yang demikian tinggi, masih adakah kemampuan melihat atau mencicipi kebenaran? Jangan-jangan, celah untuk mengintip kebenaran pun sudah tertutup.
Rasa berat itu makin terasa menekan dada manakala tahu bahwa yang berbuat salah bukan seorang dua orang, melainkan banyak. Tapi tidak ada jaminan bahwa sebagian dari kita akan mengakui kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Apalagi bila semua dari kita, hal itu menjadi sesuatu yang mustahil. Maklum, ini memang bukan neraka yang mampu memaksa manusia mengakui setiap kesalahannya--apalagi kalau kita tak percaya akan keberadaan neraka. Akhirnya, boleh jadi, pengakuan bersalah hanya menjadi kerja individual, meski pengakuan individual berpotensi melahirkan pengakuan massal.
Pesimisme tersebut muncul lantaran selama ini kita dibuat tak biasa mengakui kesalahan. Kalau kita memakai terminologi Eric Berne, pakar psikiatri dari Amerika, selama itu, instansi P (parent) dalam diri kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pengakuan berbuat salah cenderung hanya dipandang sebagai sesuatu yang merugikan. Selain merugikan secara material, juga merugikan secara moral atau mental. Maklum, kesalahan sendiri dipandang sebagai sesuatu yang merendahkan. Tak heran bila, misalnya, pemimpin, guru, dan orang tua tak jarang berusaha membebaskan diri dari kesalahan. Kalau kesalahan datang, mereka berusaha mengalihkannya ke bawahan, murid, atau anak.
Kalau saja selama ini kita tidak dibuat menjadi manusia yang tak biasa mengakui kesalahan, kita akan tetap melihat diri kita, manusia Indonesia, sebagai manusia yang berani mengakui kesalahan. Itu bisa terjadi lantaran konon hakikatnya manusia Indonesia adalah religius. Setiap manusia religius menyadari bahwa manusia tak pernah bebas dari kesalahan. Konsep "manusia agung" hanya ada dalam teori Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman, salah seorang perintis filsafat eksistensialisme.
Kalau manusia bebas dari kesalahan, dia telah menyalahi kodratnya. Dia mungkin akan menjadi seperti malaikat. Dia tetap menjadi manusia bila kesalahan masih melekat pada dirinya. Manusiawinya seorang manusia salah satunya memang masih ditentukan adanya faktor kesalahan tersebut, meski tentu dengan takaran yang tidak berlebihan. Sebab, kalau berlebihan, banyak orang akan meragukan pula kemanusiawiannya. Jangan-jangan, dia adalah "setan". Manusia dapat berkembang, tulis Karl Theodor Jaspers, filsuf Jerman lain yang eksistensialis, justru lantaran mampu melalui pengalaman situasi batas yang berupa kesalahan. Akhirnya, faktor kesalahan memosisikan manusia dalam tarik-menarik antara menjadi "setan" dan "malaikat".
Pengakuan bersalah menjadi makin terasa berat lagi bila pengakuan tersebut bisa melahirkan sanksi hukum. Makin berat sanksi hukumnya, makin takut seseorang untuk mengaku bersalah. Buat apa mengaku salah kalau akhirnya masuk penjara? Tak salah kalau orang berpikir demikian.
Nah, dalam kondisi seperti itu, persepsi tentang kesalahan memang harus diubah atau dikembalikan ke "khitah", yakni bahwa kesalahan bersifat kodratiah. Begitu pula dengan persepsi tentang pengakuan. Pengakuan mungkin mengantarkan seseorang menelan pil yang begitu pahit. Tapi, harus diyakinkan bahwa itulah pil pahit terakhir yang akan dia telan. Menelan pil pahit semacam itu tentu butuh keberanian luar biasa. Dan, hanya orang-orang yang istimewalah yang mampu berbuat luar biasa. Apresiasi semacam ini tentu sangat dibutuhkan dalam kondisi tersebut.
Upaya-upaya mengubah kedua persepsi tersebut tentu tak dapat dilakukan sembarang orang atau institusi. Sebab, kalau dilakukan orang atau institusi yang salah, boleh jadi, upaya-upaya tersebut hanya akan menjadi slogan kosong. Atau, lebih parah dari itu, yakni menjadi bumerang. Misalnya, bila upaya-upaya tersebut ditempuh orang atau institusi yang selama ini banyak menumpuk kesalahan atau mendorong terjadinya tumpukan kesalahan. Atau, oleh orang atau institusi yang banyak menumpuk kesalahan atau mendorong terbentuknya tumpukan kesalahan, tapi ketika musim berganti, mereka kemudian bersalin rupa.
Jadi, siapa yang harus mengupayakannya? Ya orang atau institusi yang selama ini berjuang tampa pamrih. Ini bisa dilakukan mahasiswa atau tokoh agama, kalangan akademisi, dan cendekiawan yang selama ini mampu mengambil jarak yang imbang di antara para penumpuk kesalahan dan para penghujat mereka. Kalau mereka juga telah menjadi penumpuk kesalahan, gimana? Jangan-jangan, kita semua telah menjadi penumpuk kesalahan? Kalau tak ada lagi pengais kebenaran, kepada siapa kita pantas mengakui kesalahan? Jangan-jangan pula, Tuhan pun sudah bosan menerima pengakuan kesalahan kita. n
opini lampung post 08 mei 2010