07 Mei 2010

» Home » Kompas » Menyoal Moral dalam Politik

Menyoal Moral dalam Politik

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, memperkenalkan gagasan yang penuh kontroversi.

Walaupun masih berupa gagasan awal, Kementerian Dalam Negeri berkeyakinan, perlu ada pasal khusus yang menyebutkan pentingnya para calon kepala daerah itu bebas dari ”perbuatan moral tercela”.
Reaksi keras segera berdatangan mengecam pikiran aneh itu. Sebaliknya, di beberapa tempat, dukungan terhadap gagasan itu juga berkumandang.
Secara tersirat, gagasan itu muncul sebagai reaksi terhadap munculnya sejumlah kandidat dalam pilkada di beberapa daerah yang diduga ”bermasalah secara moral”. Kecemasan para pengusung gagasan ini adalah kandidat yang bermasalah secara moral itu berhasil memenangi pilkada.
Ihwal yang diperkarakan pada pokoknya bersumber pada pertanyaan moral yang sangat klasik, yaitu apakah mereka yang, misalnya, pernah terlibat dalam skandal asmara masih memiliki hak moral untuk menjadi pemimpin? Dalam konteks yang hampir serupa juga muncul pertanyaan, apakah mereka yang pernah tertangkap tangan terlibat dalam perjudian itu pantas mencalonkan diri dalam pilkada? Atau, apakah seorang bekas pengguna narkoba pantas menjadi seorang wali kota?


Prasyarat mutlak
Integritas moral adalah prasyarat mutlak yang harus diperhatikan dalam memilih pemimpin. Saya akur dengan pikiran itu, tetapi ketika percakapan tentang perkara itu diambil oleh sebuah rezim yang berlindung di balik otoritas negara (baca: undang-undang) sebagai hakim yang membuat penilaian dan keputusan, publik harus berkeberatan.
Saya menolak gagasan bahwa negara dapat dan atau boleh masuk ke wilayah otonom yang sesungguhnya merupakan bagian dari masyarakat.
Oleh karena itu, tidak boleh ada sebuah pikiran sekecil apa pun untuk ”menegarakan” wilayah otonom masyarakat itu. Dengan menggunakan jargon ”demi kemaslahatan publik” atau ”demi tegaknya moralitas masyarakat” sekalipun, tidak boleh kita biarkan sebuah rezim merenggutnya dari kita dan membawanya ke dalam wilayah negara.
Memang, selalu ada kontestasi di antara dua wibawa dan atau yurisdiksi itu. Walaupun begitu, aturan dasar tentang pembagian dua wilayah pengaruh itu cukup jelas. Negara mengurus wilayah publik dengan sokongan konstitusi. Produknya adalah sesuatu yang mengikat, seperti undang-undang, regulasi, atau kebijakan.
Sebaliknya, masyarakat berurusan dengan wilayah privat dan inter-privat: mulai dari urusan cinta dan membangun rumah tangga hingga pendidikan anak-anak dan adat perkawinan. Juga, soal apa yang dianggap baik atau buruk, pantas atau seronok, patut atau tercela. Melalui nilai-nilai, etika, dan moral serta norma-norma sosial lainnya, masyarakat memelihara kohesi sosial di antara para warganya.
Seperti juga warga negara lain di republik ini, saya senang dan setuju bila para pemimpin di negeri ini memiliki integritas moral yang kuat. Namun, pertama-tama bukan pada soal-soal yang bersifat pribadi, tetapi pada soal-soal yang beranah publik.
Untuk saya, seorang politikus pertama-tama haruslah memiliki ikatan moral yang kuat pada ihwal publik, seperti memastikan bahwa ia tidak pernah menyalahgunakan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadinya, dalam semua bentuknya, tidak hanya memperkaya diri dan atau keluarganya. Atau, sebagai misal yang lain, ia tidak pernah terlibat, langsung ataupun tidak, dalam merayakan gagasan antidemokrasi, anti-pluralisme. Atau, sebagai misal lainnya lagi, ia tidak pernah melecehkan gagasan tentang persamaan gender. Untuk saya, ini semua adalah soal moral yang lebih fundamental daripada, misalnya, apakah seorang kandidat pernah terlibat perjudian atau narkoba, apalagi hanya ketika di masa mudanya.
Terlibat dalam perjudian atau narkoba adalah soal hukum. Itu perilaku buruk, memang. Tidak pantas ditiru. Itu jelas dan memiliki sanksi pidana yang dapat berimplikasi pada pencalonan seorang kandidat. Namun, meremehkan muatan moral yang lebih fundamental dan menggantikannya dengan soal-soal yang lebih instrumental, seperti gosip tentang kehidupan pribadi seorang kandidat, menurut saya, itu adalah awal bencana dari semua masalah moral.
Perkara moral
Saya pikir, semua pemilih tahu apa yang terbaik untuk mereka. Mereka juga ingin memastikan bahwa pemimpin yang mereka pilih adalah yang terbaik dari yang mungkin. Meremehkan bahwa rakyat memiliki kapasitas untuk menimbang, menurut saya adalah perkara moral yang sangat besar. Merenggut kebajikan itu dari tangan pemilih untuk diserahkan kepada KPU, misalnya, adalah soal moral yang lebih besar lagi.
Biarlah pemilih yang menentukan apa yang terbaik untuk mereka. Termasuk dengan risiko bahwa keputusan itu salah. Demokrasi adalah sebuah proses. Ada pematangan, ada pembelajaran.
Di atas semua itu, demokrasi juga menyediakan koreksi dan kontrol. Semua itu adalah esensi paling penting dalam demokrasi, yaitu pelibatan rakyat dalam pembuatan keputusan publik. Mari kita jaga roh itu. Jangan biarkan seseorang, untuk dan atas nama moral sekalipun, merampasnya dari kita. Ini adalah soal pokok hidup kita karena sesungguhnya apa yang bernilai moral selalu datang dari kita, bukan dari negara.
Nurul Arifin Anggota Komisi II DPR

Opini Kompas 8 Mei 2010