Ada beberapa hal yang layak dicermati ketika parpol menghadirkan para perempuan bakal calon bupati/wakil bupati yang notabene dinilai cukup seksi, populer, dan cantik. Pertama, alasan pragmatisme partai politik, yakni bagaimana partai politik mencari kekuasaan (office seeking) dalam pemilu melalui instrumen perempuan. Kedua, pada setiap pemilu selalu menghasilkan industrialisasi demokrasi, yang akhirnya melahirkan defisit demokrasi itu sendiri. Ketiga, desakralisasi politik ketika pilkada sangat aksesibel bagi semua lapisan masyarakat, baik dilihat dari profesi maupun jender. Keempat, implikasi bagi eksistensi perempuan dalam politik.
Politik—yang semula dianggap begitu elitis bagi kebanyakan masyarakat karena hanya bisa diakses oleh mereka yang biasa memegang kekuasaan (birokrasi) atau politisi—kini telah berubah menjadi kekuasaan yang aksesibel bagi semua lapisan masyarakat.
Perempuan yang selama ini menjadi kelompok yang termarjinalkan dalam politik kini menjadi asertif terhadap kekuasaan sejak adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Kemunculan banyak perempuan dalam proses pencalonan di pilkada dapat dimaknai bahwa politik tidak lagi sebagai sebuah wilayah yang hanya layak dan cocok untuk dihuni pria dan dimonopoli oleh sejumlah politisi.
Politik yang selama ini disakralkan sebagai wilayah yang membutuhkan keberanian, agresivitas, penaklukan, kompetisi, dan selalu direlasikan dengan pria telah mengalami perubahan pemahaman dan pemaknaan di sebagian masyarakat. Pandangan yang bias jender dalam memaknai politik mulai berkurang di sebagian masyarakat karena politik bisa diakses oleh jenis kelamin apa pun.
Ketika parpol sekadar diartikan sebagai kelompok warga yang otonom yang memiliki tujuan membuat nominasi dan berkontestasi dalam pemilu dengan harapan mengontrol kekuasaan melalui perolehan jabatan publik dan di organisasi pemerintahan, orientasi parpol sekadar sebagai pencarian kekuasaan bagi elite-elite partainya daripada memaknai fungsi parpol sebagai arena menghasilkan kepemimpinan yang kapabel, kredibel, dan akuntabel.
Kalau orientasinya pada pencarian jabatan atau kekuasaan, instrumen pemenangan menjadi sangat penting tanpa perlu mempertimbangkan kebergunaan instrumen tersebut bagi warga negara, tak terkecuali parpol pun menyasar ke tubuh perempuan. Fenomena pencalonan artis dalam pilkada memperlihatkan bagaimana partai politik mengeksploitasi penggunaan instru-
Manipulasi seksualitas perempuan oleh partai politik menjadi sangat biasa demi memperoleh kemenangan dalam pilkada, bahkan secara tidak disadari terjadi proses pelanggengan ideologi patriarki di lembaga politik.
Di samping itu, manipulasi seksualitas pada satu sisi mencerminkan maskulinitas lembaga politik dengan menjadikan ”tubuh perempuan” sebagai obyek bulan-bulanan bagi kaum maskulinis (elite parpol) dan pada sisi lain perempuan kandidat sendiri terseret masuk ke dalam mindset bias jender yang dibangun kaum maskulinis. Maskulinitas lembaga politik begitu melekat, meresap, dan bahkan diterima sebagai sesuatu yang benar (taken for granted) dan tak perlu diperdebatkan (undebatable) serta masih menjadi karakter utama dari partai politik.
Perdebatan tentang demokrasi prosedural versus demokrasi substantif dalam pilkada selalu terjadi. Pada demokrasi prosedural, semua warga negara berhak ikut dalam proses kandidasi dalam setiap pilkada sepanjang yang bersangkutan bisa memenuhi menghasilkan demokrasi substantif.
Pilkada semestinya mencerminkan perwujudan dari demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Sebagai perwujudan demokrasi prosedural, pilkada lebih sebagai realisasi atas regulasi. Adapun sebagai perwujudan demokrasi substantif, pilkada semestinya menghasilkan kepemimpinan yang akuntabel dan melahirkan partisipasi politik warga negara.
Realitas yang dihadapi saat ini telah terjadi industrialisasi demokrasi karena politik tidak lagi bermakna sebagai yang melahirkan partisipasi politik warga sipil, tetapi demokrasi lebih dilihat sekadar sebagai instrumen pencapaian kekuasaan. Artinya, bahwa secara struktural pemilu sekadar ekspresi kontestasi parpol yang dilegitimasi lewat berbagai undang-undang pemilu.
Akan tetapi, secara kultural, budaya dan perilaku politik dari para elite yang sangat pragmatis karena lebih berorientasi pada pencarian kekuasaan telah mereduksi kualitas demokrasi atau yang disebut defisit demokrasi. Di samping itu, secara ideologis, pilkada yang mengambil kandidat dari luar kader partai sering tidak memiliki komitmen dan tidak terintegrasi dengan platform partai politik. Ketiadaan kandidat dari dalam partai mengisyaratkan rendahnya kaderisasi parpol dalam melahirkan kepemimpinan yang andal.
Ketika ”keseksian tubuh perempuan” yang menjadi alasan dalam proses kandidasi oleh partai politik memiliki implikasi yang agak berbahaya. Bagi pemilih yang memang mengagumi akan tampilan fisik kandidat, instrumen eksploitasi seksualitas perempuan akan menjadi daya magnet untuk pengumpulan suara bagi parpol.
Namun, bagi pemilih yang selalu menggunakan dalil moralitas, kehadiran keseksian tubuh dari calon perempuan akan menjadi sumber umpatan, hujatan bagi pemilih yang bahkan semakin memunculkan antipati terhadap kahadiran perempuan yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi perempuan dalam politik. Implikasinya role model politisi perempuan yang kapabel, akuntabel, dan kredibel yang ada menjadi tereduksi dengan politisasi seksualitas perempuan.
Pilkada sebagai bagian dari wahana pendidikan politik warga lokal semestinya menjadi pencerahan bagi pemilih untuk mengenali track record dan kapabilitas calon dalam menentukan pilihan. Menjadi pemilih yang cerdas (smart voters) adalah bagian penting dalam membangun demokrasi yang substantif.
Opini Kompas 8 Mei 2010