Oleh Asep S. Muhtadi
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Tingkat Provinsi Jawa Barat kembali digelar. Jika dihitung sejak pertama kali diadakan, hingga saat ini, MTQ telah melewati perjalanan usianya yang amat panjang. Mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga nasional dan bahkan internasi- onal. Puluhan qari dan qariah dengan kualifikasi nasional atau bahkan internasional pun telah lahir dari provinsi ini. Layak untuk dibanggakan. Terlepas dari masih adanya kontroversi di seputar penyelenggaraan perhelatan budaya yang mengedepankan Kitab Suci Alquran ini.
Jika direfleksikan dalam takaran pribumisasi Alquran, ada hal menarik dari pelaksanaan MTQ ini, terutama berkaitan dengan ikhtiar memasyarakatkan nilai-nilai ajaran seperti terkandung dalam Alquran. Lalu bagaimana MTQ dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan masyarakat qurani?
Upaya mewujudkan masyarakat qurani, tentu saja bukan merupakan upaya baru dalam sejarah Islam. Di Indonesia, upaya mempribumikan nilai-nilai Alquran telah dilakukan sejak pertama kali Islam menginjakan kakinya di Nusantara, khususnya melalui pengenalan baca-tulis Alquran sampai pada ikhtiar dakwah para penyebar agama penyempurna ini untuk mewujudkan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya, sekaligus mentradisikan setiap pesan ayat dalam tatanan perilaku para pemeluknya.
Pesan-pesan Alquran dikemas dalam nuansa kebudayaan lokal yang menjadi pakaian masyarakat sehari-hari. Bahasanya disederhanakan sesuai dengan tingkat pemikiran para pemeluknya yang memang baru saja mengenal ajaran Alquran. Sehingga tidak jarang para penyebar Islam periode pertama di nusantara ini melakukan islamisasi masyarakat melalui bahasa kebudayaan yang dianutnya. Tradisi pewayangan, misalnya, digunakan sebagai salah satu saluran persuasif dalam memasukkan pesan-pesan Alquran, sehingga Alquran dapat dengan mudah memasuki setiap ruang kehidupan para pemeluknya.
Sejarah itu sebetulnya masih berlangsung hingga saat ini. Berbagai agenda dilakukan untuk menyosialisasikan Alquran. Melalui lembaga-lembaga pendidikan Alquran, ditemukan berbagai metode dalam usaha memperkenalkan Alquran, khususnya lewat pembekalan kemampuan baca-tulis Alquran. Metode-metode itu diperkirakan akan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya. Upaya memasyarakatkan nilai-nilai Alquran juga terus dilakukan sejalan dengan kecenderungan masyarakat.
Mungkin tidak pernah terbayangkan pada sekitar dua puluh tahun yang lalu kalau saat ini Alquran telah menjadi barang yang sangat akrab dengan teknologi komputer. Kitab Fath al-Rahman yang selama ini digunakan kalangan pesantren untuk mencari posisi sesuatu ayat dalam Alquran, kini telah dipermudah melalui teknologi komputer. Bahkan, bukan saja dapat dengan mudah diketahui posisinya, tapi juga bisa langsung dinikmati suaranya dan di-copy untuk dikutip atau dipindahkan sesuai dengan kebutuhan.
Namun demikian, sejauh yang dapat diamati, diakui ataupun tidak, memang masih terdapat agenda-agenda yang masih perlu disempurnakan. Misalnya, pada tingkat tertentu, agenda pemasyarakatan Alquran terasa masih relatif terbatas hanya pada aspek-aspek kognitif dan elementer.
Pendekatan kultural
Alquran telah menyosialisasikan dirinya dengan cara, ciri, dan sifatnya sendiri. Ia hadir di tengah-tengah kehidupan manusia melalui jalan yang paling mungkin bisa ditempuh manusia. Pemilihan cara-cara seperti itu terus dilakukan karena ia memang diperuntukan bagi umat manusia yang menghuni bumi ini pada setiap zaman dan tempat. Ia diturunkan melalui seorang Rasul. Alquran hadir dengan menggunakan bahasa (yang dapat dipahami) manusia. Sehingga meskipun secara formal ia menggunakan bahasa Arab (versi Alquran), tetapi pada tahap pemaknaannya, bahasa itu dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa manusia, sesuai dengan dimensi kebudayaan yang dianutnya.
Munculnya terjemahan Alquran dalam berbagai versi bahasa di dunia, memperlihatkan keterbukaan pesan-pesan Tuhan untuk dipahami sesuai dengan bahasa pemakainya. Tidak ada larangan untuk menerjemahkan Alquran, meskipun Alquran sendiri tetap terpelihara dalam bahasa aslinya. Jika kemudian ditemukan variasi terjemahan meskipun dalam bahasa yang sama, itu juga merupakan isyarat kebesaran wahyu yang tercermin dalam keterbatasan dimensi pemikiran para penerjemahnya.
Meskipun Alquran merupakan wahyu bersifat transendental, Muhammad saw. memperkenalkannya kepada manusia secara bijak dan mendunia (profan). Ratusan bahkan ribuan ayat diterima Rasulullah saw., atas dasar tuntutan sosial pada zamannya. Persoalan-persoalan yang muncul menyertai kehidupan umat Islam periode pertama, tuntas terjawab melalui turunnya ayat demi ayat secara berangsur sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Pertimbangan-pertimbangan kultural inilah yang oleh para mufasir disebut dengan asba-b nuzul.
Sebagai Rasul penerima wahyu, Nabi Muhammad lalu menyampaikan setiap ayat yang diterimanya kepada para sahabat dengan cara-cara yang hikmah, sesuai dengan kapasitas intelektual serta kultur yang dianutnya pada saat itu. Dikumpulkanlah para sahabat untuk menghapal setiap ayat dengan teliti dan penuh ketekunan. Diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur menjadi faktor yang sangat memudahkan Nabi dan para sahabatnya dalam menghapal ayat demi ayat. Sesekali dikumpulkannya mereka untuk mengevaluasi hapalan yang dimilikinya. Dengan cara itulah, setiap firman yang diwahyukan dapat hidup dan terpelihara dalam diri Muhammad beserta para sahabatnya, sehingga terkenallah mereka dengan julukan generasi "the living Quran".
Berkenaan dengan proses seperti itu, pertanyaannya kemudian adalah, apakah kultur masyarakat kita saat ini memberikan peluang lahirnya generasi "the living Quran" baru? Atau apakah generasi itu hanya ada pada saat Nabi sendiri masih ada?***
Penulis, dosen Pascasarjana UIN Bandung; pegiat cabang Musabaqah Menulis Kandungan Alquran (M2KQ) pada MTQ Provinsi Jawa Barat dan Nasional.
opini pikiran rakyat 08 mei 2010