07 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Belajar dari Kasus Miras Salatiga

Belajar dari Kasus Miras Salatiga

PELAJARAN apa yang bisa dipetik dari tewasnya lebih 20 warga Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang akibat minum miras oplosan? Termasuk tewasnya sejumlah orang dari Kabupaten Pati pada saat bersamaan yang juga disebabkan minum oplosan.

Kemarin, harian ini memberitakan lagi adanya enam warga Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang terpaksa dilarikan ke RSUD Salatiga setelah minum miras. Bahkan, seorang di antaranya, Andi Dwi Arianto (29) warga Kauman Suruh, matanya terancam buta.

Dalam catatan penulis, kasus tersebut hendaknya dapat dijadikan pelajaran bagi semua pihak agar kasus tersebut tak terulang lagi. Pertama, dengan terjadinya kasus tersebut, penjual miras oplosan di Salatiga yang dulunya menjual secara terang-terangan, menjadi berkurang.


Bahkan, sampai hari ini mereka dikabarkan masih tiarap karena aparat Polres dan Satpol PP hampir setiap malam merazia warung-warung yang menjual miras dan tempat yang biasa dipakai untuk pesta minuman tersebut. Alangkah baiknya bila razia miras tak hanya berlangsung saat-saat ini saja.

Razia seharusnya dilakukan secara terus menerus, hingga tak satu pun orang di Salatiga berani menjual miras lagi. Mengapa? Selain mengakibatkan sejumlah orang tewas,  ternyata meningkatnya tindak kriminalitas di Salatiga juga dipicu oleh miras. Banyak pelaku kriminal yang ditangkap polisi mengaku tak sadar berbuat kejahatan akibat pengaruh miras.

Untuk itu, penulis memberikan apresiasi tersendiri kepada Kapolres Salatiga AKBP Susetio Cahyadi SIK MH yang dengan aparatnya tak memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku dan penjual miras. Agar kasus tersebut menjadi pelajaran berharga, penyidik kabarnya mengancam Rusmanadi alias Tius warga Dukuh Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Tingkir, Salatiga dengan penjara seumur hidup karena melanggar Pasal 359 KUHP, 240 KUHP, dan UU Kesehatan.

Bila nantinya Tius yang sudah cukup lama berjualan oplosan tersebut diganjar dengan hukuman berat, sudah barang tentu akan membuat kapok orang-orang yang berjualan miras.

Pelajaran kedua, kasus tersebut sudah pasti mengurangi jumlah penjual dan peminum miras. Kalau penjualnya tak lagi berani terang-terangan menjual miras, lalu dari mana peminum akan mendapatkan miras? Mungkin mereka akan bisa mendapatkannya dari luar kota misalnya Semarang dan Solo. Namun, mereka belum tentu bisa memperolehnya karena hampir semua kota di wilayah Polda Jateng, polisinya merazia warung-warung tersebut. Kalau sudah kesulitan membeli miras, maka tak ada langkah terbaik selain meninggalkan kebiasaan minum oplosan.
Pemuka Agama Ketiga, untuk mengurangi jumlah penjual dan peminum miras, sudah barang tentu pemuka agama, pendidik, orang-orang tua, dan polisi misalnya, harus sering memberikan pencerahan mengenai bahayanya minum miras. Sebab, harus diakui bahwa peminumnya tak hanya orang dewasa, namun juga beberapa anak sekolah. Tak hanya pengangguran, pekerja tetap pun banyak yang menjadi peminum. Tak hanya bawahan, pimpinan lembaga pun ada yang mengonsumsi minuman tersebut.

Kalau tidak dari sekarang pihak-pihak terkait itu memberikan ceramah tentang bahayanya minum miras, maka setelah kasus oplosan maut di Salatiga ini mereda, tak lebih tiga bulan, pasti penjualnya akan muncul kembali. Peran ulama, pendidik, orang tua, dan polisi untuk mengampanyekan bahayanya miras sangat ditunggu-tunggu agar di Salatiga tak terjadi lagi korban tewas.

Keempat, perda yang mengatur peredaran miras harus diperketat. Termasuk izin penjualan ataupun sanksi hukuman atas pelanggaran yang dilakukan pelakunya. Penulis mengapresiasi pernyataan HM Bambang Riantoko, salah seorang pengurus MUI Salatiga soal miras. ’’Perda tentang Izin Penjualan Minuman Beralkohol harus segera direvisi. Sanksi dan aturannya harus diperketat dan dipertegas kepada pelanggarnya,’’ kata Bambang.

Menurut penulis, bila sanksi dalam perda yang mengatur miras sangat ketat dengan pemberian hukuman yang tinggi, niscaya penjual dan peminumnya lambat laun akan jera. Padahal mereka sudah mengetahui efek negatif menjual dan meminum barang tersebut.

Bagi masyarakat Salatiga dan sekitarnya, dengan adanya kasus tersebut, marilah kita bersama-sama untuk menghentikan peredaran dan pengonsumsian miras untuk selama-lamanya.  (10)

— Drs Sri Mulyono, Ketua Masyarakat Madani Salatiga
Wacana Suara Merdeka 8 Mei 2010