PUJIAN selangit diberikan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick ketika mengumumkan Sri Mulyani sebagai managing director lembaga yang dia pimpin. Bagi Indonesia pengangkatan tersebut merupakan suatu kehilangan besar, sekaligus mendapat manfaat besar pula.
Pujian tersebut tentu bukan tanpa dasar. Dalam siaran persnya Zoellick mengatakan Sri Mulyani mempunyai peran unik atas pengalamannya mengatasi kemiskinan dan dikenal secara global berkat keberhasilannya memberantas korupsi dan perannya dalam melakukan penguatan good governance.
Tentu Bank Dunia juga mencatat prestasi Sri Mulyani yang beberapa kali mendapat penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik Asia, ataupun sebagai 100 perempuan yang paling berpengaruh di dunia.
Bagi sementara politikus Indonesia, pengangkatan Sri Mulyani sebagai managing director lembaga keuangan dunia itu dilihat sebagai kontroversi, khususnya jika dikaitkan dengan kasus Bank Century. Pandangan demikian sah-sah saja, karena mereka berangkat dari asumsi, premis, definisi, tujuan, dan kepentingan yang berbeda dari keyakinan Sri Mulyani selaku menkeu dan wakil pemerintah (SM, 02/03/10).
Tetapi sebagai ekonom, saya akan mengatakan dengan keyakinan dan pikiran jernih bahwa Sri Mulyani punya peran besar dan menentukan terhadap kelangsungan negeri ini.
Reformasi Birokasi Terlepas dari adanya ”perampok” yang memanfaatkan kebijakan pemerintah, dia telah berperan menghindarkan Indonesia dari ancaman terulangnya krisis ekonomi pada 2008.
Desain kebijakan fiskal untuk mengurangi kemiskinan; dengan kelemahan-kelemahan yang selalu terus diperbaiki, baik melalui subsidi langsung seperti BLT maupun berbagai fasilitas pembiayaan baik melalui PNPM, KUR, maupun fasilitas penjaminan kredit tidak lepas dari peran tangan dinginnya.
Tentu yang paling fenomenal adalah reformasi birokrasi yang dilakukan Depkeu, yang kemudian menjadi model untuk instansi pemerintah lain. Sri Mulyani menjadi tokoh utama dalam hal reformasi birokrasi ini. Buah reformasi birokrasi ini selain sudah mulai menunjukkan hasil konkret, di sisi lain menimbulkan banyak korban bagi mereka yang bekerja tidak jujur, dan mengancam mereka yang akan kena dampak kebijakan Sri Mulyani.
Sri Mulyani dapat memainkan peran penting bagi Indonesia dan dunia dengan jabatan barunya itu. Dari sudut pandang kritikal, lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO adalah pendukung ideologis kapitalistik.
Dari sudut pandang ini, pengkritiknya semakin meyakini bahwa Sri Mulyani sebagai ”antek” kapitalis. Tentu pandangan inipun tidak sepenuhnya salah. Tetapi bagi ilmuwan yang juga mengenal dunia praksis, melihat persoalan nyata haruslah secara komprehensif, tidak hitam-putih.
Sejak 1990-an Bank Dunia mulai merilis paradigma baru pembangunan yang kita kenal dengan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs), dan akselerasinya makin kuat mulai 2000-an.
Tentu seharusnya kita tidak menutup mata terhadap perubahan-perubahan besar ini. Dengan pengalaman yang dimiliki dan jabatan yang sangat strategis itu, Sri Mulyani akan dapat memainkan peran yang makin besar pada lembaga internasional itu untuk kepentingan negara berkembang.
Jabatan Sri Mulyani di Bank Dunia merupakan posisi strategis bagi Indonesia, selain untuk berperan lebih luas dalam dunia internasional, juga dapat dengan lebih mudah mengakselerasikan program pembagunan dan kepentingan nasional selaras dengan program Bank Dunia.
Sri Mulyani tentu mengetahui secara mendalam letak berbagai kebocoran anggaran yang di antaranya bersumber dari utang berbagai negara donor yang diberikan melalui lembaga-lembaga internasional.
Semasa menjadi Menkeu pun dia menunjukkan bukan ”boneka kepentingan”, dan hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakannya. Dia berani menentang berbagai kepentingan bercokol (vested interest) di lingkungan penguasa.
Perseteruannya dengan Aburizal Bakri juga dimulai dari keberaniannya menolak keinginan Ical men-suspend harga saham Bakrie Group yang jatuh pada tahun 2008. Demikian pula dengan mantan wapres JK, yang grup usahanya terganjal oleh Sri Mulyani ketika mengusulkan pembangunan monorel di Jakarta.
Bagi Sri Mulyani sendiri, kesediaannya untuk menjadi managing director lembaga keuangan internasional adalah cara paling elegan untuk mundur dari Kementerian Keuangan, walau mungkin terasa pahit.
Kalaupun dia ditolak di negerinya oleh sementara orang karena kepentingan mereka, ia tetap bisa bekerja untuk negaranya dengan cara berbeda, seperti yang dikatakannya sendiri ketika bersedia menerima jabatan itu, yakni sebuah kehormatan bagi negaranya. (10)
— FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip
Wacana Suara merdeka 8 Mei 2010