11 April 2010

» Home » Kompas » Urgensi Stabilitas ASEAN

Urgensi Stabilitas ASEAN

KTT Ke-16 ASEAN telah dilaksanakan di Hanoi, pada 6 hingga 9 April 2010. Salah satu isu penting yang akan diangkat oleh Pemerintah Indonesia adalah diterima atau tidaknya Amerika Serikat dan Rusia dalam keanggotaan KTT Asia Timur (East Asian Summit/ EAS).
Hingga saat ini, forum yang ke depan akan dikembangkan menjadi Komunitas Asia Timur (East Asian Community) ini telah beranggotakan 16 negara, yang terdiri atas negara-negara ASEAN, Jepang, China, Korea, India, Australia, dan Selandia Baru.
Perluasan keanggotaan (widening membership) memang menjadi persoalan laten yang dihadapi dalam pembangunan regionalisme, termasuk yang terus dialami oleh Uni Eropa. Namun, di Asia Timur, ide pembentukan komunitas menjadi unik mengingat kawasan ini memiliki diversitas karakteristik yang tinggi antara satu dan yang lainnya, termasuk kesenjangan antara integritas internal dan diversitas eksternal yang mewarnai perjalanan regionalisme di kawasan ini.

 

Integritas internal dapat dicermati dari kuatnya kerja sama ekonomi bagi negara-negara di dalamnya. Integrasi di Asia Timur telah melampaui level perdagangan pada umumnya. Lebih dari 82 persen ekspor intra-Asia Timur digunakan untuk memproduksi produk yang kemudian diekspor ulang ke negara-negara di luar Asia Timur, terutama AS (25,1 persen), Eropa (22,7 persen), dan Jepang (11,4 persen). Adapun ekspor intra-Asia Timur yang digunakan untuk konsumsi domestik hanya mencapai 22,2 persen.
Ini artinya, Asia Timur tumbuh menjadi kawasan dengan jejaring produksi regional yang sangat besar dan berkesinambungan bagi kawasan lainnya. Penelitian ADB pada Februari 2010 yang lalu menunjukkan korelasi yang linier antara peningkatan ekspor Asia Timur dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Barat, khususnya AS, Uni Eropa, dan Jepang (ADB Working Paper No: 192; 2010). Inilah mengapa dalam konteks ekonomi, menyertakan AS dan Rusia ke dalam keanggotaan EAS menjadi cukup signifikan.
Diversitas eksternal
Namun, eksklusivitas kawasan yang ditimbulkan dari antagonisme historis terhadap Barat menjadi faktor diversitas eksternal, yang menunjukkan rentannya kawasan ini pada persoalan aliansi politik yang informal.
Jepang adalah yang pertama mengawali antagonisme ini. Memori negatif Jepang terhadap tekanan unilateral AS bersama dengan beberapa negara Barat untuk merevaluasi mata uang yen pada 1985 (Plaza Accord Agreement) dan 1987 (Louvre Accord Agreement) berdampak negatif bagi ekspor Jepang. Inilah mengapa, pascakrisis Asia 1997, Jepang menginisiasikan pembentukan Asian Monetary Fund (AMF) dengan tidak menyertakan AS dalam keanggotaannya. Meski demikian, pada November tahun lalu, AS kembali berupaya untuk memperkuat aliansinya dengan Jepang bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Obama ke Tokyo.
Alasan lain adalah China. Tumbuhnya China menjadi raksasa ekonomi dan kedigdayaannya untuk mengambil langkah unilateral dalam kebijakan moneter menjadikan China sebagai negara eksportir utama yang tak terbendung. Kerja sama yang belakangan digencarkan terhadap ASEAN, khususnya ACFTA, menambah efisiensi dalam proses produksi setiap industrinya. Pasarnya yang besar di AS dipercaya menyedot potensi pertumbuhan ekonomi bagi aktor-aktor ekonomi domestik di negeri Paman Sam itu. Di sinilah potensi memasukkan AS ke dalam keanggotaan EAS hanya akan memperuncing friksi ekonomi di antara keduanya, khususnya dalam konteks revaluasi yuan terhadap dollar AS.
Meski Obama dalam pidatonya di hadapan masyarakat Jepang pada November 2009 menyatakan bahwa peningkatan kekuatan suatu negara tidaklah harus menimbulkan kemerosotan bagi yang lain (zero-sum game), kekhawatiran akan meruncingnya konflik antara AS dan China ataupun Jepang tetap tak dapat dihindari. Minimal, peristiwa politik seperti pemilu di Myanmar atau keinginan integrasi finansial eksklusif yang diajukan Jepang akan berpotensi memecah belah kesatuan di antara negara-negara ASEAN atas preferensi kepentingan nasionalnya dengan membentuk aliansi masing-masing. Kemungkinan terpecahnya suara masyarakat ASEAN ini berdampak pada menurunnya stabilitas politik regional yang telah lebih dari 40 tahun dibangun.
Bagi Asia Tenggara, memang kehadiran Jepang, China, sekaligus AS di dalam ASEAN dapat dimaknai sebagai keuntungan yang besar. Secara politik, pola pemberian insentif ekonomi kembali menjadi alat (tools) yang mutakhir bagi perluasan pengaruh suatu negara. Lihat saja China yang kini gencar memberikan dukungan finansial untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara sekitar Sungai Mekong, atau bahkan terhadap pembangunan berbagai fasilitas di Indonesia, seperti Jembatan Suramadu dan beberapa ruas jalan tol lainnya. Tentunya kompetisi perebutan pengaruh di antara ketiganya akan berdampak pada meningkatnya aliran dana untuk pembangunan di kawasan.
Namun, semua akan berisiko tanpa stabilitas politik internal. Konsentrasi KTT Ke-16 ASEAN kali ini terhadap pembentukan Komunitas Asia Tenggara (ASEAN Community), termasuk membicarakan realisasi konkret dari kerja sama internal bidang politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya terlihat lebih realistis sebagai kendaraan untuk mencapai stabilitas yang lebih mapan. Di sisi lain, memperdebatkan keanggotaan bagi AS dan Rusia memang memberikan insentif ekonomi yang besar, tetapi beresiko tinggi terhadap stabilitas politik.
KTT ini juga dilangsungkan untuk membentuk persepsi positif dalam bangunan konsensus internasional terhadap posisi (image) Asia Tenggara. Di sinilah regionalisme terbuka (open regionalism) harus dimaknai dengan menampilkan keutuhan Asia Tenggara yang stabil, khususnya pascakrisis finansial global. Konsensus inilah yang diharapkan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap kawasan, bukan larut lebih jauh dalam persoalan aliansi politik semata.
Pamungkas Ayudhaning Dewanto Redaktur Pelaksana Global: Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI

Opini Kompas 12 April 2010