Oleh Iwan Dermawan Hanafi
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-16 yang diselenggarakan di Hanoi Vietnam baru saja berakhir 9 April lalu. KTT kali ini mengusung tema "Menuju Masyarakat ASEAN: dari Visi Menuju Aksi". Satu agenda pembahasan di antaranya adalah menetapkan langkah konkret dalam upaya merealisasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME ASEAN) pada 2015.
Kita masih asing mendengar konsep ME ASEAN. Sebagian mungkin saja kaget dan semakin gundah karena pengalaman ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Sejujurnya, dampak negatif ACFTA yang digulirkan sejak 1 Januari 2010 sudah terasa bagi mayoritas pengusaha Indonesia. Tingkat persaingan dari kehadiran produk asal Cina berlangsung semakin intensif. Berat memang bersaing dengan produk Cina yang terbukti berkualitas dengan harga murah. Aksi penentangan ACFTA, terutama oleh kalangan pekerja Indonesia yang didukung elemen mahasiswa masih terus berlangsung. Tulisan ini tidak berupaya mengupas menang atau kalahnya Indonesia di ACFTA, melainkan hanya secuil upaya untuk sekilas menggambarkan ME ASEAN.
Integrasi regional biasanya berlangsung dalam lima tahap, mulai dari tahap rintisan hingga integrasi yang semakin solid yaitu Preferential Trading Arrangement (PTA/Penetapan Perdagangan Istimewa), Free Trade Area (FTA/Kawasan Perdagangan Bebas), Custom Union (CU/Integrasi Pabean), Common Market (CM/pasar bersama), dan Economic Union (EU/Integrasi Penyatuan Ekonomi). Benua Eropa telah melalui semua tahap tersebut dan kini ada di tahapan Economic Union dengan nama Uni Eropa yang ditandai dengan penyatuan mata uang Euro. ASEAN mulai memasuki tahap Custom Union dengan menerapkan ASEAN Single Window dan berambisi menuju Common Market pada 2015 yang disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME ASEAN). Tampaknya para Pemimpin ASEAN cenderung terinspirasi kawasan Eropa, bukan mustahil diarahkan menuju Uni ASEAN dengan mata uang tunggal.
Melalui ME ASEAN, ASEAN akan menjadi kawasan basis produksi dan pasar tunggal yang ditopang dengan kebebasan tanpa hambatan pergerakan barang - jasa - investasi - modal - tenaga kerja terampil. Pergerakan barang akan mencakup dua komponen penting, yaitu integrasi: 1) sektor prioritas dan 2) makanan, pertanian, dan kehutanan. Jika dalam AFTA instrumen utama perdagangan adalah penghapusan tarif, maka dalam ME ASEAN kelancaran dan kebebasan arus barang/jasa tidak hanya memerlukan tarif nol persen, melainkan perlu pula peniadaan hambatan nontarif, integrasi prosedur pabean, harmonisasi standar dan sertifikasi. ME ASEAN menuntut semua negara anggota untuk membuka mayoritas sektor bisnis mereka bagi pebisnis ASEAN dan memperlakukan mereka seperti layaknya pebisnis nasional.
Bagaimanapun, kita telah memasuki "ruang" ACFTA, "ruang" di depan (tahun 2015) yang akan kita masuki adalah ME ASEAN. Secara teoretis, setidaknya belajar dari kawasan Eropa (saat berada di tahap Masyarakat Ekonomi Eropa), dalam "ruang" ME ASEAN negara-negara anggotanya saling melakukan kebijakan liberalisasi arus faktor-faktor produksi (seperti manusia, modal, mesin, material, metode produksi) yang berlangsung tanpa hambatan. Implikasinya sangat bergantung bagaimana kita menyikapinya, sejatinya tentu dengan berupaya menarik manfaat optimum tanpa keluh kesah yang jauh dari konstruktif. Sebagai individu, kita perlu membekali diri dengan kemampuan komunikasi dan bahasa Inggris akan menjadi prasyaratnya. Dengan demikian, peluang mobilitas migrasi bagi tenaga kerja terampil kian terbuka. Pengusaha perlu membangun aliansi strategis bersama mitra bisnis di ASEAN atau bahkan dengan siapa saja dari belahan dunia mana pun dan mulai memfokuskan usahanya pada keunggulan yang paling efisien serta jeli merebut peluang pasar.
Becermin kondisi aktual, jangankan dengan Cina pada sektor usaha primer komoditas pertanian dan perikanan di sesama negara ASEAN pun Indonesia kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Terbukti, produk pertanian Thailand bermutu prima dan patut dicatat bahwa Thailand adalah eksportir beras terbesar di dunia, perikanan Vietnam berada di tingkat harga jauh di bawah Indonesia. Indonesia semestinya unggul dan mampu bersaing dalam produk berbasis sumber daya alam.
Banyak hal yang perlu segera Indonesia benahi, domain pemerintah di antaranya membangun infrastruktur, memastikan pasokan listrik dan gas, peremajaan mesin industri, membuat iklim investasi yang atraktif, menggenjot diklat tenaga kerja, menurunkan suku bunga kredit, penyederhanaan prosedur usaha, penyediaan informasi bisnis, penguatan kapasitas koperasi, usaha kecil dan menengah. Terpenting, sebagai konsekuensi kesiapan pemerintah, maka pemerintah Indonesia dituntut mencari solusi, membina pengusaha, dan bahkan memberi kompensasi bagi sektor-sektor usaha yang terkena dampak pelaksanaan free trade. Domain pengusaha mengawali dengan mencermati setiap peluang dan tantangan dinamika perekonomian regional maupun global kemudian mempersiapkan diri menjelang diberlakukannya ME ASEAN. Harmonisasi kebersamaan pemerintah dengan pengusaha (yang diwakili dalam wadah Kadin dan asosiasi pengusaha) untuk peningkatan kemampuan daya saing bisnis perlu konsisten untuk diimplementasikan. Akhirnya, kerja keras dan cerdas mutlak harus dilakukan seluruh elemen bangsa, kecuali hanya ingin menjadi penonton yang mudah didikte. Kata kunci dari semua itu adalah bahwa apa pun mesti diabdikan untuk kesejahteraan ekonomi. Mari pastikan ME ASEAN akan membawa bangsa Indonesia lebih unggul dan berdaya saing. Pengusaha adalah pelaku utamanya.***
Penulis, Ketua Kadin Indonesia Komite Singapura dan Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 12 April 2010