11 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Transparansi di Pengadilan Pajak

Transparansi di Pengadilan Pajak

KASUS Gayus Tambunan perlu kiranya mendapatkan respons lebih serius, bukan saja cukup dengan mengganti pejabat dan memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan pajak, melainkan juga perlu mengambil langkah fundamental dengan melakukan restrukturisasi posisi pengadilan pajak agar konsisten dengan peraturan perundang-undangan tentang sistem kekuasaan kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) yang berlaku, dan biar lebih transparan.

Ada kesan bahwa pengadilan pajak yang selama ini diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terlihat terlalu khusus, eksklusif, dan inner working-nya  berbeda dari posisi pengadilan lainnya. Ini yang menyebabkan abuse of power dalam menangani sengketa pajak potensial terjadi.


Posisi pengadilan pajak sejak diturunkannya UU Pengadilan Pajak, dari awal telah menimbulkan kontroversi. Bisa dilihat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Di situ tidak disebutkan, Pengadilan Pajak berada di lingkungan peradilan perpajakan.

Sementara, UU Kekuasaan Kehakiman membatasi lingkungan peradilan hanya ada empat: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Cukup jelas diatur bahwa UU Pengadilan Pajak tidak mendefinisikan eksistensi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia. UU Pengadilan Pajak hanya menentukan, Pengadilan Pajak dibentuk di ibu kota negara. Disayangkan, UU Pengadilan Pajak tidak menentukan di lingkungan mana pengadilan itu berada.

Ketentuan lain dalam UU Pengadilan Pajak yang membingungkan adalah yang mengatur kedudukan protokoler ketua, wakil ketua, dan hakim diatur dengan peraturan pemerintah. Ketentuan ini menimbulkan persepsi, kedudukan protokoler dan tunjangan bagi para pejabat itu sama dengan pengadilan-pengadilan lain yang berada dalam empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Begitu pula dengan ketentuan lain yang menimbulkan pertanyaan, apakah Pengadilan Pajak memang dimaksudkan untuk berada tersendiri dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Sebagai tambahan, UU Pengadilan Pajak menyebutkan, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Depkeu. Ketentuan itu diperkuat ketentuan lainnya yang berbunyi, ‘’dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri’’. Menteri di sini adalah menteri keuangan.

Tidak Sama

Dari konteks itu, ketentuan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak terlihat tidak sejalan dengan ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan lainnya berada di bawah kekuasaan MA. Tunjangan dan ketentuan bagi ketua, wakil ketua, hakim, sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti Pengadilan Pajak tidak sama dengan pengadilan-pengadilan lain. Apakah memang dimaksudkan bahwa Pengadilan Pajak tidak berada di dalam lingkungan salah satu peradilan sebagaimana dimaksud dalam UU Kekuasaan Kehakiman? Ini tidak jelas. Sungguh membingungkan posisi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan Indonesia.

Kerancuan itu sebetulnya tidak perlu timbul seandainya dalam UU Pengadilan Pajak berbunyi,’’ Dengan UU ini dibentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk di ibu kota negara di bawah lingkungan peradilan ...’’. Di samping itu, kerancuan tersebut tidak perlu timbul bila pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak, ditetapkan dan dilakukan oleh Mahkamah Agung, seperti halnya badan-badan peradilan yang lain.

Di level inilah upaya restrukturisasi pengadilan pajak menjadi penting untuk dilakukan. Penulis berpendapat, langkah fundamental tidak cukup hanya dilakukan dengan restrukturisasi posisi pengadilan pajak, tetapi juga di level kultur, yakni internalisasi nilai-nilai transparansi yang kini tengah menjadi arus besar tuntutan pengelolaan badan publik di semua badan publik termasuk di badan publik pengadilan pajak.

MA sendiri telah menerbitkan SK Ketua MA Nomor 144/KMA/SKNIII/ 2007 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pengadilan. Melalui SK ini sudah rinci disebutkan mana kategori informasi publik yang dapat dibuka dan mana yang tidak. Begitupun telah diatur di ruang persidangan, mana yang dapat dibuka dan mana yang tidak.  Selain restrukturisasi, Pengadilan Pajak juga terkena kewajiban melaksanakan ketentuan itu. Dengan cara begitu, proses dan produk pengadilan itu diharapkan makin terbuka, dan mudah-mudahan, apatisme publik terhadap kewajiban membayar pajak di masa mendatang dapat terkurangi. (10)

— Amirudin, anggota Komisi Informasi Pusat, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip

 Wacana Suara Merdeka 12 April 2010