TIDAK hanya kali ini saja Majlis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa haram bunga bank. Tahun 1990-an juga mengeluarkan fatwa serupa meskipun ketika itu, jika dilihat konteks kekinian sangat menggelikan, karena fatwa haram hanya menyangkut bunga bank swasta, sementara untuk bunga bank pemerintah tidak haram.
Pertimbangan untuk masalah yang sangat ambigu itu sudah pasti ada, namun fatwa tersebut sulit dicerna. Barangkali, alasannya keuntungn bank swasta ’’dimakan’’ pemiliknya, sedangkan laba bank pemerintah dikembalikan ke rakyat. Ironisnya, Muhammadiyah memiliki bank dengan nama Bank Persyarikatan yang bukan syariah. Berkaitan dengan hal itu, mungkin karena yang memiliki Muhammadiyah maka bunganya tidak haram.
Fatwa terbaru hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Majlis Tarjih dan Tajdid di Universitas Muhammadiyah Malang (1-4 April 2010) melangkah lebih jauh karena kali ini tidak hanya menyangkut bank swasta, mengingat bank berpelat merah juga terkena fatwa itu. Menurut fatwa tersebut semua bunga bank, baik bank pemerintah maupun swasta adalah haram. Pengeluaran fatwa kali ini mungkin tidak terlalu membebani Majlis, karena Bank Persyarikatan telah lenyap ditelan bumi sehingga tidak perlulagi pertimbangan.
Di samping itu, selain bank berpelat merah sudah tidak sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, dan juga dengan dasar pemikiran globalisasi bahwa semua bank bisa bangkrut. Jadi berdasarkan pemikiran itu, tidak ada pilihan kecuali mengeneralisasi keharaman bunga bank.
Keluarnya fatwa haram tersebut melengkapi fatwa yang telah dikeluarkan MUI beberapa waktu silam. Ketika itu, Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif bereaksi keras dengan melandaskan argumennya pada pendapat A Hasan Bandung yang menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Namun, ketika Majlis mengeluarkan ini sepertinya mantan ketua PP Muhammadiyah itu belum mengeluarkan pendapatnya, termasuk Amien Rais yang berkaitan dengan fatwa tembakau bereaksi keras. Namun Prof Dr Din Syamsuddin sudah mengeluarkan sikapnya yang mengesankan bahwa fatwa itu jangan terlalu dipikirkan. Bisa jadi, bahwa kebijakan tersebut tidak direstui PP Muhammadiyah.
Memaknai Hadis
Masalah bunga bank menurut saya, tidak akan pernah selesai karena persoalannya terletak pada bagaimana memaknai teks-teks Hadis dalam konteks kekinian. Bahkan, seorang kawan berseloroh seusai mendengar fatwa MUI yang pada intinya jika bank diharamkan, karena tidak sesuai dengan sunah, tidak tepat. Bagaimana bisa dikatakan melanggar sunah, karena pada zaman Beliau (Nabi Muhammad SAW) belum ada bank. Atau, nada nyinyir dari seorang pragmatis yang mengatakan bahwa kita ribut dengan masalah bunga bank karena umat Islam miskin.
Jika sekiranya mereka menjadi pengendali ekonomi meskipun tetap ada, tidak akan senyaring seperti sekarang ini.
Pendapat itu, bisa saja berlebihan. Namun, persoalan kenapa masalah bunga bank selalu kontoversial karena baik yang menilai haram maupun yang menganggap halal, semua berpijak kepada tafsir.
Sebab ayat Alquran yang selama ini menjadi dasar masih sangat membuka ruang untuk tafsir, termasuk ketika Allah mengaitkan riba dengan persoalan berlipat ganda. Apa yang tidak berlipat ganda, boleh? Jika persoalannya dikaitkan dengan usaha, siapa dari pelaku usaha yang tidak ingin untung? Walhasil, masalah riba pada zaman Nabi untuk dikaitkan dengan bunga bank memang masih debatable, karena tafsir yang menjadi landasan pengharaman juga debatable.
Tokoh Muhammadiyah dan Menteri Agama pada era Orde Baru, Prof Dr Munawir Sjadzali setiap ditanya masalah bank Islam (syariah) bisa dibilang sangat ’’nyinyir’’. Dalam sebuah mata kuliah Islam dan tata negara berulang kali ia menyinggung masalah bunga bank baik ditanya maupun tidak mengatakan apa landasannya untuk mengharamkan bunga bank.
Bahkan, seingat saya (semoga saya salah) dia mengatakan konsep riba yang akan dijadikan landasan pengharaman bunga bank tidak relevan, karena hanya cocok untuk zaman dulu. Dengan dalih perubahan sosial, zaman, dan tempat yang kaidah fiqhiyyah-nya ia ucapkan dengan sangat fasih, menegaskan bahwa bunga bank tidak diragukan kehalalannya.
Bahkan, dalam konteks tersebut dia mengkritik Muhammadiyah yang menurutnya ambigu. Muhammadiyah, menurutnya menetapkan bunga bank haram, tapi semua universitas dan sekolah tingginya mengajar ekonomi ribawi. Namun ia tidak menyebutkan Bank Persyarikatan yang konvensional. Seharusnya, menurut Munawir, persyarikatan mengajarkan ekonomi yang tidak ribawi agar bisa selaras dengan sikapnya dengan terkait fatwa haram bunga bank.
Bahkan lebih jauh dalam mengkritik bank Islam, ia mengilustrasikan contoh. Menurutnya seorang istri tokoh nasional merasa keberatan dengan sistem pengembalian pinjaman dari sebuah bank Islam yang dinilainya terlalu besar jika dibandingkan bank konvensional. Untuk itu, yang bersangkutan tidak jadi meminjam uang untuk membangun sekolah dari bank Islam. Namun, ketika besarnya angsuran ditanyakan kepada seorang kiai, sang ulama mengatakan meskipun besar uang itu bukan riba.
Orang bisa jadi berpikir peduli amat dengan bunga, yang penting angsuran kecil dan bisa dibayar. Dalam ekonomi tentunya yang menjadi prioritas adalah keterjangkauan. Karena itu seharusnya Islam yang dijadikan landasan pelayanan terlihat di aspek itu selain aspek keadilan.
Berkaitan dengan masalah bunga bank, sebaiknya bank yang berlabel Islam atau syariah ’’bermain’’-nya di asas kemanfaatan itu, bukannya mengandalkan ajaran agama yang landasannya sangat debatable. Termasuk dengan menakut-nakuti umat mendapat siksa neraka lantaran tidak bermuamalah dengan bank syariah. Sebaiknya terlebih dahulu mulailah dari para pencetus fatwa untuk tidak menggunakan bank konvensional.
Sebagian besar dari anggota Majlis dan juga anggota komisi fatwa adalah pegawai negeri yang gajinya melewati bank konvensional. Seharusnya mereka mengganti rekening penampung gajinya ke bank syariah. Itu lebih elegan ketimbang menakut-nakuti umat dengan ancaman siksa neraka.(10)
— Mahmudi Asyari, doktor dari UIN Jakarta
Wacana Suara Merdeka 12 April 2010