Oleh Petrus Suryadi Sutrisno
LANGKAH Mabes Polri melaporkan secara tertulis salah satu stasiun televisi swasta nasional ke Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait dengan indikasi penyiaran makelar kasus palsu di lingkungan kepolisian, menunjukkan betapa penyebaran informasi melalui media massa memiliki begitu banyak dimensi fungsi dan peran media massa, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Mabes Polri melaporkan, pada 18 Maret 2010, salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan tayangan khusus yang menampilkan seseorang dengan wajah dan suara yang disamarkan memberikan pengakuan sebagai salah satu makelar kasus di kepolisian yang sudah beroperasi selama 12 tahun. Pria itu, menurut polisi, diminta berperan sebagai makelar kasus dan berbicara sesuai dengan skenario dan naskah siaran yang sudah disiapkan.
Setelah itu, stasiun TV swasta nasional itu secara terbuka memberikan keterangan dan membantah semua tuduhan tadi. Hingga saat ini, Kadiv Humas Mabes Polri masih menunggu tindak lanjut pertemuan Mabes Polri dengan Dewan Pers dan KPI.
Kejadian itu merupakan fenomena kontroversial yang tidak mudah untuk ditangani Dewan Pers atau KPI karena semua pihak mengklaim kebenaran mereka masing-masing dengan dukungan bukti-bukti. Baik Mabes Polri maupun khususnya Dewan Pers sebenarnya telah memiliki kesepakatan bersama bahwa penyelesaian kasus hukum yang menyangkut pengaduan media massa atau delik pers agar diselesaikan sendiri oleh Dewan Pers dan komunitas pers sebagai pihak yang dianggap paling mengetahui, ahli, dan kompeten di bidang jurnalistik.
Paradigma dan implementasi praktis media massa untuk berbagi kepentingan sipil dan militer, pemerintah dan bukan pemerintah yang begitu beragam dan luas, menunjukkan bahwa fungsi media massa sebagai medium penyebaran informasi, hiburan, dan pendidikan paradigmanya telah bergeser menjadi lebih luas, di mana media massa/pers tercatat dengan peran wartawan sebagai "bidan sejarah", "pengawal kebenaran dan keadilan", "pemuka pendapat", "pelindung hak-hak pribadi masyarakat", "musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk" (Dewan Pers, 2010).
Fungsi dan peran tersebut membuka peluang untuk memanfaatkan media massa dengan produk penyiaran dan publikasinya menjadi medium untuk mencapai berbagai tujuan dan kepentingan pihak tertentu. Kemungkinan rekayasa peliputan dan publikasi/penyiaran bisa saja dilakukan terlepas dari kebenaran sejati informasi yang masih harus dibuktikan melalui proses peradilan. Ekspose media massa inilah yang digunakan untuk menciptakan images atau pencitraan (negatif/positif) untuk membangun opini publik sesuai dengan kepentingan tertentu.
Dalam situasi semacam ini, kasus-kasus pemberitaan media massa bukan hanya soal trial by the press. Akan tetapi, media massa bisa terlibat dan dikategorikan masuk dalam jaringan kegiatan crime against humanism (kejahatan kemanusiaan) dan ikut terlibat dalam character assassination (pembunuhan karakter), belum lagi yang menyangkut pasal "pencemaran nama baik", "fitnah", dan "berita bohong".
Media massa dapat dianggap akrab dengan dunia kejahatan (crime) manakala terbukti melakukan kegiatan jurnalistik/penyiaran yang nyata-nyata memiliki karakter kejahatan. Dengan demikian, muncul fenomena baru yang bisa disebut sebagai media crime atau kejahatan yang dilakukan secara sadar, sengaja, dan terprogram oleh media massa). Kejahatan media berbeda dengan kriminalisasi media.
Prof. Dr. Tubagus Ronny Nitibaskara, Guru Besar Kriminologi FISIP UI yang pernah menjadi staf ahli Kapolri dan guru besar di PTIK, sekitar 2009 pernah merintis substansi baru dalam studi Ilmu Kriminologi yang menyangkut fenomena "media crime" dan "media dan kejahatan". Prof. Ronny dan pencetus gagasan kajian media crime, secara intensif mengembangkan pemikiran-pemikiran kritis akademis dan analitis yang memprediksi beberapa kemungkinan yang bisa terkait dengan media crime dan kriminalisasi media.
Pertama, bisa saja terjadi kemungkinan media massa terlibat/dilibatkan dalam jaringan "kejahatan" tertentu dengan tugas menyebarluaskan informasi tertentu dengan tujuan dan kepentingan tertentu.
Kedua, bisa saja terjadi kemungkinan media massa digunakan oleh pihak tertentu (dalam konteks sebagai sumber berita) sebagai medium menyebarkan fitnah atau informasi yang tendensius, rekayasa, dan manipulatif meskipun semua sumber informasi media sudah berimbang. Keputusan untuk beritakan dulu urusan hukum menyusul kemudian menjadi landasan praktik jurnalistik penggunaan media massa sebagai medium penyampai informasi yang secara konseptual, menyalahgunakan paham komunikasi tentang medium is the message.(Marshall McLuhan, 1964).
Adanya persoalan tayangan makelar kasus tadi dan fungsi media massa yang multidimensional ini menjadikan tugas dan tantangan peran Dewan Pers dan KPI di masa depan menjadi makin kompleks. Kedua lembaga itu dituntut lebih aktif antisipatif, bukan pasif responsif. Keduanya harus mampu mengembangkan sendiri pengumpulan informasi dalam kasus-kasus pers, di mana muncul kasus/delik aduan pers di mana kedua pihak sama-sama mengklaim kebenaran masing-masing. Jika fenomena semacam ini mengemuka, Dewan Pers dan juga KPI sudah saatnya memfungsikan semacam tim monitoring dan evaluasi media atau tim verifikasi informasi media, atau lebih komprehensif lagi jika memiliki fungsi intelijen media massa.
Sekarang, semuanya tergantung dan menunggu kompetensi Dewan Pers dan KPI dalam menanganinya secara berimbang dengan menampung informasi dari semua pihak, seperti Mabes Polri, stasiun TV swasta, Andris, pembawa acara, serta pihak terkait lainnya. Diharapkan Dewan Pers dan KPI mampu menghindarkan persoalan ini sebagai salah satu kasus kejahatan media (media crime).***
Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Konsultan/pengajar Senior Komunikasi.
Opini Pikiran Rakyat 12 April 2010