28 April 2010

» Home » Kompas » Selebriti Jadi Kepala Daerah?

Selebriti Jadi Kepala Daerah?

Siapakah yang bersedia dipimpin oleh ”bintang porno”? Siapa yang ikhlas kepala daerahnya tak berpengalaman di pemerintahan? Semua warga negara yang peduli nasibnya tentu tak bersedia. Namun, perlukah kita membuat sebuah undang-undang yang melarang bintang porno menjadi kepala daerah?
Perlukah membuat pembatasan lewat UU bahwa yang tidak punya pengalaman di pemerintahan tak boleh ambil bagian dalam pilkada? Di sinilah awal kontroversi yang dimulai oleh pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi. Kompas (17/4), misalnya, melaporkan, Mendagri tengah menggodok revisi UU No 32 Tahun 2004, di mana syarat calon kepala daerah ditambah dengan ”berpengalaman di pemerintahan” dan ”tidak cacat moral”.
Sebelum pernyataan Mendagri, sudah cukup marak para artis ingin naik kelas jadi calon kepala daerah. Sebagian diketahui tak berpengalaman di pemerintahan. Bahkan, banyak yang terkena isu mesum. Sebuah media bahkan menulis judul besar respons Mendagri atas fenomena itu dengan judul vulgar: ”Pezina Dilarang Ikut Pilkada”.
Mendagri sendiri menjelaskan, syarat ”tak cacat moral” sebenarnya sudah tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004, tepatnya di pasal 58 L, dengan redaksi ”tak pernah melakukan perbuatan tercela”. Tak ada rincian detail apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Dalam berita Kompas, 17 April, Mendagri mencontohkan, cacat moral itu seperti ”ada video berzina”.
Kita menangkap tanggung jawab dan motif baik Mendagri untuk membuat hasil pilkada lebih terukur berujung kepada good governance. Namun, perlu juga disadari, begitu banyak niat baik jika diregulasi justru berujung buruk. Kesulitan pertama yang muncul dari rencana regulasi Mendagri adalah masalah ukuran (measurement). Apa ukurannya ”cacat moral itu”? Apakah cacat moral itu untuk semua yang pernah berzina, atau untuk mereka yang kebetulan zinanya diketahui publik saja?

 

Jika kriteria zina hanya untuk yang diketahui publik, ini justru menjadi tidak adil. Mengapa yang dilarang mencalonkan kepala daerah hanya mereka yang zinanya diketahui publik? Yang akhirnya lolos oleh kriteria itu bukan mereka yang benar-benar tidak berzina dalam hidupnya, tetapi mereka yang pandai menyembunyikan zinanya. Sebaliknya, jika kriterĂ­a itu diterapkan untuk semua yang pernah berzina, bagaimana cara kita mengetahuinya? Kita tak punya sertifikat bebas zina. Banyak tokoh sukses tingkat dunia yang perbuatan zinanya pada masa lalu baru ketahuan setelah tak lagi menjabat.
Demokrasi memiliki cara sendiri untuk tak memilih pemimpin ”yang melakukan perbuatan tercela”. Contoh cukup populer, Gary Hart, calon presiden AS pada 1988. Saat itu, Hart front runner, calon yang dianggap paling berkilau dari Partai Demokrat. Ia mewarisi karisma John F Kennedy, termasuk kesamaannya dengan Kennedy adalah disukai banyak wanita cantik. Suatu ketika beredar foto selingkuh Hart dengan Donna Rice. Di foto itu, Hart sedang memangku Rice. Miamy Herald segera memublikasikan foto itu. Perselingkuhan ini menjadi berita nasional. Popularitas Gary Hart di aneka survei drop cukup drastis, dari 32 persen ke 17 persen.
Campur tangan negara
Namun, Hart tetap berniat maju sebagai capres. Ia mengatakan ucapan yang kemudian sangat terkenal ”Let The People Decide”. Biarkanlah rakyat yang menentukan. ”Jika memang rakyat menganggap saya tak pantas menjadi presiden, saya tak akan terpilih.” Ujung dari kisah itu, Hart mundur dari pencalonan akibat minimnya dukungan. Namun jelas, UU di AS tidak menghambat dan tidak membatasi Hart untuk maju sebagai capres. Bahkan di negara sebesar AS untuk capres sekalipun tak ada UU yang mensyaratkan capresnya ”tak pernah berzina”. Publik sendiri yang menghukum. Publik tak ingin memilih pemimpin yang melakukan perbuatan tercela.
Campur tangan negara dalam demokrasi sebaiknya minimal saja. Kriteria kepala daerah, bahkan capres, sebaiknya minimal saja. Biarkan semua warga memiliki hak yang terbuka untuk menjadi kepala daerah, atau bahkan capres. UU di negara demokrasi juga sebaiknya membuka kebebasan itu. Namun, seleksi pemimpin yang ketat justru dilakukan oleh masyarakat sendiri. Parpol adalah penyeleksi utama. Partai secara perlahan-lahan akan kian matang dalam memilih kandidat. Seandainya pun tokoh tercela lolos dari parpol, publik yang akan menyeleksinya melalui pilkada atau pemilihan umum.
Publik lebih cerdas dari yang kita duga. Mereka memang senang dengan tokoh populer. Namun, mereka juga tak ingin diperintah tokoh yang tak mereka sukai. Tokoh yang melakukan perbuatan tercela, baik artis maupun bukan, tak akan disukai pemilih.
Mendagri harus mulai percaya, tak semua niat baik harus diatur melalui regulasi. Apalagi jika regulasi itu membatasi hak warga negara jadi kepala daerah. Seperti kata Hart: ”Let The People Decide”. Biarlah pemilih menyeleksi sendiri, tak perlu UU untuk melarang bintang porno.
Denny JA Ketua Umum Asosiasi Konsultan Politik Indonesia

Opini Kompas 29 April 2010