Dalam konteks Indonesia, sampai saat ini masih banyak warga masyarakat yang harus melakukan akrobatik itu untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur, misalnya, saat ini terancam kelaparan karena gagal panen. Sebelumnya, sekitar sebulan lalu, banjir dan jebolnya jaringan irigasi di sepanjang Sungai Citarum juga menyebabkan gagal panen. Akibatnya, bukan hanya ketahanan pangan Jawa Barat yang terancam, tetapi juga ketahanan pangan nasional.
Semua itu terjadi karena perubahan iklim yang tak terduga dan ekstrem. Gejala ini memang menjadi arena baru permainan sirkus dunia. Oleh sebab itu, kepandaian akrobatik menjadi penting jika tidak ingin digilas oleh ketidakpastian iklim tersebut. Secara paradigmatik, kemampuan akrobatik tersebut harus berlandaskan pada sebuah mimpi besar bersama, yaitu alam Indonesia yang subur, bukan saja mampu menciptakan ketahanan pangan nasional, tetapi juga kuasa memberi makan dunia (feed the world).
Pemikiran strategis bahwa Indonesia sejatinya mampu memberi makan dunia harus menjadi titik temu yang menyatukan energi seluruh anak bangsa. Dengan demikian, kita akan bekerja keras dan berani berakrobat demi terwujudnya mimpi besar itu. Asumsinya, jika Indonesia bisa memberi makan dunia, ketahanan pangan nasional secara otomatis terwujud. Tidak mungkin kita mengambil risiko memberi makan bangsa lain jika ketahanan pangan bangsa sendiri belum kokoh.
Pembalikan cara pikir seperti itu perlu dilakukan. Selama ini hampir seluruh anak bangsa terjebak pada horizon pemikiran yang pendek dan sempit. Cita-citanya sebatas mewujudkan ketahanan pangan nasional. Akibatnya, tidak pernah berusaha lebih kecuali sebatas memenuhi target tersebut. Ironisnya, target itu pun sering tak tercapai.
Padahal, kalau target yang dicanangkan adalah feed the world dan ini menjadi gerakan kebangsaan baru, secara otomatis republik ini akan selalu surplus pangan. Selain itu, secara alamiah juga akan terjadi sinergi kekuatan bangsa. Siapa pun akan terpicu untuk mewujudkan mimpi baru dan kebanggaan bangsa tersebut. Terlebih lagi, mimpi itu juga menghasilkan uang dan memperbesar pengaruh Indonesia di mata internasional.
Dengan konstruksi berpikir seperti itu, sebenarnya tidak perlu ada ketakutan apa pun menyangkut, misalnya, pemberlakuan pasar bebas China-ASEAN. Jika China membanjiri Indonesia dengan produk elektronik dan mainan anak, kita pun sebenarnya juga bisa membanjiri mereka dengan buah-buah eksotik yang mereka tidak punya, seperti rambutan, duku, manggis, durian, dan salak. Kepercayaan diri, regulasi yang komprehensif, dan manajemen yang baik menjadi totalitas persiapan dan kunci dari kemampuan kita untuk bisa memberi makan dunia.
Jika menyimak pasar pangan dunia saat ini, peluang Indonesia untuk bisa memberi makan dunia sangat besar. Untuk menyebut beberapa contoh; konsumsi beras dunia saat ini diperkirakan mencapai 454 juta ton per tahun, serealia 2.228 juta ton, gula 158,5 juta ton, singkong 242 juta ton, dan ikan diperkirakan lebih dari 156 juta ton per tahun.
Data tersebut menyiratkan adanya sebuah lapangan datar dan luas di mana Indonesia bisa meloncat melampaui negara-negara lain, seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, yang secara tradisional menjadi produsen dan eksportir bahan pangan dunia. Indonesia sampai saat ini hanya memproduksi maksimal 40,05 juta ton beras per tahun, gula 2,7 juta ton, singkong sekitar 22 juta ton, dan ikan 8 juta ton per tahun. Fakta ini tak lebih dari sekadar mempersiapkan makan untuk diri sendiri
Padahal, republik ini memiliki lahan tidur yang luas yang tidak difungsikan maksimal. Di Merauke saja, misalnya, ada sekitar sembilan juta lahan yang subur dan siap tanam. Ini belum di belahan bumi Indonesia yang lain; dan kekayaan laut pun belum diperhitungkan. Jika semangat feed the world menjadi gerakan nasional dan konsisten dijalankan, tidak tertutup kemungkinan mimpi itu akan terwujud segera. Indonesia bukan saja akan mandiri dan kuat di bidang ketahanan pangan, tetapi juga ketahanan nasional.
Setelah spirit feed the world dikibarkan dan menjadi gerakan nasional yang masif, langkah selanjutnya adalah memacu produk unggulan daerah dan membangun segi tiga pertumbuhannya. Dengan demikian, roda ekonomi lokal cukup kuat untuk bisa berputar karena tidak semata-mata bertumpu pada kinerja satu daerah otonom (kota/kabupaten) saja, tetapi sinergi dari beberapa wilayah. Pendeknya, berlaku kontinum: membangun daerah—membangun republik—memberi makan dunia.
Dengan paradigma akrobatik seperti itu, sebenarnya kita sudah menemukan penyelesaian terhadap beberapa masalah, utamanya ketahanan pangan, ketahanan nasional, dan pengaruh Indonesia di mata internasional.